Bab 2: Kesalahan Dalam Mencerna Kalimat Membuatku Salah Fokus

3.6K 122 9
                                    

Bab 2: Kesalahan Dalam Mencerna Kalimat Membuatku Salah Fokus





Sansa

Aku tidak tahu pasti sejak kapan mulai memerhatikan Serga. Mungkin saat dia menjelaskan tentang Pembangunan Ekonomi tadi pagi, bisa jadi setelahnya. Entahlah, yang kini kusadari hanyalah betapa aku mulai berekspektasi kepadanya. Bukannya tidak mungkin kan, kalau Serga itu berbeda dari cowok nakal kebanyakan? Buktinya, dia bisa menjelaskan pelajaran meski tidak memerhatikan guru. Bisa jadi, sebelumnya dia sudah belajar di rumah. Tetapi, sekarang adalah hari pertama sekolah, dan daftar materi yang akan dipelajari di semester ketiga ini baru diberitahu tadi pagi. Ah, mari berpikir positif saja.

"Lo mau langsung pulang atau nongki di kantin dulu, San?" tanya Dona, menyentuh lenganku sambil tersenyum tipis.

Aku merapikan alat tulis dan buku pelajaran sebelum memasukkannya ke dalam tas. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, dan seisi kelas sudah bersiap-siap untuk berdoa sebelum meninggalkan ruang belajar.

Aku menyampirkan ransel ke punggung, lalu berkata, "Ke kantin dulu deh, gue mau beli air mineral, takutnya nanti jadi kurang fokus."

Nama lengkapnya Dona Sayka, dan dia adalah sahabatku sejak kecil. Kami berbagi kelas dan tempat duduk yang sama setiap tahun, mengerjakan PR, saling bertukar barang, dan menggosip tentang cowok ganteng. Kalau penyakitnya sedang kumat, aku sering memanggilnya Dona Sayko, karena bicaranya sering ngelantur dan rada liar. Dia juga ahli dalam urusan pacaran, tetapi sering gonta-ganti pacar. Terlepas dari semua itu, Dona adalah sahabat yang paling kupercaya, dan merupakan pendengar yang baik.

Teman-teman cowokku banyak yang bilang kalau Dona itu tipe cewek yang berwajah biasa saja, tetapi enak dipandang lama-lama. Hidungnya tidak terlalu mancung, tetapi juga tidak pesek. Bulu matanya lentik, dengan bola mata hitam yang teduh. Samar-samar terlihat bintik-bintik hitam di sekitar pipinya yang sering berwarna merah. Bibirnya agak tebal dengan rahang perseginya yang sempurna. Rambutnya dibiarkan tergerai hingga punggung, tanpa poni yang menutupi kening. Kalau boleh jujur, terkadang aku ingin menjadi seperti Dona, cantik apa adanya tanpa harus menghabiskan ratusan ribu untuk perawatan di salon.

Setelah selesai berdoa dan guru mata pelajaran terakhir sudah keluar dari kelas, Dona dan aku meninggalkan ruang belajar dan turun untuk menuju kantin. Kelas kami, sebelas IPS satu, terletak di lantai dua, tepat di sebelah tangga. Banyak yang bilang, kalau kelas itu merupakan arena untuk uji konsentrasi, karena di samping gedung ini, ada sebuah TK yang berisiknya minta ampun. Itu memang benar, karena aku telah membuktikannya hari ini. Jangan ditanya betapa sering goyahnya konsentrasi belajarku karena anak-anak TK itu serentak meniup peluit berbarengan.

"Serga tadi keren, ya?" ujar Dona, tertawa kecil dan senyum menempel di wajahnya.

Aku memutar bola mata. "Apa kata lo, deh."

Sesampainya di kantin, aku membeli sebotol air mineral, sedangkan Dona membeli beberapa gorengan dan segelas minuman teh. Aku menerima kembalian yang disodorkan oleh penjaga kantin setelah tadi membayar belanjaanku.

"Eh, hape gue ketinggalan di laci deh, San, kayaknya," kata Dona, meraba-raba saku roknya, kemudian mengobrak-abrik isi tas untuk mencari ponsel dan mengesah pendek saat tidak menemukannya.

"Mau gue temenin ke kelas?" tawarku, masih memegang air mineral dingin dengan kedua tangan.

Dona memang sering begini; ceroboh dan pelupa. Pernah sekali saat ke bioskop berdua denganku, setelah membeli popcorn, dia dengan tidak sadar membawa camilannya ke toilet, lalu kembali dengan tangan kosong. Ketika kembali untuk mencari popcorn-nya, camilan itu sudah hilang, dan dia juga lupa menaruh di mana. Tak tanggung-tanggung, waktu jalan-jalan ke pantai, kami berniat salat di musala saat waktu salat Ashar telah masuk. Dia dengan ceroboh menitipkan tasnya yang berisi dompet, ponsel, dan beberapa barang berharga lainnya, kepada orang asing hanya karena dia kebelet pipis. Untung saja, orang itu tidak berniat buruk dengan membawa kabur tasnya.

When Bad Boy Has Never Been a Bad Boy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang