Malam semakin larut. Suara panggilan Aila agar Anin kembali ke kamar sudah tak terdengar lagi. Anin berbaring diatas kursi kayu panjang berearna coklat tua diruang tamu yang hanya berukuran 4 kali 3 meter. Sudah berkali-kali ia memejamkan kedua matanya namun gagal. Bekali-kali pula ia membenarkan posisi tidurnya, tidak juga membuat gadis itu tertidur.
Fikirannya terus mengingat kejadian tadi malam sekaligus menerawang kejadian esok hari. Anin berusah bersikap biasa tetapi kegusaran itu selalu datang. Apakah ia akan mampu mencintai calon suaminya itu? Jujur ia adalah salah satu gadis yang sulit jatuh cinta. Dapat dihitung berapa kali gadis itu jatuh cinta. Cinta pertamanya adalah seorang Adit sang ketua kelas yang satu kelas juga dengannya ketika SMP namun rasa itupun tidak bertahan lama.
Kedua, ia pernah jatuh cinta kepada ketua OSISnya di SMA. Dikarenakan lelaki itu sudah memiliki kekasih ia pun menepis perasaan itu dan hingga kini Anim belum merasakan gejala-gejala orang yang sedang kasmaran.
"Allah" sebuah rintihan terdengar samar-samar oleh telinga Anin. Ia mencoba menfocuskan lagi pendengarannya.
"Allah...Allah " suara itu terluang lagi Anin semakin yakin bahwa ia tidak salah dengar.
"Allah" suaranya seperti suara rintihan bukan suara dzikir ataupun yang lainnya. Anin mendengarkan dengan seksama hingga dia yakin bahwa itu suara bapaknya dari dalam kamar.
Anin melangkahkan kalinya perlahan menuju kamar bapak dan ibunya. Ketika Anin akan bersuara menanyakan apa yang terjadi, ia menggurungkan niat saat ibunya berbicara kepada lelaki dihadapannya yang tak lain adalah suaminya.
"Gimana pak? Apa bapak operasi saja? " Perkataan sang Ibu membuat Anin tersentak. Sebenarnya ada apa? Pertanyaan itupun muncul dari lubuk hatinya yang bertanya-tanya.
Tidak ada jawaban dari lelaki yang sudah beruban itu yang ada hanya suara-suara rintihan.
"Jika operasi kita belum ada biyaya pak. Cicilan rumah ini saja nunggak 3 bulan. Apa perlu ibu pinjam uang bu Ineke lagi? "
"Jangan bu. Hutang kita banyak. Lagian jika Bapak operasi bapak takut kalo Anin jadi tahu kalo bapak punya penyakit"
"Sampai kapan pak kita sembunyikan ini dari Anin? "
"Sampai Anin sudah menikah bu. Maka bapak akan merasa tenang "
Selama mendengar perkataan Bapaknya Anin terus meteskan butir-butir air mata dari kedua bola mata cantiknya. Setelah yakin Anin melangkahkan kaki memasuki kamar kedua orang yang ia cintai itu.
"Anin tidak akan menikah "Ucap Anin. Kedua orang yang sudah renta itu tersentak dengan kehadiran Anin.
💖💖💖
Entah kenapa dari semua penjelasan orang tuanya Anin merasa sangat terpukul. Bagaimana mungkin orang tuanya menyembunyikan penyakit bapaknya yang sudah 7 tahun? . Tidak. Ia tak akan menikah sebelum membahagiakan kedua orang tuanya. Mungkin, dengan menikah kedua orang tuanya akan bahagia tetapi dirinya memantapkan bahwa akan membatalkan proses ta'aruf dan tetap disamping kedua orang tuanya. Walaupun tidak dapat disisi mereka Anin akan mencari biyaya untuk membayar rumah,hutang, dan operasa bapaknya. Anin sudah berjanji. Kepada dirinya sendiri.
"Kenapa mbak membatalkan ta'aruf cuma gara-gara tahu bapak sakit sih mbak?. Ini nih yang buat Aila gak mau ngasih tahu mbak dan lebih memilih menyembunyikan dari mbak Anin. Mbak Anin orangnya kaya gini "
"Kasihkan amplop ini kepada Ibu dek" Anin menyerahkan amplop coklat berisi biodata calon suaminya kepada sang adik.tidak mau membalas protesan Aila.
"Enggak. Mbak Anin harus simpan amplop ini! mbak anin harus tetap melanjutkan ta'aruf. Asalkan mbak tahu lelaki yang mengkhitbah mbak sudah menunggu 4 tahun dari mbak Anin berangkat kuliah hingga sekarang. Dan kini mbak Anin membatalkannyapun ia tetap menunggu sampai mbak Anin siap " Aila berkata dengan nada tinggi. Anin tahu bahwa Aila kecewa dengan keputusannya.
"Jika ada seorang yang shaleh melamar tidak ada alasan untuk menolaknya mbaak!!! Mbak Anin sudah tahu hukum agama. Bahkan mbak Anin lebih ahli dari pada Aila " lanjut Aila.
Anin masih mematung. Yang ada diotaknya hanya ada 1 bahwa ia tidak ingin menikah saat ini . Ia akan tetap bersama bapaknya hingga sembuh. Ia akan melunasi hutang dan cicilan rumah dengan usahanya sendiri tidak ada campur tangan orang lain. Titik.
💖💖💖
"Jadi bagaimana keadaan bapak saya dok? " tanya Anin kepada seorang dokter yang memeriksa bapaknya."Sel kankernya sudah mulai menyebar mbak. Persebarannya memang baru dibagian usus halus namun sudah cukup panjang apabila dipotong pencernaan harus lewat jalur samping dan itu resikonya lebih besar mbak"
"Lalu bagaimana langkah selanjutnya dok? "
"Kami pihak dokter dalam akan bekerja sama dengan dokter luar negri untuk membuatkan alat pencernaan dan alat ini akan meminalisir resiko kematian mbak. Insyaallah jika Allah mengizinkan"
"Berikan itu kepada bapak saya dok"
"Tapi biyayanya mencapai 1 M mbak"
"Iya dok tidak apa yang penting bapak saya bisa senbuh "
Dokter berkaca mata itu segera menelvon seseorang. Tak tahu siapa lawan bicaranya namun pembahasannya masih mengenai bapak Anin. Setelah berpamitan Anin segera meninggalkan ruangan dokter bedah .
Benarkah bapak sakit? Itu pertanyaan yang ada dalam benaknya. Rasanya ia tak dapat menerima kenyataan itu. Teringat jelas diingatannya dari 7 tahun yang lalu. Bapaknya tampak sehat-sehat saja dengan sigap membawa grobak satenya keliling kompleks-kompleks elit yang tak jauh dari rumahnya.
Setalah menggelilinggi kompleks ia akan ke alun-alun kota. Setelah satenya habis beliau akan kembali kerumah bisa 10 malam bahkan 12 dini hari. Bapaknya terlihat kuat bahkan tidak pernah terlihat wajah capek ataupun pucat.
"Kamu harus menjadi orang besar Anin melalui ilmumu. Nanti kalo kamu udah menjadi sarjana lulusan Al-azhar bapak akan sangat bangga memiliki anak sepertimu" teringat jelas nasehat itu. Nasehat yang disampaikan oleh bapaknya sebelum ia terbang ke Mesir. Waktu itupun wajahnya masih berseri-seri tidak ada gurat kesakitan sedikitpun.
Hal yang membuat Anin lebih terpukul adalah biyaya ketika ia berangkat ke Mesir itu biyaya operasi bapaknya yang dikorbankan demi Anin. Seandainya ia tahu ini semua sejak dulu ia tidak akan berangkat ke Mesir. Dan memilih pengobatan bapaknya.
Dengan doa dan usaha Anin berharap bapaknya akan sembuh dan berkumpul dengan keluarga kecil nan sederhana tanpa menahan rasa sakit lagi untuk tersenyum didepan anak-anaknya. Bapak jangan sembunyikan rasa sakit itu dengan senyumanmu untuk menunjukan kepada anak-anakmu jika kamu baik-baik saja.
💖💖💖
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Fisabilillah
Spiritual[Sudah terbit. Bisa hubungi instagram @mellyana.i jika ingin membeli] Bagi Anindya, keluarga dan kesucian adalah prioritas. Sepercik pun ia tak ingin ternoda. Sedikit pun ia tak ingin menggoreskan luka. Dan semuanya jungkir balik setelah ia memutusk...