Draft 8: Appa Yeogiiseo-yo

236 44 73
                                    

- Januari 2017 Minggu ke-2

Sudah lima belas menit Seo Eunkwang berada di stasiun itu. Dengan pakaian berlapis yang menahan hawa dingin, coat panjang, syal yang menutupi leher, juga tas jinjing, ia tengah menunggu. Ia sudah sampai di stasiun kereta satu jam sebelum pemberangkatan, namun yang ditunggunya belum kunjung terlihat.

Keramaian tempat itu menguarkan aroma hangat, dingin, kebahagiaan atas pertemuan, juga duka atas sebuah perpisahan. Epik memang, euforia besi dan rel kereta yang bersinggungan, juga getar yang ditimbulkannya, namun itu semua sama sekali tak menyita perhatian laki-laki yang tengah duduk di kursi panjang dengan jam saku terlingkar di pergelangan tangannya. Beberapa kali ia menekan jarum waktu, membuka benda itu, melihat berapa menit sudah berlalu.

Meski ia tahu dirinya akan pergi meninggalkan putranya, ia hanya berpikir satu hal: pamit. Setidaknya, dengan sepotong kata maaf dan pamit, ia mampu menyudahi sedikit demi sedikit beban yang mengganjal dalam benaknya: beban ketidakrelaan. Baginya, pilihan hanya ada yang baik dan yang terbaik. Pun akhirnya pilihan itu jatuh pada yang terbaik: kesempatan, kasih sayang yang lain, juga maaf.

“Seo Eunkwang~ssi? Sudah lama menunggu?” Seseorang datang menyapa laki-laki itu dengan seorang anak kecil dalam gendongannya, berbalut pakaian tebal dan empuk.

“Ah, Dr. Im. Tidak, aku baru saja duduk di sini sekitar dua menit lalu,” jawabnya berdusta. Mata Seo Eunkwang terus terpaku pada sosok kecil yang terdiam dalam gendongan Im Hyunsik.

“Yun Jun~ah, kau tidak mau menyapa ayahmu?” tanya Im Hyunsik pada bocah cubby yang terus menenggelamkan wajahnya di bahu laki-laki itu. “Eunkwang~ssi, sejak pagi ia menangis. Ia bahkan tidak mau ikut jika tidak kupaksa,” tambahnya.

“Yun Jun~i, kau marah pada appa? Hm?” tanya Seo Eunkwang. Tangannya spontan mengelus kepala putranya yang bahkan bergeming dingin.

“Yun Jun~ah, ahjussi ingin ke toilet sebentar. Turunlah, hm?” bujuk Im Hyunsik. Ia tersiksa. Atmosfer ini sungguh bukan ranah bermainnya. Putra kandungnya ada dalam dekapan, namun hatinya bahkan melayang jauh pada ayah yang lain. Dusta ini begitu kentara, Seo Yun Jun berhasil membuatnya merasa bodoh dan berdosa.

Anak itu masih melingkarkan kedua lengannya di leher Im Hyunsik ketika Seo Eunkwang mengangguk mengerti, matanya mengisyaratkan tanda ‘tak apa-apa’ meski hatinya tergores. Perpisahan ini mengukir luka dengan sendirinya. Bersiap pergi, laki-laki itu bangkit, menjinjing tasnya dan mengecek jam saku sekali lagi: memang sudah waktunya.

“Ini sudah waktunya. Aku menitipkan Yun Jun padamu, Dr. Im.” Ditepuknya pundak Im Hyunsik dua kali, tersenyum perih, lalu berbalik, perlahan berjalan menjauh.

Empat langkah kecil menjauhi Seo Yun Jun yang penuh perjuangan itu kemudian terhenti. Telinga Seo Eunkwang samar mendengar suara terisak dari balik punggungnya. Perasaannya berdesir. Ya, itu putranya, reaksi itu yang seharusnya dilihatnya dalam momen perpisahan singkat ini. Setidaknya, ia akan jauh lebih lega mendengar tangis Seo Yun Jun daripada hanya desah napas dingin yang mengacuhkan keberadaannya.

“Apakah… appa… juga akan meninggal seperti eomma?” tanya anak itu tiba-tiba.

Dua laki-laki yang terpisah jarak setengah meter itu sama-sama tercekat. Im Hyunsik nyaris melepas gendongannya karena terkejut, demikian juga Seo Eunkwang yang spontan menjatuhkan tasnya ke lantai dingin stasiun. Atmosfer di antara ketiganya berputar hebat. Terguncang, keduanya tidak segera menjawab sementara bocah kecil itu masih terisak.

Appa, yeogiiss-eo…” gumam Seo Yun Jun sambil memeluk erat Im Hyunsik. Benak laki-laki itu tidak bisa berbohong, hatinya mencelos haru. Tangan besar Hyunsik melepas pelukan erat Yun Jun usai berjongkok, bertumpu dengan satu lutut.

[2017] FATHER, STAY HERE ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang