Terbukanya Kesempatan Melupakan

65 2 0
                                    

Maaf kalo feel-nya kurang dapet. Semoga teman-teman suka yaaa. Aku masih Setia nerima kritik dan sarannya loh yaa hihiww.
Selamat membaca :)

Btw, yang di mulmed ada visualisasinya Panji. Ganteng kan? Wkw

***

Sinar cahaya matahari menembus celah jendela kamar sehingga membuat Panji menggeliat dan membenarkan letak selimutnya untuk menutupi wajah putihnya agar tidak tekena sinar matahari. Baru saja Panji mencari posisi nyaman melanjutkan tidurnya yang tiba-tiba terganggu karena sebuah suara seorang perempuan paruh baya yang muncul didepan pintu kamar.

"Panji, bangun sayang udah jam tujuh. Mentang-mentang hari minggu kamu jadi malas bangun hm? Ayo sarapan, udah ditunggu Papa dibawah" ucap perempuan paruh baya itu sembari membuka jendela kamar Panji sehingga membuat sinar matahari langsung menerobos ke dalam kamar.

"Iyaa Ma nanti Panji nyusul" jawab Panji dengan malasnya.

"Ditunggu ya Papa mau ngomong penting katanya" ucap Mama nya sembari berjalan keluar dan menutup pintu kamar Panji.

"Hmmm" ucap Panji sambil mungucek matanya dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum turun ke lantai bawah untuk bergabung sarapan dengan kedua orangtuanya.

Setelah selesai membersihkan diri, Panji bergegas keluar kamar dan menuruni anak tangga sambil jemarinya merapikan tatanan rambutnya yang masih sedikit basah. Panji terlihat tampan dengan kaus polos putih dan celana jeans selututnya, kebiasaan Panji ketika dirumah memang hanya menggunakan kaus dan celana pendek selutut.

"Pagi Ma pagi Pa" sapa Panji sambil menarik kursi ketika sampai di meja makan dan mendapati kedua orangtuanya tengah mengobrol serius.

"Pagi. Anak Papa udah gede yaa Ma? Ganteng lagi"sambut Papanya saat menyadari kedatangan anaknya.

"Iya dong Pa. Tapi kok belum ada yang dikenalin sama kita ya Pa?"goda Mamanya.

"Belum ada yang mau dikenalin Ma" balas Panji sedikit tertohok karena sekelibat kenangan tentang Naya kembali muncul dan Panji paling benci keadaan seperti ini. Ia harus melupakan Naya.

"Masa' anak Mama yang ganteng ini belum punya pacar? Atau teman dekat perempuan gitu nggak ada? Yang sering main kesini cuma Adit dan Naya. Itupun karna Naya sahabatmu dan Adit. Kamu ini masih normal kan, Nji?" ucap Mamanya panjang lebar dengan mimik wajah yang dibuat sedikit berlebihan. Sebenernya Mamanya tahu bahwa Panji dan Naya memiliki hubungan yang lebih, hanya saja baik Panji maupun Naya masih sering menyangkal dan mengaku bahwa hubungan mereka tidak lebih dari seorang sahabat.

"Mama berlebihan deh. Panji masih normal kok" kekeh Panji yang sedikit geli dengan penuturan Mamanya.

"Sudah sudah, kita makan dulu ngobrolnya dilanjutin nanti setelah makan" ucap Papanya.

Detik selanjutnya hanya terdengar suara sendok dan garpu yang menemani kegiatan sarapan mereka. Keluarga Panji sangat harmonis, keluarga kecil yang selalu menyempatkan waktu mengobrol bersama bertukar cerita disela-sela kesibukan Papanya yang sibuk dan sering keluar kota. Mamanya juga selalu memberikan kasih sayang kepada suami dan anak semata wayangnya. Bahkan ia tahu apa yang terjadi dengan Panji belakangan ini sehingga ia merasa keputusan suaminya adalah yang terbaik untuk Panji.

"Ehm, Panji. Papa rasa sekarang waktu yang tepat untuk membicarakan masalah ini" ucap Papanya ketika mereka selesa sarapan.

"Ada apa Pa?" tanya Panji penasaran.

"Papa bersama rekan kerja Papa membangun bisnis baru dan pekerjaan itu mengharuskan Papa menetap di Jakarta. Papa rasa ada baiknya kamu dan Mama ikut Papa, kita bisa tinggal dirumah yang sudah Papa beli disana. Kamu keberatan?" ucap Papanya serius.

"Mama bisa antar kamu kesini kapanpun kamu pingin kesini, Nji. Kamu mau kan? Besok Mama akan mengurus surat pindah kamu disekolah." sambung Mamanya seperti mengerti apa yang ada dipikiran Panji.

"Kapan kita pindah Pa?"

"Lusa kita pindah"

"Secepat itu?" tanya Panji setengah tidak percaya.

"Ini terkesan mendadak tapi Papa sudah pikirkan ini dari jauh hari. Hanya saja Papa baru bisa menyampaikan ini padamu hari ini. Maafkan Papa." sambung Papanya ketika mendapati rauh wajah anak kesayangannya yang mendadak berubah ketika mengetahui rencana kepindahan mereka yang tinggal dua hari lagi.

"Kamu keberatan Nji? Mama bisa nemenin kamu disini kalau kamu tidak menyetujui keputusan Papa kamu." tanya Mamanya hati-hati.

"Iya Mama kamu benar"

"Panji ikut aja Pa. Bahkan ini terkesan tidak bisa ada penolakan." kekeh Panji.

"Kamu emang anak satu-satunya kebanggan Papa" puji Papanya bersamaan dengan Panji yang bangkit dari kursi dan berjalan menuju tangga.

"Panji ke kamar dulu Pa, Ma" pamit Panji.

"Panji, kamu harus tahu gadis Jakarta juga tidak kalah cantik dari gadis Bandung" teriak Papanya yang hanya dibalas kekehan oleh Panji dan cubitan dilengan oleh Mamanya.

Panji menatap satu persatu foto yang tertempel di dinding kamarnya. Kumpulan foto polaroid dirinya bersama Naya dan juga sahabatnya Adit yang digantung rapi menggunakan klip disebuah tali kecil yang membentang didinding kamarnya. Perasaannya bimbang, sebagian hatinya tidak rela meninggalkan tempat ini beserta seluruh kenangannya bersama Naya. Namun sebagian hatinya lagi menyetujui keputusan Papanya karena dengan itu Panji yakin akan lebih mudah melupakan Naya yang pernah menyakiti hatinya. Panji mengambil sebuah kotak berukuran besar dan menaruhnya diatas meja. Satu persatu barang kenangan bersama Naya ia masukkan sehingga tidak menyisakan satu barangpun yang berkaitan dengan Naya. "Gue bakal lupain lo Nay, secepat lo lupain gue" batin Panji dalam hati. Tidak terasa waktu seharian ia habiskan untuk mengemasi barang-barang sekaligus membersihkan kamar yang akan ia tinggalkan dua hari lagi. Setelah makan malam juga Panji bergegas menuju kamarnya, memasukkan baju-baju kesayangannya ke dalam koper besar miliknya. "Rasanya benar-benar tidak akan kembali kesini" ucap Panji lirih.

"Belum tidur Nji? Besok kan sekolah" suara Mamanya tiba-tiba muncul dibalik pintu dan berjalan menuju ke arahnya.

"Belum Ma lagi beres-beres"

"Yaudah tidurnya jangan malam-malam ya?" ucap Mamanya menepuk bahu Panji pelan lalu berlalu dari kamar Panji.

***

Bintang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang