Sejak kena lempar bola basket sampai pingsan saat kelas 8, gue trauma dengan olahraga itu. Gue heran kenapa malah orang jago basket dianggap keren? Anak basket pun gue lihat jadi suka merasa ganteng.
Lucunya, hampir semua sekolah memiliki lapangan basket, ada ekskul basket, dan guru olahraganya suka mengajar basket. Kenapa bukan bulu tangkis? Kalau kena shuttlecock paling geli-geli doang. Atau nggak kenapa bukan catur atau sepak takraw? Sekolah suka banget dengan permainan yang bolanya keras macam basket, voli, atau sepak bola. Sepak bola nggak pa-pa deh. Gue suka soalnya. Suka nonton dan main aja, nggak sampai pengen berkarir.
Setelah senam yang gerakannya lebih mirip ikan paus terdampar di pantai, Pak Parjo membagi kami jadi beberapa kelompok.
"Sing wedhok-wedhok saiki dolan bebas disik," begitu katanya. Kalau diterjemahkan menjadi 'Cewek-cewek bolehlah ngapain aja. Kalau ke kantin jangan lupa beliin Bapak bakwan. Kalau ke WC jangan lupa siram yang mengambang. Kalau mau main silakan. Mau kayang juga boleh.' Ngoahahahaha.... Nggak deng. Pak Parjo yang asli Solo itu memperbolehkan para siswi melakukan kegiatan bebas.
Segera lapangan yang tadinya dipenuhi kaum betina tinggal diisi para pejantan. 12 IPA 3 terdiri dari dua puluh siswa dan empat belas siswa putri.
"Rene, rene." Pak Parjo memberi isyarat dengan tangannya supaya para cowok 12 IPA 3 berkumpul di tengah. Kami pun bergerak mengikuti arah tangannya. Hizam semangat banget. Senyumnya dari tadi tersungging lebar.
Gue sudah bisa menebak. Pasti akan ada permainan seperti basket atau voli atau olahraga lain yang melibatkan bola.
"Yang Bapak panggil maju. Kita main basket hari ini," kata Pak Parjo sambil memakai kaca matanya. Dia mengambil lembar kertas berisi nama siswa kelas 12 IPA 3.
Gue jadi mules. Siapa yang mau ngejek gue cemen, nggak jantan? Gue kasih tahu ya, emang gue gitu! Puas lo pada? Sangking cemennya gue sampai kepikiran, apa perlu beli pampers jaga-jaga kalau kecepirit? Jangan sampai di antara sepuluh orang yang ditunjuk untuk main basket, gue menjadi salah satunya.
"Felix Richardus." Nama Felix dipanggil pertama. Dia nggak benci basket, tapi bukan maniak. Jadi langkahnya biasa aja ketika maju.
Setelah Felix, nama-nama lain dipanggil oleh Pak Parjo. Adit, Julian, lalu, "Hizam Librananda."
Dia langsung berjalan kegirangan. Ke depan.
"Yang lain, silakan nonton di tepi lapangan. Kasih semangat," ujar Pak Parjo sambil bertolak pinggang.
Gue menarik napas lega. Ada berbagai macam fobia di dunia. Fobia gue nggak keren. Cicak dan bola basket. Ya kali ada fobia keren. Ada deng. Kak Aurelia fobia miskin. Makanya dia kerja keras untuk membayar kuliah. Tapi tetap halal ya, Gaes. Bukan jual lubang bawah pusar.
Kembali bayangan saat tubuhnya mendekap gue berlarian dalam otak. Andaikan punya sayap, ingin rasanya terbang ke tempat Kak Aurelia.
"Kantin kuy, Riq." Markus menepuk punggung gue. Bertepatan dengan dibunyikannya peluit Pak Parjo tanda pertandingan basket ala-ala dimulai.
"Bentar, nonton yang main basket dulu," balas gue lalu duduk di undakan pembatas lapangan dengan salasar sekolah. Markus nggak ikutan duduk. Dia bersedekap sambil berdiri di samping gue.
Hizam memang pantas diangkat jadi kapten tim basket putra SMA Satria Jiwa, sekolah gue. Markus nggak bereaksi saat menyaksikan Hizam menyalip di antara dua pemain. Gerakan Hizam sulit diprediksi. Dengan mudah dia mengambil alih bola dari tangan Felix yang berada di kubu lawan. Gerakannya sigap saat melempar bola dari jauh hingga menghasilkan tembakan three points. Padahal anak-anak hanya menjalani pertandingan saat ini karena disuruh Pak Parjo. Tapi Hizam malah main seolah dia adalah MVP ---Most Valuable Player--- di pertandingan tingkat nasional.
"Laper, Riq." Markus mengelus perut kerempengnya sambil melihat anak-anak yang jajan di kantin. "Kantin," ajaknya.
Gue melepas sepatu dan kaos kaki sambil dilihat Markus. Nggak betah gue merasakan keringat di sela-sela jari kaki. Setelah itu gue bangkit dari duduk untuk pergi ke kantin. Kaos kaki yang sudah terlepas, gue selipkan di sepatu. Sekarang gue nyeker sambil menjinjing sepasang benda hitam itu.
Markus diam, gue pun diam. Berasa sepasang cewek-cowok yang pacaran dan sekarang sedang saling marah. Tapi nggak pa-pa. Selama ada Kak Aurelia yang memeluk hati, gue nggak merasa kedinginan. Makin lama bahasa gue makin alay.
Daripada sepi, gue merogoh saku celana training untuk mengambil HP. Gue ketik chat untuk Kak Aurelia.
Selamat siang, Kak.
Sopan kan Ariq Mahawira? Dengan gelisah gue menunduk sambil menatap layar HP, menunggu balasan dia yang di alam sana. Eh, universitas sana maksud gue. Kaki gue tetap melangkah namun tiba-tiba...
BRUK!
Sontak gue mengalihkan tatapan dari layar ponsel. Ternyata gue menabrak seorang cewek. Dia membawa setumpuk LKS bersama Andra, mantan Ketua OSIS sekolah yang sekelas dengan cewek itu, Natalia.
"Sorry." Buru-buru gue jongkok untuk membantu mereka mengumpulkan LKS-LKS Fisika yang berhamburan. Secepat mungkin gue bekerja. Andra dan Natalia juga berlutut di dekat gue mengumpulkan benda-benda yang berserakan itu. Lalu...
DUK!
Kepala gue dan Natalia beradu. Pasti dia jenis cewek kepala batu. Soalnya sakit banget.
"Sorry," kata gue lagi.
Natalia nggak bersuara, tapi dia tersenyum. "Sorry juga," jawabnya.
Andra menatap kami berdua tanpa henti seolah komet Halley baru saja jatuh ke atas kepala gue dan Natalia. Cewek kulkas ini senyum. Ini tanda-tanda keajaiban alam. Pasti besok presiden Rusia minum es cendol.
"Gue bantu. Mau dibawa ke ruang guru kan?" tanya gue.
Mereka berdua mengangguk. Kami pun berjalan beriringan ke sana.
"Gimana lesnya?" Natalia buka mulut juga akhirnya.
"Guru les lo itu memang mantap jiwa. Makasih sudah rekomen dia," jawab gue.
Natalia tersenyum lagi. "Sama-sama. Makasih juga sudah bayar uang les di muka." Dia melambatkan langkah. "Aurel butuh uang banget."
Kenapa juga dia harus berterima kasih? Suaranya saat menyebut nama Kak Aurelia juga lembut.
"Lo kenal banget sama Kak Aurel ya?" tanya gue kepo.
"Lumayan," Natalia menjawab singkat.
Suara peluit dari tengah lapangan terdengar hingga membuat pandangan gue teralih. Hizam terbaring di lapangan dikelilingi anak-anak yang tadi main basket.
"Hizam, kamu istirahat dulu. Bapak perhatikan kamu nggak konsentrasi." Pak Parjo menyuruh si Botak keluar lapangan. "Nggak biasanya kamu sampai jatuh karena kena bola," lanjutnya.
Hizam pun bangkit dari jatuhnya. Dia keluar lalu digantikan Boris yang sedang duduk di pinggir lapangan. Gue sempat melihat ke arahnya. Kami beradu pandang. Pupilnya menatap gue dan Natalia yang berjalan beriringan. Nggak bisa disangkal. Pandangannya menyorotkan kekesalan.
***
Ayo download Bestory. Aplikasinya ringan banget dan babnya rapi, nggak nyebar berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOCTOR WANNABE #ODOC TheWWG
Novela JuvenilJadi dokter itu emang susah. Lebih susah kalau lo nggak ikhlas. Tapi kalo dapet guru les yang bisa bikin semangat, gue juga bingung mesti belajar atau liatin muka doi. Cover keren by @Ram_Adhan