Suasana bandara begitu riuh. Banyak orang-orang yang mondar-mandir dengan kesibukannya masing-masing. Puluhan lelaki burseragam biru muda duduk di depan taksi sesekali menawarkan jasa taksi. Kalo dipikir-pikir supir taksi zaman sekarang tidak jauh beda dengan supir kopata atau angkutan umum.
Anin duduk di ruang tunggu seorang diri, ia melihat sekeliling bandara siapa tahu keluargannya sudah menjemputnya. Ruang tunggu terletak di samping area parkir taxsi dan mobil pengunjung. Tempatnya cukup luas di samping timur terdapat ruangan berukuran 10 kali 15 meter bertuliskan rangan untuk merokok.
To: Aila (085713038***)
Dek, Mbak Anin nunggu di ruang tunggu dekat area parkir taxsi.
Anin sudah mengirimkan pesan kepada Aila bahwa ia menunggu di ruang tunggu dekat parkiran mobil timur pintu utama masuk bandara.
Dret... 1 getaran berasal dari ponsel Anin.
From: Aila
Ok mbak. On the way -_-"
"Kok masih di sini? " Tanya Abyan menggagetkan Anin. Ia memasukkan kembali ponsel ke dalam saku.
"Iya masih nunggu keluarga."
"Oh, boleh aku duduk?" Bicara Abyan kali ini berubah non formal berbeda saat di pesawat tadi. Sangat formal dan baku.
"Silahkan." Anin mempersilahkan lalu sedikit geser supaya jarak diantara keduanya tidak terlalu dekat.
"Abyan."
Suara seorang laki-laki membuat Anin dan Abyan menoleh ke asal suara. Langkah lelaki itu mendekat ke arah mereka. Anin yang tak menggenal lelaki itu tak begitu peduli.
"Bang Fahrul."
"Itu ditunggu wartawan di luar."
"Saya atau Abang?"
"Ya kamu lah Yan. Aku ini siapa." Lelaki bernama Fahrul itu tertawa renyah. Anin hanya memperhatikan mereka.
"Kenalin Bang, ini teman saya yang saya ceritakan ke Abang barusan," ucap Abyan kepada Fahrul.
Anin tersenyum sekilas.
"Assalamulaikum," salam Fahrul.
"Waalaikumsalam," balas Anin tampak lesung pipi sebelah kanan menambah kecantikan gadis itu.
"Fahrul Abduallah. Panggil Fahrul." Lelaki itu menggenalkan diri.
"Anin," jawab Anin tanpa panjang lebar. Cukup satu kata.
Fahrul berbincang dengan Anin cukup lama membahas tentang Kairo dan perjalanan pendidikan Anin. Sedangkan Abyan sudah kembali ke tempat yang entah di mana untuk menemui wartawan.Ternyata Fahrul adalah seorang sutradara. Mendengar cerita Abyan Fahrul rasa Anin cocok menjadi peran salah satu film yang akan ia garap. Kebetulan ia sedang mencari tokoh tetapi belum menemukan yang cocok.
"Maaf, tapi saya tidak bisa. Saya tidak ahli dalam berperan. Saya hanya aktris kelas teater dan film pendek." Anin menolak dengan halus tak ingin menyakiti hati lawan bicaranya. Ya, sejak SMP Anin memang pandai memainkan peran. Hampir setiap event lomba di sekolah kelasnyalah yanh memangkan.
"Baiklah. Ini kartu nama saya. Siapa tahu Anda berubah fikiran. Sebenarnya tidak apa jika Anda belum pandai berperan kita akan membantu, tapi jika Anda menolak saya menghargai kuputusan Anda." Fahrul menyerahkan kartu nama kepada Anin.
Anin memasukan kartu nama ke dalam dompet. Sebenarnya tidak ada niat menghubungi lelaki itu untuk menerima tawaran.ia menyimpan hanya untuk menghargai Fahrul. bukannya seharusnya begitu?
"Segera hubungi saya jika berubah fikiran. Saya pergi dulu. Assalamulaikum," ucap Fahrul lalu melangkah pergi.
"Waalaikumsalam."
Lelaki itu berjalan menuju kerumunan wartawan yang seolah-olah haus akan informasi tentang kepergian kedua lelaki itu. Tak bisa dipungkiri, Fahrul juga tidak kalah mempesona dari Abyan. Sutradara muda yang berprestasi di dunia pefilman Indonesia.
💝💝💝
Dari kejauhan tampak senyum lebar dari wajah bapak dan ibu yang kini semakin terlihat renta, adik satu-satunya Aila tampak juga di belakang mereka. Sebalah kiri Aila terlihat wanita berkulit kuning langsat dengan rambut lurus sepunggung tentu itu adalah Ineke–majika ibu yang baik–. Mereka semua tersenyum ke arah gadis berkrudung coklat yang membawa koper besar berwarna hitam dan ransel besar dipunggungnya. Sampai di depan ibu yang sangat dirindukannya ia memeluk erat tubuh wanita bak malaikat dikehidupannya dengan erat.
Pelukan itu pelukan kehangatan yang 4 tahun tak dirasakannya, pelukan sebelum ia berangkat ke Mesir. Waktu yang cukup lama.
"Ibu," rengek gadis itu memeluk semakin erat. Kedua matanya mengalirkan butir-butir air mata kerinduan.
Wanita dipelukan itu tak sanggup menggeluarkan satu patah kata pun. Rindu, bangga, harus, kebahagian menjadi satu dalam perasaannya. Hatinya terus bertasbih kepada Allah karena ahirnya ia kembali dapat memeluk anak pertamanya.
"Jadi kangennya sama ibu saja?"
"Bapak." Anin kini memeluk bapaknya.
"Mbak Anin." Aila memeluk Anin sepertinya ia tak sabar menunggu giliran jatah peluk.
"Adekku udah gede tapi manjanya gak ilang-ilang," canda Anin.
"Biarin." Aila melepaskan tangan Anin lalu menggandeng tangan kakaknya erat. Takut pergi jauh lagi.
Umur Anin dan Aila selisih 4 tahun. Aila adalah mahasiswa disalah satu Universitas Negeri di Solo.
Anin dan Aila sangatlah berbeda. Jika Anin adalah gadis mandiri yang selalu bersikap dewasa, Aila adalah gadis yang manja, kekanak-kanakan, dan egois. Aila menikuti sifat bapaknya sedangakan Anin lebih pada ibunya.
Cukup lama mereka berada di airport. Akhirnya mereka memutuskan pulang. Mobil Bu Ineke melaju meninggalkan bandara menuju Jalan Sukarno Hatta No.112 melewati Hotel Kusuma lalu memasuki gang kecil dan berhenti di sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Setelah menurunkan semua barang Anin, Bu Ineke memutuskan pulang karena ada urusan kantor. Keluarganyapun berterima kasih kepada majikan ibu yang berhati baik itu. Rela menjemput Anin di bandara dengan mobil pribadinya.
Anin menatap rumahnya yang tak berubah dari 4 tahun yang lalu. Sebuah rumah yang sangat sederhana. Hanya ada 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 dapur, dan 1 kamar mandi.
"Ayo mbak masuk." Suara Aila membuat Anin melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah yang susananya masih sama seperti dulu.
"Untuk apa rumah mewah jika rumah sederhana bisa membuat sebuah keluarga bahagis. Sakinah ma wadah warohmah. Dan selalu dalam rahmat Allah." batin Anin sambil berjalan memasuki rumah.
Tak jauh dari tempat berdirinya Anin sepasang mata menatapnya penuh Kerinduan. . Empat suku kata ke-rin-du-an.
***
Jangan lupa yaa voment. Vote dan comment.
Mel~
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Fisabilillah
Spiritual[Sudah terbit. Bisa hubungi instagram @mellyana.i jika ingin membeli] Bagi Anindya, keluarga dan kesucian adalah prioritas. Sepercik pun ia tak ingin ternoda. Sedikit pun ia tak ingin menggoreskan luka. Dan semuanya jungkir balik setelah ia memutusk...