💊 SATU 💉

6.9K 413 156
                                    

Manik mata bokap gue yang kelopaknya dihiasi keriput menatap tajam ke layar ponsel milik Bu Juniar, guru BK. Berkali-kali bokap mengusap dagu. Raut muka marahnya sekarang semerah pantat monyet Macaca Nigra. Ssssttt… Jangan bilang gue kurang ajar atau anak durhaka. Gue serius tentang mukanya yang merah banget. Bokap yang sejak matahari terbit sampai terbenam sudah menyeramkan, sekarang jadi ultra menyeramkan. Setiap kali berada satu ruangan dengan bokap, bawaannya selalu bayangin sosok Father dalam ‘Fullmetal Alchemist’ tapi versi botaknya.

BRAK!

Anjay, gue kaget sampai loncat. Untung jantung ini sehat karena rajin renang. Kalau nggak gue sudah main layangan sama Malaikat Izrail sekarang. Rupanya bokap menggebrak meja. Mujur nggak pecah kacanya. Bu Juniar istighfar. Begitu pun Pak Dewa, kepsek sekolah.

“Kamu melakukan semua ini?!” hardik bokap.

Gue pengen jawab, “Ya iyalah, Yah. Masa iya yang melakukan itu semua Harry Styles? Mirip juga nggak, tamvanan Ariq dong.” Tapi batal jawab begitu. Takut dipecat jadi anak.

“Tenang, Pak.” Pak Dewa dengan bijaknya menyuruh bokap agar tenang.

Belum tahu aja dia kalau bokap, Dokter Bhisma Mahawira nggak bisa tenang.

“Bagaimana saya bisa tenang?” tanya bokap. Nah apa gue bilang, dia nggak bisa tenang. “Anak saya melakukan ini dengan siswi dan perbuatan mereka tersebar di dunia maya!” Bokap teriak lagi.

Gue mesti gimana, Gaes? Biar sepatu kulit buaya bokap nggak melayang ke muka terus merusak ketamvanan gue, mendingan nunduk aja.

“Ariq, kamu kenal di mana sama anak ini?” tanya Bu Juniar. Matanya menatap gue dan bokap bergantian.

“Saya kenal Priscil di pertandingan basket.” Akhirnya gue menjawab sok sopan.

“Jadi namanya Priscil?” Suara berat bokap bertanya.

Kalau siang memang namanya Priscil, kalau malam berubah. Kadang jadi Mbak Kunti, kadang jadi kucing garong, ya suka-suka dia. Tergantung pesanan. Nggak deng, bohong.

“Saya mohon maaf, Bu. Sejak Bundanya meninggal memang tidak ada yang mengawasi Ariq.” Sekarang bokap bicara sama Bu Juniar.

Apa salah gue? Ah elah, cipokan sambil meraba aset si Priscil yang empuk-empuk membal doang diributin. Baju kami masih lengkap. Seingat gue, merekamnya pakai HP Priscil. Waktu itu mau nyoba kamera depan HP yang baru dia beli. 20 MP katanya. Wah, ternyata memang tajam hasilnya, nggak nge-blur sama sekali. Di video sampai kelihatan bra Priscil yang merah persis warna seragam grup MU. Nggak sangka kalau video cipokan yang nggak ada apa-apanya itu bisa membuat seisi sekolah gempar.

“Selain masalah ini, saya memanggil Bapak ke sekolah juga untuk membahas nilai Ariq yang merosot tajam.” Bu Rania, Sang wali kelas membentangkan print out nilai ulangan harian gue. Terpampang dengan jelas nilai pelajaran MaFiA (MTK, Fisika, dan Kimia) gue lebih busuk daripada telor ayam yang dieremin 100 tahun.

Kali ini gue takut beneran. Kalau ada abang-abang jual sianida, bolehlah beli dikit. Wajah bokap semakin merah melihat rangkaian angka di sana. Gila, gue bakalan disate sama bokap. Gue nggak mau pulang. Bunda, Ariq mau nyusul Bunda boleh ‘kan? Lah, kenapa gue jadi nggak perkasa gini?

Bokap menatap gue dengan tatapan laser, seolah menyesal punya anak seperti gue.

“Saya juga melihat Ariq merokok di belakang musola kemarin.” Pak Dewa ikut cari muka sama bokap. Mungkin sudah bosan jadi kepsek SMA Negeri terus punya niat melamar jadi dokter di rumah sakit punya bokap. Eh tapi dengar-dengar sekarang gaji guru dan kepsek kan besar. Padahal enakan jadi guru daripada jadi dokter. Guru kalau muridnya libur semesteran atau kenaikan kelas, ikutan libur juga ‘kan?

“Ariq, kamu ada masalah? Coba sampaikan pada Ibu.” Bu Juniar, guru BK terlihat prihatin.

Masalah? Bu, masalah gue banyak. Satu, gue suka main musik. Gue mau jadi gitaris macam Balawan atau Joe Satriani yang legendaris itu. Tapi bokap nyuruh jadi dokter supaya rumah sakit jantungnya ada yang meneruskan. Gue adalah pemegang tongkat estafet kepemilikan rumah sakit milik kakek yang jatuh ke tangan bokap.

Dua, gue ogah ngobok-ngobok badan manusia.

Ini semua gara-gara kak Agni. Sekarang dia enak-enakan kuliah mode di Paris sana. Tiap hari di IG posting foto bareng cowok yang kulitnya licin persis kepala bokap. Sebagai tumbal, gue yang harus menggantikan posisi kakak durhaka itu.

Woyyy! Gue juga punya cita-cita sendiri. Gue juga mau mengejar passion. Gue nggak mau jadi anak FK yang tidur aja pake bantalan buku segede badak Afrika. Gue nggak mau gaul sama mayat. Ogah banget ngebelek badan orang terus gue colek-colek. Sama cicak aja geli, apalagi mayat. Setiap kali bayangin masuk FK, backsound ketawanya Chucky langsung mampir ke kuping. Terus bayangan potongan tubuh melayang-layang sering menghampiri mimpi. Kalau Hizam, sahabat gue yang jago basket itu sering mimpi ngangkat piala dan dapat kalungan medali, gue malah mimpi ngangkat tengkorak manusia dan mendapat kalungan usus.

Emak, Babe, gue takut jadi dokter. Sekarang aja keringat dingin sudah membasahi seragam SMA ini.
Kenapa juga gue dulu dimasukin ke IPA? Padahal waktu dibagikan kertas penempatan kelas, gue sudah menulis besar-besar tiga huruf, I P S. Ikatan Pelajar Santai. Sedangkan IPA adalah singkatan dari Ini Pelajaran Ancur (Peace anak IPA) .

Gue iri sama anak IPS yang kerjanya jalan-jalan. Pas pelajaran Sosiologi mereka live in di pedalaman Banten selama seminggu. Sedangkan gue yang anak IPA? Menghisap uap zat kimia di lab.

“Pak, mohon maaf.” Ucapan Pak Dewa membuyarkan khayalan gue. “Ariq akan kami skors seminggu.”

Skors? Artinya gue libur? Gue bahagia. Bisa nonton ulang semua seri ‘Fullmetal Alchemist’, main gitar atau hibernasi. Gue nggak perlu lagi mendengar ocehan membosankan Pak Sitanggang, guru MTK (singkatan dari MaTi Kamu. Pelajaran yang bikin gue serasa mau mati).

“Jangan Pak, saya mohon.” Bokap mengiba. “Kalau Ariq di rumah, saya khawatir tidak ada yang mengawasinya.”

Ingin gue berkata KASAR mendengar ucapan bokap. Ah, dia udah bikin gue batal liburan.

“Saya berjanji Ariq akan berubah,” lanjut bokap.

Ting!

Gue pun berubah jadi badak Afrika.
Ngoahaha… Nggak deng.

***

DOCTOR WANNABE #ODOC TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang