White board di ruang tamu rumah gue sudah dipenuhi angka-angka dan huruf-huruf. Andaikan ikut undian apa gitu, kemungkinan sudah menang. Angka-angka dan huruf-huruf itu hasil karya Aurelia. Sekarang dia menggambar grafik:
Pelajaran vektor yang dia ambil dari buku berjudul MATEMATIKA CANGGIH. Canggih, iya canggih. Bikin kepala gue meleduk karena canggihnya.
Kenapa yang bikin soal MTK itu nggak kreatif? Gue kepengen banget menghitung sinus, cosinus, dan tangen hidungnya Hamish Daud. Siapa tahu pengaruh antara tingkat kemancungan hidung dengan tingkat kekecean cewek kita.
"Coba Ariq nyatakan PQ dalam bentuk vektor kolom, terus nyatakan PQ dalam bentuk i, j atau vektor satuan. Selanjutnya tentukan modulus atau panjang vektor PQ." Merdu amat suara Kakak. Lama-lama gue bawain gitar nih, kita nyanyi bareng.
"Ariq...," tegur Kak Aurelia.
"Iya Kak, oke," gagap gue sambil menulis di coret-coretan, mencoba menghitung-hitung.
"Nilai ulangan harian Ariq gimana? Ada yang kurang bagus?" Inilah Kak Aurelia. Dia nggak langsung bilang 'Ada yang jelek?' atau 'Ada yang busuk?'
Bahasanya lebih halus daripada jalan tol Jagorawi.
"Sudah lumayan, Kak. Minggu lalu dapat nilai delapan," jawab gue. Pak Setang sampai terheran-heran dengan kemajuan pesat. Selama kelas 12 ini, nilai paling dahsyat gue adalah 1.2. Seringnya dapat 4. Felix sampai ngakak waktu itu. Katanya mentang-mentang kelas 12, nilainya jadi 1.2.
"Wah, hebat dong," pujinya.
Gue ketawa. "Iya, berkat Kakak." Gue masih lanjut menulis di coret-coretan.
"Tapi ada jeleknya, Kak," kataku.
Mata jernihnya yang memancarkan kecerdasan itu membulat. Gue benar-benar nggak puas menatapnya. Dia kelihatan heran, kenapa nilai delapan memberikan dampak negatif bagi gue.
"Jelek gimana, Riq?" tanyanya.
"Saya jadi dituduh nyontek Hizam." Cuih lah nyontek si Botak.
Kak Aurelia terkekeh pelan. "Memangnya Hizam dapat berapa?" tanyanya sambil menulis sesuatu di catatannya.
"Dapat kursi kebalik, Kak," jawabku.
Kami tertawa bersama lalu larut dalam keheningan sementara gue menghitung.
"Gimana, Riq? Sudah menjawabnya?" tanya Kak Aurelia.
Gue serahkan buku tulis gue sambil berkata pesimis, "tau deh bener atau salah."
Kak Aurelia mengambil spidol papan tulis. Waktu menggoreskan di whiteboard, ternyata tintanya habis.
"Riq, ada isian spidol?" tanyanya.
Gue selalu siapkan tinta isi spidol dekat tempat gue duduk bersila. Kami memang duduk di karpet biar nggak tegang-tegang amat.
"Ada nih, Kak." Gue melirik botol isian spidol. Saat itu lah gue melihat makhluk itu. Matanya memandangi gue. Mulutnya yang biasa mencaplok nyamuk mangap seolah mau menggigit gue. Jantung gue berdebar keras. Geli banget. Membayangkan badannya yang empuk-empuk jijay itu bikin mules. Teriakan kencang keluar dari mulut. Lalu gue kabur, menghindari monster paling menyeramkan. Gue lari keliling rumah sambil teriak-teriak, "MBAK WATIIIII!!!!! TOLONG ADA CICAAAAKKKKK!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
DOCTOR WANNABE #ODOC TheWWG
Roman pour AdolescentsJadi dokter itu emang susah. Lebih susah kalau lo nggak ikhlas. Tapi kalo dapet guru les yang bisa bikin semangat, gue juga bingung mesti belajar atau liatin muka doi. Cover keren by @Ram_Adhan