Prolog

548 51 42
                                    


- Desember 2016 -

Gerimis yang menderas menebar aroma keributan malam ini. Bulir-bulir besar air yang jatuh bersinggungan dengan permukaan atap membuat berisik. Sudah dua jam sejak gerimis turun. Meski aku masih terjaga sembari berkutat dengan sebuah laptop dan secangkir besar kopi yang belum juga habis, aku tetap khawatir riuhnya hujan-hujan itu akan membangunkan istriku.

Di sela harmoni hujan yang menyerbu malam itu, samar kudengar pintu utama terketuk dan sebuah suara yang memanggil namaku dengan sebutan “Lee Jagga”. Terkejut karena mendengar panggilan yang demikian, aku lantas beranjak dari kursiku. Tentu, selama ini tidak seorangpun tahu bahwa aku seorang penulis: ghost writer—penulis yang karya-karyanya hidup, sementara ia menyembunyikan dirinya di antara tumpukan karya bertinta putih, tak terlihat.

Knop pintu itu kuputar usai slotnya kubuka. Pelan kutarik daun pintu yang engselnya sudah berkarat, lalu kudapati seorang laki-laki berpakaian hitam dengan pantofel tengah basah kuyup. Gestur tubuhnya gelisah seolah tak sabar. Ketika pintu terbuka, ia tiba-tiba merangsek menyerang. Kedua telapak tangannya berada di leherku hingga tubuhku terdorong ke dinding yang basah rembesan air hujan.

“A.. akkk!! H.. hei, apa yang kau lakukan?” tanyaku terbata.

“Lee Jagga-nim, tulis kisahku. Ku.. kumohon, b.. bantu aku, ne?” Ia bersuara: sama terbatanya denganku. Tapi kami berbeda. Dalam sebaris kalimat yang terujar begitu sulit itu, kudengar getar halus kegelisahan dan kekhawatiran, juga duka: ia tengah menuju ke alam kematian.

- Maret 2016 -

Tanganku sibuk mengaduk segelas kopi yang baru saja tersaji di meja, juga menghirup aroma khasnya tanpa henti. Sudah satu bulan kira-kira, tempat ini menjadi tempat favorit untuk menenggelamkan diri di antara waktu, idealisme, dan keping-keping kata yang belum juga tersusun. Kafe, ini sebuah kafe di ujung salah satu jalan besar Seoul dekat Handong Hospital.

Jika aku selalu mengagumi betapa nikmatnya kopi racikan pemuda gundul yang ramah itu, mungkin berbeda halnya dengan orang lain. Beberapa dari mereka selalu memuji keunikan arsitektur hingga fasilitas yang secara tak sengaja membuat mereka malas meninggalkan kafe, atau selalu kembali ke sana besok, lusa, dan besoknya lagi.

Terlalu sering aku duduk di salah satu kursi yang terletak di pojok dekat jendela, hanya diam mengamati sekitar, menikmati aroma manis, bahagia, juga pahit dari ujung sedotan yang selalu berhasil memikat. Tiga sampai lima jam dalam sehari bisa kuhabiskan di sana tanpa beranjak ke mana pun. Beberapa kali, aku kehilangan akal dan sempat tak mengangkat panggilan dari ponsel istriku: kala itu hujan, ia menunggu di depan kafe dengan sebuah payung dan ekspresi kesal.

Oppa, sebenarnya apa yang kau lakukan sampai tidak mengangkat teleponku?” tanyanya. Aku mendengar suaranya meski samar bersahutan dengan hujan di luar.

“Aku bekerja, sayang. Kau sudah di depan sejak tadi? Maaf, maaf, aku akan segera keluar. Tunggu aku…” Aku membuang sedotan putih dalam gelas dan kuseruput kopi terakhir yang sudah dingin itu hingga tandas.

Buru-buru, aku merapikan tas dan beranjak pergi meninggalkan keramaian kafe, juga kebahagiaan masing-masing pengunjungnya: seorang mahasiswa yang duduk sendiri, beberapa dokter laki-laki, sepasang kekasih yang menikmati roti lapis, dan tentu saja barista gundul itu. Seorang ghost writer sepertiku akan selalu bekerja seolah ada dan tidak ada. Tentu, aku pun menyukainya. Juga, aku membaca sebuah buku tentang ini. Mereka bilang, kursi pesakitan orang-orang macam kami akan datang dan terkonfirmasi saat di akhir nama kami tersemat panggilan “jagga”.
***

Nb:
Butuh beberapa jam untuk membuat prolog singkat ini. Bagaimana readers? Are you curious about the next part? Berapapun cinta yang author dapat lewat prolog ini, author akan tetap melanjutkan ceritanya. Jadi, jangan beranjak dan nikmati kisahnya ya, guys.. love you~

[2017] FATHER, STAY HERE ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang