Menyusahkan

144 9 0
                                    

Aku membolak-balik lembar buku cetakku. Tidak satupun paragraf, kalimat, bahkan kata yang menempel di ingatanku. Aku melempar buku itu ke samping tepat jatuh di karpet empuk di samping ranjangku.

"Ibu... Lessa kangen!" aku menyentuh dadaku. Hari ini,  tepat hari di mana aku melihat ibuku meregang nyawanya sendiri.

Hari ini adalah awal kehancuranku. Aku menutup mataku. Ku rasakan lelehan air mata itu. Seperti bongkahan es di tumpukan ke dadaku. Sesak, mati rasa. Tuhan, berapa lama lagi akan sesakit ini?

Aku berpura-pura seakan tak ada yang terjadi di depan semua orang. Memendam keinginanku untuk dipeluk ayah. Aku tersiksa, benar-benar tersiksa. Ini sungguh sakit.

Adakah cara meleburkan rasa sakit ini?
____________________________________

Satu minggu ulangan tengah semester dilaksanakan. Kami mengisi jawaban di komputer. Aku tidak fokus. Benar-benar tidak bisa fokus.

"Lihat papan pengumuman, yuk? Katanya hari ini hasil ulangan kita di tempel di sana." Naru berteriak senang.

"Duh, gue deg-degan." Ristya berteriak nyaring.

"Ah, astaga... Les, lo harus lihat ini!" aku berjalan cepat ke arah papan pengumuman.

"Nilai lo anjlok semua." aku merasakan lututku lemas. Tidak pernah nilaiku sejelek ini. Aku meneguk ludahku susah.

"Sabar, ya.... Lo harus tingkatin lagi." aku hanya mengangguk pasrah.

Aku melihat taman sedang kosong, aku membenamkan kepalaku ke meja yang dibuat melingkari pohon besar. Kursinya terbuat dari semen berbentuk tabung.

"Nangis... Jangan lo pendem." aku mendongak, menemukan wajah keras Rayhan. "Saat lo menahan rasa sakit itu, lo bakalan semakin tersiksa." aku menarik napas yang kenapa rasanya malah semakin sesak.

Satu tangan terulur memelukku. Rayhan memelukku. Membenamkan kepalaku di lekuk lehernya. "Nangis, aja.... Jangan lo pendem..." lirihannya membuat setitik demi setitik air mataku jatuh.

Elusan di punggungku membuatku merasa aman. Aku melepas dekapan itu. Dia tersenyum padaku. Sangat manis. Untuk pertama kalinya.

"Gue suka sama lo, Les... Bisa gak, lo cerita apapun rasa sakit lo itu?" aku menggeleng lemah. "Lo gak akan ngerti." sahutku pelan persis bisikan.

"Gue ngerti dan sangat tahu malah. Gue sayang sama lo." dia memelukku lagi.

Aku hanya diam, tidak membalas atau menolaknya. Aku hanya terdiam. Apa yang dia tahu? Apa? "Apa yang lo tahu?" tanyaku menyelidik. Dia hanya tersenyum tipis.

"Nanti lo bakalan tahu." jawabnya pelan. Mengelus rambutku.

"Woi! Wah... Seenak jidat lo meluk calon istri gue, ya!" aku melihat Fadlan berjalan dengan tangan sibuk melipat lengan kemejanya.

"Calon istri? Emang dia mau sama lo?" aku mendengus, bisa gak sih mereka jangan berantem barang sehari aja? Kuping gue panas. Gue habis nangis, nih! Sadar gak sih?

"Cih, kayak dia mau aja sama lo." balas Fadlan. Oh, Tuhan... Kenapa mereka berdua tidak bisa akur. Aku mengacak rambutku, frustasi.

"Lo berdua pas kayaknya kalau pacaran. Manis-manis pahit gitu." seruku kesal. Mereka memandangku aneh. Sepersekian detik sebelum mereka tertawa kencang membuatku menatap datar mereka.

"Gue sama dia?" Fadlan menunjuk tepat hidung Rayhan. "Gak akan pernah." sahut Rayhan. Aku berdiri. Ini tidak akan selesai sampai aku ngejauh aja.

Sampai di kelas, bisa ku lihat wajah mereka tegang. Kenapa ini? "Les, ayah lo tadi datang ke sini. Dia nyari lo! Dia sekarang ada di ruang kepala sekolah." aku hanya mendengus menerima laporan dari Tara. Membawa tubuhku yang tiba-tiba kaku ke arah ruang kepala sekolah. Bisa ku lihat ayah duduk di sana bersama kepala sekolah. "Assalamu'alaikum." aku mengetuk pintu. Ibu kepala dekolah mempersilahkan aku masuk.

"Maaf, bu. Saya ingin bicara pada Lessa. Boleh tinggalkan kami?" aku meneguk ludahku susah. Aku duduk di depan ayah. Beliau menatapku nyalang. "Ini hasil ayah menyolahkanmu? Kamu hanya sibuk dengan dunia kamu Lessa! Kamu membuat ayah malu! Apa gunanya ayah menyolahkan kamu kalau kamu hanya main saja. Nilai kamu anjlok semua! Ini yang kamu mau?" aku hanya menatap taplak meja. Bersyukur karena ruangan ini kedap suara. "Ayah malu, Lessa! Kamu memang tidak bisa diandalkan! Seharusnya ayah tahu ini! Kamu jauh dibanding adek kamu! Kenapa bukan kamu saja yang mati, hah?! Kenapa harus adek dan ibu kamu?! Kamu membuat ayah sedih dan sekarang kamu buat ayah malu!" aku menunduk takut. Sayatan yang meruntuhkanku. Tidak ada sisa. Mati. Tidak ada lagi yang bisa ku pertahankan.

"Kamu! Kamu bukan anak ayah!" aku mendongak menemukan wajah beringas ayahku. Sudah berakhir?

"Kenapa tidak sejak dulu saja? Kenapa tidak membuangku sejak dulu saja? Kenapa tidak biarkan aku tergeletak di jalan, kenapa harus ayah pungut?" aku menggigit bibir dalamku. Apa yang aku katakan.

"Ayah juga menyesal punya anak yang seperti kamu, yang tega membunuh ibu dan adek kamu sendiri!" aku merasakan panas di dadaku. Sesak.

"Aku enggak ngebunuh ibu sama adek! Ayah egois! Ayah pikir hanya ayah yang sedih? Ayah sudah dewasa, seharusnya ayah tahu kalau ibu dan adek meninggal karena udah takdir Allah!" aku berteriak kuat.

Plak.

Ayah menamparku, "Jangan membentak ayah!" aku bangkit. Membuka pintu. Meninggalkan ayah. Hatiku terlalu sakit. Benar-benar sakit.

"Tara, tolong bilang sama Ibu Yuka, gue gak enak badan. Gue mau pulang." aku mengambil tasku, menyampirkannya di bahuku. Tidak ku perdulikan wajah prihatin temanku.

Aku berjalan ke parkiran. Masuk ke mobilku. Menangis sejadinya. Dengan cepat aku mengendarai mobil, tak ku perdulikan klaksonan mobil lain. Aku menyalip, melaju di lampu merah. Dengan wajah kesal, makin ku percepat laju mobilku. Aku mengendarai mobilku ke arah yang tak ku tahu, mendekati sebuah rel kereta api. Aku tidak sadar kalau palang itu sudah akan tertutup, aku menabrak palang itu. Bersamaan dengan datangnya kereta api, menabrak badan mobilku. Aku merasakan pusing dan kaku di seluruh tubuhku, sampai kegelapan menyelimutiku.

Aku mengerjap. Sinar cahaya matahari menyambutku. Aku di taman. Aku menatap sekeliling. "Ibu...." aku melihat seorang wanita cantik berjalan anggun ke arahku. Dia ibuku. Ibu yang aku rindukan. "Ibu, Lessa kangen..." aku bangkit, tapi tubuhku kaku. Ibu melewatiku, pergi dengan adikku. Mereka meninggalkanku. Taman yang berubah menjadi pusara. Aku duduk di depan dua pusara. Aku merasakan aneh. Ada ayah sedang menangis, aku ingin memanggilnya tapi tenggorokanku kaku. Lalu, ayah juga pergi.... Bersama mama. Mereka meninggalkanku, semua orang meninggalkanku. Aku sendirian. Meraung sendirian. Tuhan, kenapa aku ini? Kenapa tubuhku kaku? Aku ingin berlari menggapai mereka. Apa mereka memang meningalkanku? Apa mereka membenciku? Apa aku tak berarti untuk mereka?

Tiba-tiba pandanganku mengelap. Bau antiseptik memenuhi penciumanku. Aku ingin membuka mataku tapi berat. Apa yang terjadi?

"Mas, kamu jagain anak kamu ini dulu. Kamu tega ninggalin dia?" itu suara Mama Aira. Aku ingin bicara tapi bibirku seperti direkatkan.

"Biarkan dia pergi, dia lebih baik mati." apa dia masih pantas disebut seorang ayah? "Mas! Jaga omongan kamu!" suara kekehan miris terdengar. "Aku tidak akan tenang jika dia terus hidup," aku mendengar tarikan napasnya seperti ingin melanjutkan ucapannya. Aku mencoba membuka mataku, aku merasa pusing saat cahaya berlomba masuk ke mataku. Aku melihat sekeliling. "Dia akan-"

"Menyusahkan ayah?" suaraku terdengar serak dan seperti lirihan. Mama terkejut, berlari keluar kamar rawatku. Aku diam. "Kenapa tidak biarkan Lessa mati saja?" aku menangis, suaraku semakin hilang. Tercekat membuatku nampak lemah. Ayah yang awalnya menampakkan wajah terkejut kini mulai menetralkan wajahnya. Dia lalu keluar kamar rawatku. Aku terdiam. Menangis, hanya menangis. Sampai dokter dan suster datang memeriksa dan menyuntikku dengan vitamin. Aku hanya diam, tidak berniat tersenyum atau apapun yang lain. Aku mau menangis tapi air mataku sudah tidak ingin keluar lagi. Aku sudah sendirian. Bahkan Tuhan menolak menerimaku kembali bersamanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 12, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang