Bab 24: Rencana untuk Mengembalikan Senyum Serga
Sansa
Beberapa hari terakhir ini, Serga jadi sering pergi ke sekolah bersamaku dan mengantarku pulang dengan motornya. Tetapi anehnya, akhir-akhir ini Serga jadi agak aneh dan lebih banyak diam—berbanding terbalik dengan dirinya yang kukenal. Dia sering melamun dan hal itu kadang membuatku khawatir. Dan, kalau aku tidak salah tebak, Serga seperti menyembunyikan sesuatu dan terus-terusan terpikir tentang itu.
Aku sudah berinisiatif menawarkan diri apabila dia ingin bercerita, namun jawabannya selalu gelengan sopan dan langsung mengalihkan pembicaraan atau mendadak melakukan yang lain. Aku tidak ingin terkesan ingin tahu, tapi lama-lama aku jadi khawatir karenanya. Rasanya aku seperti kehilangan sosok Serga yang lucu dan absurd dan itu adalah sesuatu yang tidak baik.
“Lo tahu kan, San, tiga hari lagi Serga ulang tahun?” tanya Dona. Sahabatku itu sedang memoleskan kuteks di jempol kakinya dengan hati-hati di sampingku, sedangkan aku hanya berbaring di atas kasurku.
Tatapanku menerawang ke langit-langit, dan aku hanya menggumam sebagai jawaban.
Dapat kurasakan Dona menoleh ke arahku sebentar. “Terus, lo ada rencana buat ngerayain atau ngasih kejutan gitu, nggak?”
Kejutan di hari ulang tahun? Aku belum memikirkan tentang itu. “Bukannya cowok nggak ngerayain ulang tahun, ya?” aku balas bertanya.
Dona mengangkat bahu. “Ya, maksudnya yang kecil-kecilan aja. Kayak lo ngasih kejutan sambil bawain kue. Udah, gitu aja.”
Hm. Boleh juga. “Berdua doang?” tanyaku lagi. Aku banyak sekali bertanya hari ini.
“Terserah, sih. Tapi kalau lo nggak ngajak gue, seenggaknya sisain kuenya dikit, ya,” katanya sambil cengengesan.
Dari balik tawaku, aku memikirkan kemungkinan itu. Apa sedikit kejutan ulang tahun yang sederhana bisa membuat Serga kembali ceria lagi? Atau setidaknya, membuatnya lupa akan masalahnya? Sepertinya, itu adalah ide bagus.
“Kalau kita ngasih kejutan di kelas sama temen-temen yang lain, gimana?” ujarku meminta pendapat Dona.
Dia menggerakkan tubuhnya menghadapku, lalu berkata, “Kalau menurut gue, mending lo ajak orang yang bener-bener dekat sama Serga aja. Dia nggak terlalu suka ngerayain ulang tahun rame-rame, seingat gue. Soalnya, dia kayak nggak enak gitu waktu Aria bikin acara gede di hari ulang tahunnya—”
Melihatku mendadak jadi tidak enak saat nama Aria disebut, Dona segera berhenti berbicara. Kemudian, dia meminta maaf, dan aku bilang tidak apa-apa.
Jujur, aku sama sekali tidak kenal dengan Aria. Tetapi, fakta Aria sebagai mantan Serga entah mengapa membuatku menjadi bete dan sedikit kesal. Apa aku... cemburu? Tapi, untuk apa? Toh, aku bukan siapa-siapanya Serga. Walaupun sekarang aku memang menyukai Serga, apa aku berhak untuk cemburu hanya karena nama mantan pacar Serga disebut? Berlebihan sekali.
Setelah mengusap wajahnya dengan telapak tangan, Dona berkomentar, “Kalau gue boleh ngasih usul, mending kita berempat aja—Serga, lo, gue, dan Ben.” Aku mengernyit. “Gue lagi berantem sama pacar, inget? Nggak tahu mau baikan kapan. Daripada gabut, mending gue nemenin lo aja, ya?”
Alasan Dona ke rumahku malam ini adalah karena dia ingin bercerita kepadaku. Katanya, dia bertengkar dengan Raka—pacarnya—hanya karena Raka sering terlambat menjemputnya. Dan lebih parahnya lagi, Raka orangnya tidak suka mengalah dan egonya tinggi sekali. Makanya seperti yang Dona bilang, mereka mungkin baikannya seminggu lagi. Dona bahkan sudah merencanakan momen putus kalau cowok itu tidak mau minta maaf lebih dulu. Aku tidak pernah menyangka kehidupan asmara sahabatku bisa sedrama ini.
“Hm. Nanti gue coba omongin ke Ben, deh,” kataku, dan Dona tersenyum puas.
*
“Ini emang agak menggelikan, tapi Serga suka banget donat kecil lucu-lucu yang pake krim stroberi dan bluberi yang banyak. Jadi saran gue, daripada beli kue, mending lo beli donat aja deh,” kata Ben.
Di kantin, aku tak sengaja bertemu dengannya dan meminta waktunya untuk bicara sebentar. Dan setelah menjelaskan rencanaku untuk memberikan kejutan ulang tahun untuk Serga lusa nanti, dia setuju untuk ikut. Katanya, Serga pasti senang kalau aku memberinya kejutan, dan itu semakin membuatku yakin dan gembira akan ide ini.
Aku mengangguk. “Gitu, ya?” Lalu aku menambahkan, “Serga kira-kira keberatan nggak, kalau gue masang balon gitu?”
Ben segera menggeleng, seolah teringat akan sesuatu. “Jangan pake balon! Serga takut balon!”
Aku menahan keinginan untuk tertawa keras-keras. Serga? Takut balon? Gimana bisa cowok yang dijuluki cogan bad boysekolah malah takut sama balon? Makin lama, makin banyak hal tak terduga tentang Serga yang kuketahui. Mulai dari dia yang suka nonton Dangdut Academy, suka dengerin lagu Korea gara-gara pengaruh kakaknya, sampai ketakutannya akan balon. Tunggu, aku butuh alasan perihal ini.
“Raia emang usil banget, sih. Dia sering ngeletusin balon di depan Serga waktu tuh anak masih kecil. Trauma kan jadinya,” celetuknya sambil tertawa. “Tapi dia nggak setakut itu kok. Bukan jenis takut yang baru ngelihat balon udah jerit-jerit atau denger suara balon meletus langsung latah. Dia cuma... berusaha ngehindar tiap ada balon. Ya, sok kalem dan seolah nggak takut gitulah.”
Aku juga tidak berpikiran Serga akan menjerit melihat balon, sih. Kalau iya, aku bakal mundur saja. Mungkin akan lebih baik kalau kami hanya berteman saja.
“Oke. Makasih, ya. Gue ke kelas dulu,” pamitku, memutar badan dan pergi dari kantin setelah mengulas senyum untuk Ben.
Aku tidak sabar menunggu hari ulang tahun Serga tiba. Dia akan berumur 17 tahun, dan lebih dari apa pun, aku ingin kembali melihatnya tertawa lepas seperti biasa.
*
a.n.
maaf late update dan ini pendek banget. gue terlalu asik liburan jadi nggak sempat nulis.
nggak ada rekomendasi. males ngetik panjang-panjang. so sorry hehe
4 Januari 2018
((JISOO KEMARIN ULTAH))
KAMU SEDANG MEMBACA
When Bad Boy Has Never Been a Bad Boy ✔
Novela Juvenil[BOOK 1 - COMPLETED] For the two of us, home isn't a place. It is a person. And we are finally home. -Stephanie Perkins-