Lempar Mantan

167 13 4
                                    

Apa mata pelajaran yang paling kau benci? Kalau aku yang ditanya begitu maka aku akan menjawab. Olahraga.

Untuk apa kita disuruh susah-susah berlari di bawah senyuman matahari yang alhamdulillah menambah kehitaman kulit? Bukan apa-apa. Aku masih terima kalau disuruh cuma lari, tapi ini? Tidak usah dijabarkan karena menambah kegedekanku.

"Woi! Ke lapangan semuanya!" Tara berteriak di ambang pintu. Kami berjalan ke arah lapangan dengan berbagai ekspresi. Yang pasti wajahku sudah suram sekali.

"Pagi anak-anak!" suara guru yang menurutku sangat membantuku untuk--agak-- tidak terlalu membenci pelajaran olahraga.

"Pagi, pak!" sahut kami. Saat ini, kami sedang duduk di tanah. Menunggu intruksi apa yang akan kami lakukan. "Hari ini, kita akan mempraktekkan beberapa cara lempar lembing." Aih, apalagi ini? Lempar lembing? Kenapa gak lempar mantan aja, sih?

"Baiklah, bapak akan menjelaskan beberapa cara memegang lembing ini. Yang pertama adalah cara yang sering digunakan....." dan penjelasan itu mengalir sungguh aku sangat tidak tertarik. Dan sepertinya teman sekelasku juga sama.

"Baiklah, mari kita mencobanya. Dimulai dari siswa laki-laki. Hm... Malvin ayo maju. Praktekkan cara memegang lembing yang american style." aku mendengus apa bedanya coba? Sama-sama ngelempar juga, tinggal ngelempar doang yang penting jauh. Ribetnya.

Malvin mengambil lembing itu. Dia sudah siap dengan posenya. Dia melempar, dan...

Apaan? Itu ngelempar sama ngedorong beda dikit. "Aduh... Bapak selaku laki-laki malu lihat kamu, Vin." Pak Nonci menggaruk dahinya.

"Ya elah, pak. Saya kasihan sama lembingnya. Udah digenggam erat-erat eh ternyata dilempar juga." ember mana ember.

"Harap kondisikan, yah... Ini lembing bukan mantan lo!" Apri berteriak nyaring.

"Kalau kamu punya mantan bayangin itu mantan kamu. Lempar kuat-kuat biar dia kelempar dari hidup kamu anak muda." aduh guruku sudah seperti anak abg saja omongannya.

"Ulangi sekali lagi!" Pak Nonci memberikan batang lembing itu kepada Malvin.

"Ingat mantan lo, Vin." kami menyemangati Malvin yang malah mengundang mata malas Malvin.

Malvin kembali melakukan apa yah disebut? Pokoknya dia sudah siap. Dia memegang lembing dengan tangan kanan yang dia tarik ke belakang. Tangan kirinya ia tekuk, kakinya dia buka dengan kaki kiri di depan membuat posisi tubuhku miring dan condong ke belakang.

Suara tiupan peluit terdengar. Malvin melempar lembingnya. Dan tahukah kalian? Jaraknya jauh sekali. Gila, segitu keselnya sama mantan! Siswa mulai bergilir melakukannya. Bahkan sudah masuk ke siswa perempuan.

"Lessa! Kamu selanjutnya." aku berdiri, menepuk bokongku membersihkan debu yang menempel. Mendekati lembing itu.

"Pak, saya enggak dikasih kesempatan buat ngasih kata-kata terakhir, nih?" aku coba mengulur waktu. Ayolah, 30 menit lagi.

"Sudah cepat lakukan. Gunakan gaya menjepit atau gaya tang. Kamu mengerti?" aku mengangguk saja.

"Tangnya mana, pak?" Pak Nonci menepuk jidatnya. Temanku menyorakiku.

"Kamu tidak dengar penjelasan bapak, Sa?" aku menggeleng. Hah, gak apa-apa dimarahin daripada diketawain satu sekolah.

"Bisa dijelasin ulang, pak? Tadi, telinga saya kemasukan air jadinya susah ngedengar gitu." aku pura-pura.

"Banyak sekali alasanmu, sudah seperti tersangka korupsi. Lempar lembing atau lari 5 putaran sambil bilang 'saya budek'? Mau yang mana?" hais, pilihannya gak ada yang bener perasaan.

"Ya deh, pak. Saya lempar lembing aja." aku meraih lembing di tanah. Mengambil posisi layaknya pelempar lembing profesional. Kalau masalah teori aku bisa, tapi untuk praktik jangan ditanya. Aku melempar lembing sekuat tenaga.

"Buset!" ujung lembing terlepas mengenai kepala seseorang. Aih, matilah aku.

"Aduh, ini kenapa kamu ngelempar orang begitu, sih? Dia mantan kamu?" Aku langsung menggeleng. Boro-boro mantan. Pacar aja gak pernah.

"Fadlan! Sini!" Pak Nonci memanggil anak itu. Dia mendekat. Sial, dia menatapku tajam dengan bibir menyeringai.

"Siapa nih yang ngelempar kepala saya, pak?" Pak Nonci melirik ke arahku. "Dia mantanmu, Lan?" aku membalik tubuh. Tengsin permirsah!

"Mantan? Saya lebih suka kalau dia disebut pacar saja, pak." tunggu! Apa-apaan dia?

"Heh, kecoa terbang! Siapa yang lo bilang pacar?" aku melihat wajahnya. Dia mengangkat sebelah alisnya.

"Sudah-sudah. Kalian ribut sekali. Bapak mau ngopi saja. Waktu olahraga selesai." Pak Nonci melarikan diri dari masalah. Aih, guru itu!!

"Bayar cepetan! Lo pikir nimpuk orang itu gak salah?" aku mencebik.

"Gue gak sengaja." jawabku cepat.

"Terus, kalau ada orang ngebunuh orang dan dia bilang 'gur gak sengaja', masalah selesai gitu?" aku bersedekap. Teman-teman sialanku masih duduk di sekitarku. Mereka sepertinya ingin menonton saja. Aih, teman-teman gak setiakawan.

"Ya itu beda. Lo gak sampai mati juga." aku kembali membela diri. Dia terkekeh.

"Kalau gitu, biar impas gue nimpuk lo pakai kepala lembing itu lagi. Masalah bakalan selesai, gimana?" ih, kenapa ini orang nyebelin, sih? Aku menimang. Ah, biar saja. Dia tidak mungkin menimpuk kepalaku keras banget,'kan?

"Gue setuju." teman laki-laki ku berdiri. Mereka mendekat ke arah kamu.

"Lo cowok? Mau nimpuk cewek? Pakai rok aja sono!" suara bass Zack benar-benar tajam.

"Oh... Para pengawal membela sang putri." suara itu benar-benar menyebalkan.

"Kita bukan pengawal dia. Kita temannya. Kalau lo emang laki, lo bisa pergi sekarang." ah, mereka so sweet.

"Oh, bagaimana kalau kalian yang menggantikan dia?" aku membelalak niat banget ini orang balas dendam.

"Oke." balasan singkat Abi membuat aku pias. Tidak. Masa aku akan membuat mereka meneriman ini? Tidak. Maaf saja. Aku tidak mau terlihat lemah.

"Gak usah. Dia ada masalah sama gue. Lo semua ganti baju, aja." mereka menatapku malas.

"Ya udah. Ayo ke kelas." Malvin, Putra, Tama, dan Tara serta yang lainnya melenggang pergi.

"Teriak aja kalau lo perlu bantuan." mereka bicara sambil berjalan pergi. Aku hanya tersenyum tipis. Percaya atau tidak mereka tidak akan pergi mereka akan memantau dari jauh. Mereka memang top!

"Jadi? Lo mau?" aku mengangguk. Mendekatinya.

"Gak jadi, deh. Gue udah gak merasa tertarik lagi." dia memasukkan tangannya ke saku. Berjalan pergi.
____________________________________

"Lo gak kenapa-kenapa?" mereka mengerumuniku. Aku hanya mengedikkan bahu. Mengambil seragamku dan bergegas ke toilet.

"Yah, padahal mau lo kenapa-kenapa." aku mendengar Tama menggumam.

"Zahra, temanin gue, dong." Zahra mengangguk dan berjalan di sampingku. Cewek berhijab dan berkaca mata itu berjalan bersisian denganku.

"Sa, si Fadlan ganteng,'kan?" aku menolehkan kepala. "Iya." sahutku pendek. Aku tidak mau sok-sok benci. Sinetron banget entar jadinya.

"Tunggu. Awas lo ninggalin gue." dia mengangguk. Aku memasuki salah satu bilik toilet.

Sekitar lima belas menitan. Aku keluar. Aku melihat Zahra sedang memainkan hp-nya.

"Lo lagi ngapain?" aku mencuci tanganku di wastafel.

"Ngefollow si Fadlan. Ganteng anjir." aku menggeleng maklum. "Dasar kuda baru dilepas. Lihat cowok mulus dikit langsung ngiler." aku tertawa melihat Zahra menekuk wajahnya kesal.
____________________________________

AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang