Bab 21: Mencurigakan, Itu Jaket Atau Apa?
Sansa
Bel pulang sekolah sudah berdering sejak sepuluh menit yang lalu, namun aku masih diam termenung menatap jendela kelas dengan tatapan kosong. Aku tidak dapat memungkiri bahwa ada sesuatu dalam hatiku yang melambung mendengar pernyataan Serga tentang perasaannya, juga perilaku lucunya yang membuatku selalu ingin tertawa. Serta, hingga sekarang aku masih terkejut dengan semua yang terjadi begitu cepat.
Aku memang cukup dekat dengan Serga, tetapi aku tidak pernah menyangka segalanya akan berubah secepat ini. Selama ini, aku hanya menganggap bercanda perihal Serga yang menyukaiku. Tapi sejak mendengar keseriusan dan komitmen dalam suaranya, aku tak mampu menyembunyikan rasa senang beserta ketakutanku.
Aku senang karena setelah merasakan debaran di dada dan pipi yang terus bersemu setiap bersama Serga, aku menjadi yakin bahwa akhirnya aku mulai mengaguminya. Takut karena perasaanku baru sebatas kagum, bukannya suka seperti rasa yang dimiliki Serga untukku, dan interaksi canggung yang bisa saja terjadi di antara kami.
Di dalam kelas, hanya ada aku seorang diri karena yang lainnya sudah pada pulang, termasuk Dona yang dijemput oleh pacarnya yang tidak bersekolah di tempat yang sama dengan kami. Seperti yang telah dijanjikan, aku akan diantar pulang oleh Serga, yang mana bukan hal baru untukku. Ya, maksudnya, setidaknya Serga pernah mengantarku pulang sampai rumah satu kali saat insiden Dona malam itu.
Serga sedang pergi sebentar untuk menemui Ben di kelasnya, makanya aku disuruh menunggu. Aku tidak tahu kenapa Serga harus menemui sahabatnya itu, dan aku juga tidak berniat mencari tahu. Mungkin nanti Serga akan mengatakannya sendiri padaku, atau kalau dia tidak melakukannya, aku tidak akan bertanya. Aku tidak ingin terkesan menjadi seseorang yang mau tahu segalanya.
Beberapa menit kemudian, Serga kembali ke kelas. Seragamnya yang berantakan selalu menjadi hal pertama yang menarik perhatianku. Dia menghampiriku lalu mengulurkan tangannya. Aku menatapnya bingung. "Apa?" tanyaku sambil berdiri.
"Gandeng," jawabnya santai. Dia mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum menggoda.
Aku tak mampu menyembunyikan senyum, tetapi aku tetap menerima uluran tangannya. Seperti biasa, genggaman Serga tegas dan erat, membuatku merasa seperti dilindungi. Tapi yang langsung terpikir olehku adalah, bukankah aneh rasanya berpegangan tangan seperti ini? Maksudku, kami kan bakal keluar dari kelas dan berjalan ke parkiran, pasti banyak orang yang akan melihat.
Ya, Serga memang tipe pribadi yang tidak terlalu peduli apa pendapat orang. Tapi bagaimana denganku? Aku benar-benar baru dengan hal seperti ini. Aku bahkan belum pernah pacaran!
Mendadak tubuhku menjadi canggung, seolah tidak nyaman dengan perlakuan Serga. Aku mencoba untuk membuang pikiran itu dan berusaha menganggap ini adalah hal yang biasa, tetapi aku tidak bisa. Aku tidak ahli di bidang ini dan tidak pernah digandeng oleh laki-laki selain papaku sebelumnya.
"Jangan tegang gitu, lah," kata Serga yang sadar dengan ketidaknyamananku. Aku baru sadar bahwa sedari tadi aku lebih banyak menunduk.
Aku mendongak untuk menoleh padanya sekilas, lalu menatap berkeliling saat kami sudah tiba di lantai satu yang ternyata ramai oleh para murid. Beberapa anggota basket yang tengah di lapangan melihat kami sebentar sebelum kembali menyimak pengarahan dari pelatih. Aku juga melihat Kak Farel—sepupu Dona yang merupakan kapten basket sekolah kami—memandangku dengan pandangan kebingungan. Dia tahu selama ini aku tidak punya pacar dan nyaris jarang terlihat bersama cowok.
Perempuan-perempuan yang berdiri di depan kelas mereka dan beberapa yang duduk di kursi koridor turut memerhatikanku dengan Serga. Ada berbagai macam ekspresi yang kutangkap dari mereka. Tetapi terkejut adalah yang paling dominan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Bad Boy Has Never Been a Bad Boy ✔
Fiksi Remaja[BOOK 1 - COMPLETED] For the two of us, home isn't a place. It is a person. And we are finally home. -Stephanie Perkins-