Bab 34: First Impression
Serga
Mungkin mbak-mbak yang barusan lewat nyangka gue modus nepuk-nepukin (sambil ngelus dikit, sih) belakang lehernya Sansa. Enggak kok mbak, saya nggak modus. Cuma exodus doang. Hehe.
BTW, gue nggak tahu exodus artinya apa.
Sempat terbatuk lumayan lama, Sansa minum air mineralnya, lalu natap gue sambil ngeringis. “Sori gue lebay banget ngeresponsnya.”
“Nggak apa-apa, kok,” balas gue, balik duduk di kursi terus ngemilin snack.
Sansa ngangkat kedua sudut bibirnya ke atas nahan tawa, bikin gue memimik eskpresinya. Senyum Sansa manis banget njir napa dah gue salfok mulu. “Uhm, jadi first impression gue—”
“Holy fucking shit! Please just ignored that question, couldn’t you?” kata gue overreacted bikin gue jijik sendiri.
Kernyitan di dahi Sansa langsung bikin gue terdiam gitu aja. “Dulu, gue denger dari orang-orang, lo anaknya bandel, Ga,” Sansa memulai. “Tapi gue nggak seketika ngejauhin lo, sih. Soalnya begini Ga, dulu itu pas SMP, gue paling males berurusan sama cowok-cowok bandel. Dan kayaknya di SMA, cowok bandel tingkat nyebelinnya pasti naik berkali-kali lipat. Nggak tahu juga, sih. Itu kan cuma asumsi gue doang.”
“Terus, kapan lo mulai jauhin gue?” tanya gue.
Sansa menggeleng. “Gue nggak ngejauhin, sih. Cuma berusaha buat nggak berurusan aja.”
“Sama aja sih kalau kata gue.”
“Oke, intinya gitu,” katanya, terkekeh. “Nah, habis itu, temen-temen gue jadi makin banyak ngomongin tentang lo dan gue cuma bisa curi-curi denger aja. Yang diomongin itu rata-rata soal lo yang nyebelin, sih. Jadi ya, karena gue dari dulu udah males banget ngehadepin orang nyebelin, gue makin yakin gitu buat nggak berurusan sama lo. Dan alhamdulillah, gue istiqomah dan hampir nggak punya momen atau kesempatan buat berurusan sama lo.”
Jujur, gue nggak tahu harus ketawa atau justru tersinggung. Maksudnya, gue tahu ini hanya kesan pertama Sansa terhadap gue, dan kebanyakan orang yang gue kenal pun males ngadepin cowok nyebelin dan bandel. Tapi setelah itu, mereka ngetawain diri sendiri karena udah pernah mencoba buat ngejauhin gue, sebab ya kata mereka setelah kenal dekat, gue orangnya lumayan asyik buat dijadiin temen.
Jadi ya, tersinggung kayaknya nggak tepat banget buat gue rasain. “Lalu, apa yang akhirnya bikin lo mau berurusan sama gue?” tanya gue sembari tersenyum.
“Hmm,” Sansa bergumam. “Nggak tahu persis sih kapannya. Tapi gue inget banget, pas lo ngejelasin tentang Pembangunan Ekonomi di hari pertama sekolah itu, gue jadi mikir kalau kayaknya lo nggak seburuk itu—bandel, nyebelin, dan segala macem. Terus pas pulang sekolahnya lo ngajakin gue kenalan—it was really awkward I couldn’t help it—gue jadi seneng gitu. Hng, nggak tahu ya kenapa. Mungkin karena lo baik dan sopan banget, bikin gue makin yakin pasti ada banyak hal baik tentang lo, Ga.”
Okay, so I want to tell you something, guys. Boys do feel ‘baper’, because that is exactly what I’m feeling now.
Dan yang ngomong itu Sansa, guys. Cewek yang gue taksir.
Oke, lebay. Alay.
“Carry on. Gue pengin denger lebih banyak,” kata gue, masih betah tersenyum.
Sejenak, Sansa terdiam, dengan tatapan seolah menerawang sesuatu di pikirannya. Lalu beberapa detik kemudian, dia menjentikkan jarinya. “Itu, pas lo telat di jam bahasa Indonesia.”
Dahi gue berkerut. “Gue sering telat pas jam bahasa Indonesia. Emangnya kenapa?”
“Yang di minggu pertama sekolah, Ga. Pas lo ngeles kalau lo itu telat gara-gara mimpi ditanyain struktur cerpen,” jawab Sansa, bahunya terguncang karena tawa.
Shit. I don’t get it.
“Apanya yang lucu, sih?” tanya gue bingung.
Mengulum bibirnya lebih dahulu, Sansa berkata, “Bukan lucu, tapi absurd abis. Dan... kalau boleh gue puji... bisa dibilang cukup pinter. Gue bahkan awalnya nggak ngeh sama apa yang lagi lo omongin waktu itu. But then... OMG Serga you’re genius.”
Let’s flying again, shall we?
Sansa bilang gue genius. Sansa bilang gue GENIUS. SANSA BILANG GUE GENIUS?
DON’T YOU GET IT?
YES, I AM OVERREACTED AGAIN AND I HAVE NO IDEA WHY AM I COULD BE LIKE THIS.
Like seriously man. Kenapa gue bisa jadi selebay dan semenjijikkan ini, sih?
“Makasih,” adalah satu-satunya kata yang mewakili kegembiraan gue atas pujian Sansa, dengan sedikit nada cool yang bakal bikin gue kelihatan keren abis.
Atau lebih tepatnya najis abis.
“Kalau kata gue sih, istilahnya itu buat menggambarkan lo adalah ‘Bad boy has never been a bad boy’ Ga,” ujar Sansa, bibirnya melengkungkan senyuman manis.
“How could bad boy has never been a bad boy? Kalau kata gue, bad boy will always be a bad boy. Dia nggak bakal berubah kecuali emang keinginan dari dirinya sendiri,” kata gue. “Dan gue bukan bad boy, kalau boleh gue tekankan,” tambah gue.
“Tapi waktu nganterin Dona pulang sehabis kecelakaan, gue pernah bilang kalau lo itu bad boy limited edition dan lo nggak ngebantah saat gue ngelabeli lo dengan sebutan bad boy,” kata Sansa diiringi kerutan di kening.
Gue hampir aja memutar bola mata. “Gue lagi baper saat itu, oke?”
Sansa semakin bingung. “Baper kenapa?”
“Baper karena lo, Sansa!” seru gue dengan suara yang cukup keras.
Perempuan di depan gue terdiam begitu saja, dan gue merasa nyesel udah ngebentak dia.
“Sori, gue nggak bermaksud—”
“It’s okay,” Sansa menginterupsi. “Lupain aja.”
Untuk beberapa detik ke depannya, suasana mendadak canggung karena nggak ada satu pun di antara kami berdua yang bicara.
Sampai akhirnya Sansa memecah keheningan. “Kenapa lo nggak percaya kalau bad boy itu bisa berubah?”
“Gue nggak bilang bad boy nggak bisa berubah. Dia bisa berubah, tapi karena emang dari dirinya sendiri. Bukan dari orang lain. Bahkan orangtua pun nggak bakal mempan nasihatin dan nyuruh dia tobat kalau di hatinya nggak pernah ada keinginan buat tobat. Mau dipanggilin ustad pun kagak bakal mempan.”
“But bad boy changed after he found the right girl. He loves her, that’s why he changed,” kata Sansa, dan gue hanya bisa mengembuskan napas dan memutar bola mata 999 kali.
“Who told you that?” tanya gue, dan sebelum Sansa sempat membuka mulut untuk menjawab, gue melanjutkan, “Mass media told you that.”
*
a.n.
gue lagi nulis apaan sih
13 Mei 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
When Bad Boy Has Never Been a Bad Boy ✔
Teen Fiction[BOOK 1 - COMPLETED] For the two of us, home isn't a place. It is a person. And we are finally home. -Stephanie Perkins-