Aku menghembuskan napas berat. Hari ini ayahku akan menikah. Aku dipaksa tersenyum bahagia. Tapi, mataku tak mencerminkan kebahagiaan.
"Assalamualaikum, cucuku sayang." aku melihat kakekku. Lebih tepatnya, kakek dari ayahku. "Kenapa murung begitu?" beliau duduk di sampingku.
"Tak ada apa-apa, opa." Opa Ahman-begitu aku memanggilnya- tersenyum maklum. "Lessa hanya mengantuk." aku coba tersenyum.
"Ayah kamu menyayangimu, Sa. Jangan benci ayahmu, ya? Dia hanya punya kamu, satu-satunya anaknya. Jangan tinggalkan ayahmu." aku tersenyum miris. "Sudah, jangan melow begitu. Entar, yang naksir kamu malah kabur." aku mendengus geli.
Yang naksir, ya? Kenapa aku jadi kepikiran Rayhan? Eh?
"Opa Ahman ada-ada saja." dia tertawa ringan. "Ayo, acara ijab qabulnya akan dimulai.
Aku merasakan air mataku jatuh. Aku mengelapnya diam-diam. Hari ini, ayah sudah benar-benar akan berpaling dariku. Ia akan mendapat keluarga baru yang akan sangat bahagia.
____________________________________Aku meregangkan seluruh ototku. Kemarin sangat melelahkan. Belum lagi, malamnya disambung dengan resepsi.
Tok... Tok... Tok....
Aku membuka pintu. Menjumpai seorang wanita berhijab yang cantik. Usianya baru 29 tahun. Dia menatapku dengan mata menyipit.
"Jangan melihatku begitu, bocah. Aku ini ibu tiri, seharusnya kau takut padaku." dia menyengir di ujung kalimatnya. Aku membuang napas malas.
"Kau sudah sholat?" dia melongokkan kepalanya ke dalam kamarku. "Bisa sholatkan?" dia bersedekap di depanku. Aku hanya berdecak. Di jam 5 subuh aku harus berhadapan dengan sosok ibu tiri terabsurd yang pernah ku jumpai.
"Ayo cepat, ambil wudhu. Kita sholat berjama'ah dengan ayahmu juga." dia menyeretku ke arah ruang yang ditata layaknya tempat sholat pada umumnya. Ada ayah di sana dengan peci, baju koko, dan sarung. Pemandangan lama yang menyejukkan. Sudah berapa lama aku tak sholat berjama'ah dengannya?
"Ayo ambil wudhu." mama tiriku yang bernama Aira itu menarikku ke ruang wudhu. Aku mengambil wudhu membiarkan air sejuk meloloskan pikiranku yang bercabang sehingga hanya tertuju padaNya.
Aku menggunakan mukenah yang disiapkan Mama Aira. Haish, aku merasa aneh memanggil orang lain dengan kata mama. Biasanya,'kan Mama Dedeh.
Ayah mengumandangkan adzan dan iqamah. Kami melaksanakan sholat dengan khusyuk aku menangis di tengah sholatku. Aku merasakan bahagia mendengar lantunan ayat-ayat suci itu dengan merdunya mengalun.
Ya Tuhan. Tolong, jangan biarkan aku kehilangan sosoknya. Sosok seorang ayah. Hanya itu. Aku hanya meminta itu.
____________________________________"Pagi anak tiriku tersayang." aku meliriknya bosan. Adakah ibu tiri seaneh wanita ini. "Jangan melihatku begitu, kau harus takut. Aku jahatloh." dia terkekeh dan mendekatiku.
"Jangan memotong bawang seperti itu. Pegang seperti ini. Kamu ini perempuan jadi harus bisa memotong bahan masakan dengan benar." Mama Aira memperbaiki letak tanganku, cara memegang pisau dan sejenisnya.
"Ai, ayo kita berangkat." ayah datang dengan baju kaos putih, dan celana jeans panjang. Aih, ayahku seperti anak muda.
"Jaga rumah, Sa. Mama pergi dulu. Assalamualaikum" Mama Aira menjulurkan tangannya. Aku mencium punggung tangannya. "Wa'alaikumsalam." jawabku pelan.
____________________________________Aku duduk di sofa dengan bosan. Aku sengaja izin karena pernikahan ayah. Tapi, terasa bosan. Ayah yang merupakan anak tunggal, tak memiliki keluarga lain selain Opa Ahman dan aku--kalau masih dianggap anak-- jadi, tak ada yang namanya kumpul keluarga.
![](https://img.wattpad.com/cover/124206234-288-k744359.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku
Teen Fiction60% diambil dari kenyataan 40% cuma khayalan author. Aku bukan dia Aku bukan kamu Aku bukan temanmu Aku bukan ibumu Aku ya aku