Kebanyakan pasien bokap sudah tua-tua. Ada yang sakit jantung koroner karena lemak menyumbat pembuluh. Ada yang katup jantungnya melemah. Minggu lalu saat datang ke rumah sakit menemui bokap untuk menyerahkan surat pemanggilan, gue ketemu cewek cantik. Mirip Raisa tapi lebih cakep. Gue ajak ngobrol sekalian menguji kadar ketamvanan. Ternyata dia juga sakit jantung. Bawaan orok katanya. Dari kecil sudah sakit. Kasihan. Batal lah nge-gas sama doi. Kalau jantungnya kumat terus 'lewat' di pangkuan gue gimana? Romantis lo bilang? Kagak!
Hari ini bokap membatalkan semua acara kencan dengan para pasiennya. Semua demi gue. Bokap mau ke supermarket kayaknya, beli bumbu buat bikin sop Ariq. Ya kan gue sudah bikin malu. Wajar kalau bokap sekarang mau masukin anaknya ini ke panci terus dimasak buat makan malam. Bokap nungguin sampai bel pulang. Benar-benar bikin nggak berkutik.
“Riq!” Hizam meletakkan tangannya di pundak gue. “Lo dicuci tadi di ruang guru?” tanyanya seenak jidat. Dia samakan gue dengan sempaknya yang sering nggak dicuci.
“Pin, gue mau balik. Ada bokap," bisik gue sambil berjalan lesu menyusuri koridor sekolah yang nggak ada habisnya.
“Bokap lo nungguin?” tanyanya. Dia senyum mengejek seolah gue baru mengatakan retsleting celana lupa ditutup. “Kayak ponakan gue yang PAUD.”
Dalam keadaan begini, ingin menjitak kepala botaknya. Karena kepalanya yang miskin rambut itu, anak-anak manggil dia Upin. Ada yang manggil Ipin juga. Sama-sama botak soalnya.
“Padahal gue mau ajak lo nonton latihan anak cheers,” lanjutnya.Karena malas buka mulut, gue biarin si Upin cerita soal pertandingan basket. Soal anak cheers SMA Samudera Jaya yang badai, juga soal rencana mengadakan pertandingan three on three antar kelas saat ulang tahun sekolah.
“Tuh bokap gue.” Telunjuk gue mengarah ke Toyota Camry silver yang terparkir di bawah pohon mangga.
“Nyapa Dokter Bhisma, ah.” Hizam masih merangkul pundak gue sambil berjalan ke mobil.
Mas Yusuf, supir baru bokap membukakan pintu mobil waktu melihat gue datang.
“Sore, Dok.” Hizam berubah jadi sopan macam bangsawan Inggris. Malah dia sok-sokan mencium tangan bokap. Dipikir lebaran kali. Jangan minta amplop aja.
“Hizam. Ayah kamu gimana?” Bokap langsung meletakkan buku yang tadi dibacanya. Buku itu bergambar jantung manusia yang kalau dipakai buat nimpuk, lo bisa langsung amnesia. Buku masa depan gue.
“Baik, Dok. Sekarang Papa sudah berhenti merokok. Makan juga banyak sayur, rajin naik sepada keliling kompleks.” Senyum Hizam lebar banget. Papanya sakit jantung. Bokap yang mengobati. Kali ini gue bangga sama profesi bokap. Biarpun gue bangga, bukan berarti mau mengikuti jejaknya.
“Hmmm… bagus kalau begitu.” Bokap memberi isyarat agar gue masuk mobil.
"Balik, Pin.” Gue menepuk punggung Hizam.
Setelah basa-basi busuk antara bokap dengan Hizam, mobil kami pun meluncur. Sepanjang perjalanan, gue dan bokap diem-dieman. Bokap ditelepon pasiennya sedangkan gue chat sama Priscil. Nyokapnya juga dipanggil ke sekolah karena ulahnya. Dia 'dicuci' sampai kinclong di ruang BK. Malah diancem mau dipindahin ke pesantren.
Satu jam kemudian kami sampai di gedung bertuliskan RUMAH SAKIT JANTUNG DOKTER MAHAWIRA. Mahawira adalah nama keluarga bokap. Kakek gue, bokapnya bokap juga dokter jantung. Rumah sakit ini didirikan tahun 1980. Bokap adalah direktur rumah sakit sepeninggal Eyang Kakung alias kakek gue. Bokap praktik di sini cuma dua kali seminggu karena sisanya sibuk mengurus masalah rumah sakit.
Jadi direktur Rumah Sakit itu nggak enak. Enakan jadi supir Grab Car. Gue pernah iseng nanya. Jam kerja mereka suka-suka, dapet duitnya lancar jaya. Gue bukannya di-endorse sama Grab ya. Cuma sebagai perbandingan.
“Turun, Riq!” perintah bokap setelah mobil berhenti.
***
Ruangan direktur rumah sakit dihiasi panel kayu. Ada foto dengan gubernur DKI Jakarta saat peresmian rumah sakit dulu. Lalu ada foto jantung besar dekat jendela. Beberapa penghargaan sebagai rumah sakit terbaik se-Asia pun tergantung di tembok. Banyak foto bokap dan mendiang kakek dipajang bersama orang-orang penting. Gue paham, ini semua adalah hasil kerja puluhan tahun. Bokap pasti cemas memikirkan penerus rumah sakit, apalagi usianya semakin tua.Gue dan bokap duduk di sofa. Biar aman gue menunduk sambil mikir mau masuk jadi anggota ‘Kolektor Kecebong’-nya Kaesang Pangarep.
“Ayah kecewa sama kamu.” Keheningan antara gue dan bokap pun pecah. “Setelah kakakmu gagal masuk FK, hanya kamu harapan Ayah.” Napas beratnya membuat gue merasa semakin berdosa. Ya tapi gimana? Gue nggak suka jadi dokter.
“Yah…” Gue tatap bokap takut-takut. “Ariq nggak mau jadi dokter,” kata gue. Suara yang keluar dari tenggorokan lebih mirip cicitan tikus.
Bokap menghela napas lagi. Sekarang kepala agak botaknya menggeleng. “Kamu tahu Tompi? Dia dokter, bisa jadi musisi.” Benar juga sih kata-kata bokap. Tapi bukan itu masalahnya. Tompi nggak takut mayat, gue takut.
“Ariq takut sama mayat, Yah,” jujur gue.
“Ariq!” hardik bokap. “Kamu jangan cari-cari alasan. Selama ayah ko-ass, nggak pernah sekalipun ketemu hantu! Kamu ini laki-laki tapi penakut!” Kesabaran bokap menguap.
Kenapa gue harus jadi laki-laki? Nggak, bukannya gue berharap jadi cewek. Nggak tahan gue dengerin para cewek teriak-teriak pas lihat Panu Rios. Eh salah, Manu Rios maksud gue. Cuma gue nggak habis pikir, masa laki-laki nggak boleh takut? Gue takut cicak. Gue takut mayat juga. Gue cuma berani nonton di film.
“Sehabis SMA, kamu hanya boleh masuk Fakultas Kedokteran. Selain itu, Ayah nggak akan membiayai kuliahmu. Paham?!” bentaknya.
Baru saja gue mau menjawab kalau gue akan mencari beasiswa untuk sekolah musik, bokap sudah bicara lagi kali ini dengan nada sendu yang penuh kerinduan. Mukanya yang garang berubah lembut. Hah, gue tahu kelanjutannya. “Ingat pesan terakhir Bunda. Kamu harus menuruti Ayah dan menjaga kakakmu.”
Dokter Bhisma Mahawira selalu punya cara untuk membuat siapapun merasa bersalah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DOCTOR WANNABE #ODOC TheWWG
Novela JuvenilJadi dokter itu emang susah. Lebih susah kalau lo nggak ikhlas. Tapi kalo dapet guru les yang bisa bikin semangat, gue juga bingung mesti belajar atau liatin muka doi. Cover keren by @Ram_Adhan