Aku berjalan dengan lesuh ke kelas. Hari ini adalah hari ke lima dari jadwal menstruasiku. Entah kenapa, hari ini moodku anjlok benar-benar terjun bebas.
Aku melihat Mika sedang menagih iuran kelas. Mika kalau main film cocoknya jadi rentenir, deh. Pas banget sama mukanya yang rada menyebalkan kalau sudah berbicara tentang uang. Cantik, sih. Aih?
"Les! Bayar iuran cepetan!" aku merogoh saku bajuku. Mengambil uang yang ada di sana. "Yah? Cuma lima ribu?" dia mencibir.
"Masih mending, daripada itu uang gue ambil lagi? Mau?" aku masuk ke dalam kelas. Melihat keadaan kelas yang legang. Ada anak-anak cowok yang sedang menyalin pr. Mereka terlihat telaten sekali.
Aku beralih ke Rayhan yang duduk anteng sambil membaca novel. Novel berbahasa inggris. Aku menuju ke mejaku. Duduk di samping Alfa yang sedang memerhatikan wajahnya di cermin sambil tersenyum sendiri.
Tuk.
Sial. Siapa yang nimpuk aku, sih? Nyebelin dah! Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh isi kelas. Tidak ada yang berpotensi.
"Masih sakit?" Aku melihat ke sampingku. Sejak kapan Rayhan duduk di sampingku? Bukannya tadi Alfa? "Malah bengong, lo masih nyeri karena datang bulan?" Rayhan memperbaiki letak kaca matanya.
"Iya." aku sedang tidak ingin bicara panjang lebar.
"Gimana lo mau ngajarin gue kalau masih datang bulan?" dia tidak bisa diam? Kenapa tidak jadi makhluk dingin saja? Menyebalkan.
"Minta ajarin ke Avhina, kek. Kenapa mesti gue?" aku meniup poniku bosan.
"Karena gue maunya lo, lagian Pak Khaer nyuruh lo bukan Avhina." aku mendengus. "Tapi, karena gue cowok yang pengertian, jadinya gue gak bakal maksa lo." Aku hanya mengusap wajahku.
"Assalamualaikum anak-anak, silahkan duduk di tempat kalian masing-masing." anak-anak langsung berlari ke meja mereka.
____________________________________Ketika jam istirahat semua anak berpencar ke tempat mereka mau. Tidak ada jadwal makan bersama di kantin. Dan aku tidak ada niatan bergerak dari kursiku. "Sa! Ada yang nyariin kamu, nih." aku melihat ke arah Novi yang berdiri di ambang pintu. Gadis berambut ikal itu tampak membawa secarik kertas. Apalagi kalau bukan daftar hapalannya.
"Ngapain lo di sini?" aku mendekati dedemit sialan bertubuh laki-laki tinggi berwajah--oke dia ganteng, dan berambut legam.
"Gue mau minta id line, dong." aku mendengus. Ini orang gak punya hal lain yang lebih penting, ya? "Jangan kacangin gue, Les." aku membalik badanku.
"Lessa! Tunggu, gue mau nanya hal penting." aku membalik lagi badanku menghadapnya. "Lo pakai... Ehm, maksud gue lo pakai yang spongenya dua?" aku mengernyit.
"Lo ngomong apaan, sih? Emang gue punya muka kayak spongebob? Celana gue segi empat?" dia hanya menyengir.
"Warna hitam, ya? hehe..." aku memutar otakku. Apa yang spongenya dua? Warna hitam?
Ayo Lessa! Berpikir. Aku memeras otakku. Sampai aku mendapat gambaran tentang dua klu tadi. Sial. Dia bicarain bra gue.
"Mata lo jelalatan banget!" dia tertawa. Aku menutup dadaku. "Padahal, gue cuma asal tebak, loh." dia mengacak rambutku. Cih, dikira aku abg labil bakalan tersipu malu kayak tai kucing?
Bruk.
"Sorry. Gue gak sengaja." Rayhan melenggang pergi keluar kelas. Dia berkumpul dengan anak-anak lain di bangku panjang depan kelas.
"Idih, cemburuan." aku melihat Fadlan mendengus. Cemburu? Rayhan? Fadlan? Mereka homo?
"Lo sama Rayhan pacaran?" Fadlan mendelik. Dia mengetuk kepalanya dan mengetukkannya ke tembok. "Gila lo?" aku menatapnya aneh.
"Lo tuh yang gila. Amit-amit gue sampai pacaran sama Rayhan. Gur normal kali. Lagian kalau gue mau homo, gue juga pilih-pilih." aku ber-oh-ria. "Gue gak mungkin homo soalnya gue suka sama lo." aku melotot kaget.
"Gak usah kaget. Gue emang suka sama lo." aku menempeleng kepalanya. "Lah, gue jujur kenapa digampar?" aku meninggalkannya. Kenapa Kau ciptakan manusia bernama Fadlan itu, Tuhan? Aku duduk di bangkuku. Menelungkupkan wajahku di meja.
"Cih, katanya lagi bad mood tapi bisa bicara panjang lebar sama cowok tadi." suara Rayhan mendumal sangat jelas di lubang telingaku.
"Lo ngomongin gue?" dia mengedikkan bahu. Mengangkat novel berjudul Kepingan Supernova hingga menutup wajahnya.
Dia ngambek? Ah, aku sepertinya terlalu banyak berkhayal. Lagipula kenapa dia marah? Karena aku ngomong sama Fadlin? Aku mikir apaan, sih? Gak mungkin Rayhan cemburu,'kan? Dan gak mungkin,'kan Rayhan suka sama aku?
"Kenapa lo mukul kepala sendiri? Migrein?" aku mendengus. Sedangkan Alfa menatapku penuh tanya.
"Teman-teman!" Sekar berdiri di depan papan. Dia mengetukkan tangannya ke papan meminta kami untuk diam memperhatikannya.
"Gue mau tanya. Yang spongenya dua, terus warna-warni itu apa?" aku membelalak. Ngapain itu anak nanyain hal kayak gitu.
"Dapat pertanyaan dari mana lo?" Tama menyenderkan punggungnya di kursi.
"Tadi, gue ketemu sama Fadlan. Terus, dia kasih gue pertanyaan. Pertanyaannya kayak gini. Lessa punya benda yang spongenya dua, warna-warni. Apakah benda itu?" aku merasakan panas disekitar pipiku.
"Oh, jawabannya bra." sial. Kenapa Zack mudah sekali menyebut benda keramat itu.
"Lo cewek, Kar?" Sekar mengangguk ditanyai begitu oleh Rayhan. "Kalau gitu, mending lo duduk dan stop ngomong hal yang gak lucu kayak gitu." Rayhan menatap wajahku. Seketika senyum devilnya muncul. Dia menulis sesuatu di kertas dan menunjukkannya kepadaku.
'Seksian warna merah, deh. Warna hitam udah mainstream.'
Sialan. Dia menahan tawanya. Aku menutup wajahku dengan tangan. Gara-gara si Fadlan! Awas aja, bakalan aku rica-rica itu anak.
"Sa! Lo dipanggil sama Bu Erna ke ruang guru, tuh." Putra berjalan masuk ke kelas. Aku menatapnya curiga. "Ya elah, gue gak bohong." aku berdiri dan berjalan keluar kelas.
"Permisi, ibu panggil saya?" Ibu Erna mengangguk. "Ada apa ya, bu?" tanyaku lagi.
"Ini loh, ibu minta kamu kumpulkan data anak-anak kelas XII IPA 1. Ketik rapih dan besok serahkan ke ibu." aku menatap ibu dengan ganjal. "Ibu tahu kamu bukan sekretaris tapi ibu percaya sama kamu. Sekarang kembali ke kelas." aku mengangguk patuh.
Kenapa setiap kata percaya bersandang pada diriku membuat napasku tersengal. Air mata itu jatuh. Sial. Kenapa aku tidak bisa lupa hal tak berguna begitu?
"Mama percaya sama kamu. Jangan kecewakan mama."
Aku menahan tangisku. Sesak sekali. Aku tadahkan kepalaku. Menatap langit biru di atasku. "Maafin Lessa, ma. Lessa gak bisa jaga sesuatu yang berharga yang Lessa punya." aku menutup mataku. Panas karena air mata.
Segera aku menghilangkan bekas air mata di wajahku. Mengelapnya kasar. Aku menghela napas.
"Kenapa lo nangis?" Arnifa mencegatku. "Gak usah bohong. Tiga tahun gue sama lo, dan gue hapal gimana lo, Sa." aku memeluknya erat. Menumpahkan sedikit rasa sakit.
"Untuk apa lo ingat sesuatu yang gak penting?" dia berbisik. "Adek lo pasti senang sama lo yang sekarang. Jangan salahin diri lo sendiri." aku mengeratkan pelukanku.
____________________________________Hah, udah masuk konflik. Silahkan dinikmati. Jangan lupa voment.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aku
Novela Juvenil60% diambil dari kenyataan 40% cuma khayalan author. Aku bukan dia Aku bukan kamu Aku bukan temanmu Aku bukan ibumu Aku ya aku