12. 18 Wheeler

632 10 5
                                    

[FREYA]

Aku bukanlah perempuan penuntut, aku pun tidak butuh banyak untuk merasa senang; semua ini karena aku sangat memahami di mana aku harus berdiri dalam hubunganku dengan Anggoro. Tidak enak memang berada dalam posisi seperti ini; harus selalu menunggu dan mengalah, harus selalu bersembunyi. Aku tahu semua orang yang mengetahui ini mencemoohku, mengutukku, atau menganggap aku tolol karena bertahan dalam relationship yang tak jelas ujungnya ke mana. Seperti Momo, sahabat dan housemate-ku, yang benar-benar mengambil sikap memusuhi. Tidak apa-apa. Karena mereka tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku; diabaikan oleh ayahku sendiri, diselingkuhi oleh semua mantanku, merasa tidak menarik, merasa tidak cukup berharga untuk dicintai lawan jenis.

"Honey, kamu dari tadi kenapa ngelamun aja sih?"

Suara Anggoro mengembalikan pikiranku yang sempat berkelana ke mana-mana. Aku menggeleng sembari memaksakan diri tersenyum. 

"Kamu mikirin apa sih?" tanyanya lagi sembari menyendokkan scrambled egg-nya.

"Beneran, nggak mikirin apa-apa kok." dustaku,"Cuma seneng aja kamu ada di sini, dan kita bisa sarapan bareng pagi ini."

"Aku pun senang, akhirnya aku bisa menghabiskan banyak waktu dengan kamu, seperti yang aku selalu janjikan, Freya." Anggoro tersenyum lebar.

Selalu ada hal baik menyertai hal buruk. Life balance. Peristiwa datangnya Kanya minggu lalu; serta keributan yang menyertainya, tak kusangka justru menguntungkan diriku. Anggoro jadi sering menghabiskan waktu bersamaku; selama seminggu ini, setiap hari ia menyambangi rumah kontrakanku sepulangnya dari kantor. Dan sudah empat kali ia menginap, seperti semalam. Ia bilang, ia semakin enggan berdekatan dengan istrinya. Oke, walau pun sejak awal aku sangat tidak mau berharap terlalu banyak pada hubunganku dengan Anggoro, namun kondisi ini membuat aku sedikit melambung. Mungkin, mungkin, satu saat nanti akan ada kejelasan dalam hubungan kami. Entah kapan. Iya, harapan yang kutekan sedikit bertumbuh sekarang.

Anggoro meraih mug berisi teh hangat, lalu menyesapnya perlahan. Kemudian ia meraih tanganku dan menggenggam jemarinya. Ada rasa hangat menjalari tubuhku.

"Aku berangkat ke kantor dulu, ya, Honey." katanya manis. Aku membaals dengan anggukan kecil; dalam waktu yang bersamaan kami bangkit dari kursi masing-masing. Ia berdiri sangat dekat di hadapanku, kemudian mengecup keningku perlahan. Setiap Anggoro menyentuhku dengan penuh kelembutan, aku merasa ada kupu-kupu, yang sayapnya menggelitik dinding bagian dalam perutku.

Kubuntuti dirinya yang keluar menuju pintu depan. 

Ah. Ini tepat sekali dengan bayangan ideal di masa kecilku tentang apa yang akan kulakukan dengan suamiku setiap ia berangkat ke kantor. Memang Anggoro bukan -- belum menjadi --- suamiku, tapi tak apa-apa, selama aku menikmati apa yang terjadi saat ini, ya kunikmati saja. Tokh rasanya menghangatkan.

Kubukakan pintu gerbang untuknya, ia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin.

"Bye, Hon. Nanti sore aku ke sini lagi." ujarnya dengan senyum lebar, kemudian Anggoro memundurkan mobilnya.

Momo muncul dengan peluh bercucuran ketika mobil Anggoro sudah berada di luar pagar. Perempuan itu meraih smartphone yang ia letakkan pada armband-nya, lalu mematikan aplikasi pengukur jarak dan waktu lari yang selalu ia gunakan setiap jogging di pagi hari.

Anggoro menghentikan mobil sejenak, sementara Momo berkecak pinggang. Pandangan mereka beradu. Sahabatku dan pacarku saling membenci.

"Hati-hati, Mas." seruku untuk mengingatkan Anggoro agar segera berlalu.

Catfight ('REUNI' Time Will Tell Extended)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang