Anak Baru

140 10 2
                                    

Aku mengetukkan pulpen ke meja. Jam segini sebenarnya waktunya untuk program literasi. Tapi, wali kelas kami belum masuk juga.

"Elah, nungguin Bu Yuka serasa nungguin dia biar peka." kami menyoraki Mika. Dasar anak itu.

"Assalamualaikum anak-anak." Ibu Yuka masuk dengan pakaian syar'i yang menurutku sangat cantik. Dia sudah tidak bisa dikatakan muda lagi, tapi aku merasa beliau sangat cantik.

"Wih, itu anak baru?" aku mendongak saat mendengar Alfi berdecak kagum.

Mataku langsung tertumpu pada mata hitam pekat itu. Mata yang terhalangi kaca mata lingkaran yang digunakan oleh boboho. Kalian tahu? Tapi, aku akui dia tidak terlihat cupu. Malah keren. Rambutnya coklat tua hampir seperti hitam. Kulitnya tidak terlalu putih. Paslah. Pas untuk jad... Eh? Lupakan.

"Perkenalkan ini Rayhan Surya Permana. Dia pindahan dari Jakarta. Rayhan, bisa kamu perkenalkan diri biar lebih jelas?" pemuda itu tersenyum manis. Aih, kenapa aku merasa ganjil dengan senyumannya.

"Perkenalkan nama saya Rayhan Surya Permana. Kalian bisa panggil saya Ray atau Rayhan. Saya pindahan dari SMA Angkasa Jakarta." aku tertawa.

"Apa bedanya penjelasan lo sama penjelasan Ibu Yuka?" Ibu Yuka berdehem mendengar pertanyaanku.

"Kalian bisa nanya kalau mau tahu lebih." suara antusias temanku mengisi pendengaran. Aku dan teman laki-lakiku langsung berdecak. Gini, nih kalau ada anak perawan kurang belaian ngelihat cowok mulus, ribet banget.

"Umur kamu berapa?" suara Novi mengawali sesi tanya jawab bak meet and greet. Aku merasa ini sangat membuang waktu.

"15." idih irit banget. Apanya yang lima belas? Umurnya apa sisa hidupnya?

Banyak lagi pertanyaan tak penting yang membuat kepalaku berdenyut. Aku melihat raut malas teman laki-laki ku.

"Lessa, kamu ada pertanyaan?" aku mengerjap. Apa aku ketahuan mendumal. Sialan! Aku tahu, apa yang harus ku tanyakan.

Aku menggeleng. "Ya sudah, Rayhan kamu duduk sendiri di pojok. Jangan sampai ada yang bermasalah." kami mengangguk dengan tersenyum.

Rayhan berjalan ke tempat yang Ibu Yuka maksud. Duduk di sana dengan anteng. Aku melirik ke arahnya. Dia menyisir rambutnya dengan jari-jari panjangnya. Dia tiba-tiba tersenyum sinis dan melihat ke arahku.

Aku gelagapan. Sial. Apa dia melihatku?

"Pagi anak-anak! Buka halaman 69, kita akan membahas." kami mengiyakan. Mencari halaman yang diminta.
____________________________________

Suara bel istirahat serasa mengembalikan kebahagiaan semua siswa. Tapi, tidak denganku. Aku masih merutuk. Ya Tuhan. Keputusan yang tidak adil sekali tadi.

"Baik anak-anak, karena sudah istirahat jadikan pr saja. Lessa jangan lupa, kamu harus membimbing Rayhan dalam pelajarannya." aku mengangguk. Mencoba tersenyum.

Aku membereskan alat tulisku. Bersiap ke kantin. "Lo mau kemana?" aku membalik badan menemukan seorang yang na'udzubillah sangat-sangat merusak kehidupan yang sangat damai.

"Ke kantin." jawabku singkat. Aku berjalan dengan risih. Jelas saja, bagaimana tidak? Manusia berkacamata yang songongnya mengalahkan para penjajah membuatku ingin menabok kepalanya dengan batu bata.

"Lo ngapain, sih? Ngintilin gue gitu?" dia mengangkat sebelah alisnya.

"Gue anak baru di sini. Daripada gue tersesat,'kan?" aku menahan api di kepalaku yang sebentar lagi akan keluar.

"Kenapa harus gue? Kenapa gak anak-anak cowok, sih?" aku mengepalkan tangan. Anjir, boleh dilempar gak, nih? Kok nyebelin, sih?

"Lo mau gue dikira homo?" aku menggertakkan gigi.

AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang