Gitar Gibson warna gading lebih seksi daripada Priscil. Lekukkan-lekukkannya sangat indah. Membuat gue betah lama-lama membelainya. Untuk saat ini, Ariq Mahawira hanyalah gitaris amatir. Bokap yang medit nggak sudi mengeluarkan uang untuk biaya les. Padahal impian paling besar gue adalah menguasai teknik tapping. Biar sekeren Balawan.
Sungguh durhaka diri ini. Berani-beraninya nyebut bapak kandung sendiri medit padahal memang itu fakta. Dokter Bhisma Mahawira males repot-repot keluar duit buat sesuatu yang nggak berguna. Salah satu hal nggak berguna itu adalah les musik.
Sementara ini gue nggak mau mikirin bokap. Ada hal lebih indah yang bikin semangat hidup membuncah. Tadi malam gue berubah jadi Rangga AADC dadakan. Kesambet jin, makanya bisa buat puisi macam ini,
Seorang gadis rupawan telah membelai hatiku
Suaranya yang indah menenangkan kalbu
Orang mengenalnya sebagai guru
Tapi aku menyebutnya 'Ratu'.
Sekarang gue menimbang-nimbang menjadikan syair tadi untuk lagu. Entah sudah berapa kali otak ini mereka-reka nada. Sementara harum body lotion yang dioles Kak Aurelia masih tercium jelas oleh sel-sel olfaktori hidung, membuat konsentrasi pecah berkeping-keping.
Apa Aurelia Aurita nggak capek lari-lari di benak Ariq Mahawira? Gue menghela napas lelah. Cuma membayangkan tanpa bisa menyentuh itu sakit, Njir.Sambil mencoba menghentikan sosoknya yang mondar-mandir, jemari gue memetik nada E minor untuk membuat nada di puisi itu.
Suara gue yang lebih keren daripada Ed Sheeran mengumandangkan syair dengan nada gubahan gue, "Seorang gadis rupawan..." Lalu gue berdeham karena tenggorokan gatal. Saatnya mulai lagi. "Seorang gadis rupawan..." Suara gue selalu saja nyasar semaunya. Jelek. Dasar emang gue Ed Sheran KW seribu. Andaikan gue merekam nyanyian terus kirim pakai voice record ke WA, kira-kira Kak Aurelia bakal jatuh cinta atau mencret di celana?
"Senyum-senyum," cela Marwan yang tahu-tahu sudah parkir di ambang pintu kamar.
"Kok muka lo mesum?" Hizam, sobat terlaknat abad 21 nyamber.
Memang dasar teman-teman gue sembarangan aja. Mereka terlalu sering main ke rumah ini sampai serasa rumah neneknya. Gue sebagai anak dari pemilik rumah, kehilangan privasi di rumah sendiri.
Gue letakkan gitar di karpet merah berlogo raksasa si 'Setan Merah', MU.
"Natalia masih hidup nggak habis lo traktir bakso campur Baygon?" tanya gue sambil menoleh ke arah Hizam yang membawa pasukan penguras isi kulkas: Marwan, Felix, dan Markus. Pasti mereka mau numpang makan di rumah gue lantaran emak mereka sibuk dagang Tupperware atau arisan sosialita. Eh, tapi Tupperware udah mau bangkrut kan ya. Entah gimana nasib teman-teman gue.
Makanya si Felix kurus kering. Lebih seksi belalang sembah daripada dia. Rambutnya coklat kemerahan karena gizi buruk. Ngoahahaha... Nggak deng. Karena dia banyak sunbathing. Bukan di pantai atau selancar mengarungi ombak, tapi di lapangan. Mengerek bendera. Maklum, anak paskib. Untung semua makanan yang dimakannya masuk ke otak, jadi dia pinter.
"Mana mungkin lah gue racunin Nat, Ogeb!" Hizam mengelak sekaligus ngegas.
"Lo harusnya lihat kemarin waktu Natalia makan bakso di kantin bareng Hizam." Marwan terkekeh sambil nonton Felix mengendalikan Gyrocopter di game DOTA. "Mukanya makin mirip papan triplek."
Hizam melempar Marwan dengan celana seragam abu-abu yang lupa gue masukin ke keranjang cucian.
"Ngapain kalian ke sini" Gue nggak suruh mereka masuk, tapi teman-teman gue itu langsung memenuhi kamar layaknya kamar sendiri. Felix malah sudah menyalakan PC dari tadi. Dia suka main DOTA di rumah gue yang katanya lebih adem.
"Hari ini nggak les?" tanya Felix.
"Nggak. Lo nggak latihan paskib, Lix?" Gue mengambil gitar lagi lalu melanjutkan memetik senarnya. Sampai sekarang belum menemukan nada yang pas untuk mewakili keindahan Kak Aurelia. Kalau lagu ini meledak, Virgoun harus rela fansnya pindah haluan jadi fans Ariq Mahawira.
Banyak cewek seumuran gue yang putih, seksi, dan anak orang tajir. Tapi Kak Aurelia memiliki banyak hal yang nggak dimiliki cewek-cewek itu. Kemandirian, kesigapan, dan kecerdasan. Biarpun sempat mengaku kesusahan secara keuangan, Kak Aurelia nggak memilih jalan pintas dengan menjajakan selangkangan. Dia menjajakan otak. Jelas bikin kagum. Karena kalau mukanya dipoles, gue yakin dia lebih cantik daripada Lucinta Luna setelah oplas. Gue suka itu. Gue suka semua yang ada padanya.
"Bosan. Mendingan ngadem di mari." Felix menggerakkan mouse untuk mendapatkan uang di game itu.
"Bagi minum, Riq." Hizam memutar-mutar lengan action figure Spiderman di atas meja belajar.
"Ambil lah di kulkas."
Teman-teman gue tipe yang suka ngabisin makanan karena masa perumbuhan. Kekurangan mereka cuma satu itu, perutnya mirip buto ijo di cerita-cerita rakyat yang nenek gue suka dongengkan. Solusinya biar mereka anteng adalah tebarin dedak. Ngoahahahaha.... Ayam kampus kali, eh ayam kampung.
Setelah makan siang dengan menu bebek cabe ijo, tahu goreng, dan pete bakar (kesukaan Marwan), kami main biliar di perpustakaan. Bokap membeli meja besar zaman Kompeni Belanda. Ukiran kayu jatinya rumit. Biar nggak terkesan kaku, meja itu dijadikan meja biliar.
Felix kami paksa ikutan biar nggak kecanduan DOTA. Dia sudah kecanduan meskipun levelnya belum parah. Ada orang yang kecanduan game sampai malas kerja, lupa mandi, jarang makan. Sudah kayak kecanduan Flakka, narkoba jenis baru yang membuat penggunanya bertingkah persis zombie.
Hizam menyodok white cue ball. Lumayan, bisa memasukkan 2 bola ke lubang.
"Gue heran sama si Upin. Masukin bola basket ke ring jago. Biliar bisa. Bikin Nat senyum aja nggak bisa," celetuk Markus. "Apa jangan-jangan Natalia suka sama si Ariq?" tambahnya.
Lakban mana lakban? Markus jarang bersuara. Sekalinya ngomong, bisa memicu perang yang lebih dahsyat daripada perang Korea Utara sama Korea Selatan. Anjay, kuno banget ya. Harusnya gue bandingin sama perang Rusia dan Ukraina biar kelihatan ngikutin berita. Felix menahan sesuatu di raut wajahnya. Kami sebagai teman Markus sudah hapal sifatnya. Cuma kali ini asli, gue serasa tersengat tawon mendengar kalimat itu.
"Emang iya?" Marwan dengan sikap pura-pura begonya malah bagaikan bensin disiram ke api. Penting banget ya minta penjelasan di saat-saat begini.
"Kalau dipikir-pikir bisa jadi lho. Soalnya gue lihat Natalia bisa ngobrol sama Ariq." Felix bukannya memadamkan api malah nambah-nambahin. Bener-bener dah.
Gue melirik ke Hizam. Dia masih ketawa-ketawa. Mungkin dia pikir anak-anak soang ini bercanda. Gue harus segera mengendalikan situasi. Jangan sampai Hizam mikir yang nggak-nggak.
Gue bangkit dari sofa perpustakaan lalu berjalan ke arah Hizam. "Gue nggak bakal nikung teman. Pegang omongan gue." Pundaknya gue remas untuk menenangkan sekaligus meyakinkan.
"Halah, nggak usah didengerin ini makhluk-makhluk dajjal. Gue percaya lo," balas Hizam.
***
Hello Sexy Readers,
Yang mau baca lebih cepat silakan ke Bestory ya. Sudah sampai bab 22 di sana.
Enak banget aplikasinya tuh. Ringan. Ayo download.
Love,
💋 Bella 💋
KAMU SEDANG MEMBACA
DOCTOR WANNABE #ODOC TheWWG
Fiksi RemajaJadi dokter itu emang susah. Lebih susah kalau lo nggak ikhlas. Tapi kalo dapet guru les yang bisa bikin semangat, gue juga bingung mesti belajar atau liatin muka doi. Cover keren by @Ram_Adhan