Eps.8

181 21 11
                                    

Sowon' POV

     Ahh.. sudah 2 minggu Lee Chan dititipkan di sini. Entah mengapa, tak terasa. Sekarang sudah masuk minggu ke-3. Padahal menurutku, aku belum bisa berbuat banyak untuk diberikan pada Lee Chan. Tapi perpisahan tampaknya akan segera datang.

     "Eonni. Jangan melamun teruss..!"seru seseorang. Yang kuyakini dia adalah SinB. "Kalau tak tau mau nonton apa, lebih baik, biar aku yang ganti channel."kata Yuju. Tentu saja, ia pasti akan memindahkan channelnya pada acara K-idol yang dipenuhi selebritis korea.

     "Aaaa...!!!! Shownu oppa memang yang terbaik..!!"teriak Yuju. Entah kenapa, bertetapan sekali dengan dimulainya tarian dari K-idol favorit Yuju.

     Ahh Hyungwon-ah. Pantas saja kau tadi tak ada di cafe. Kau sibuk manggung rupanya, batinku. Ada apa ini? Baru sehari aku sudah merindukan Hyungwon? Haha.. padahal hampir setiap hari Hyungwon membantuku. Entahlah.

     Aku melihat sekelilingku. Yuju masih ber-fangirling-ria. Tak jauh darinya, Lee Chan rupanya ikut menjadi fanboy. Eunha?tumben sekali ia pulang secepat ini. Ya, maklum saja. Seorang freelancer mana tau kapan harus pulang dan pergi?

     Apa yang dilakukan SinB? Ah, pasti ia sedang saling mengirim pesan singkat dengan Yugyeom sang pujaan hati. Tentu terlihat dari gerakan wajahnya yang tersenyum mesem-mesem seperti itu. Di mana Yerin? Ah iya, aku lupa. Ia sedang mencuci piring sisa makan malam kami. Memang sudah gilirannya, sih.

     Dan.. sepertinya ada yang kurang? Di mana Umji? Ya, dia. "Di mana Umji?"tanyaku. Menyebabkan mereka menoleh. Sebagian mengangkat bahu, dan sebagian lagi berkata,"aku tak tau."

     "Eumm.. sepertinya, Umji masih berusaha untuk mencari tempat kuliah yang cocok untuknya, eonni."kata Eunha. Ya.. memang Umji sedang masa sibuknya untuk mencari kampus terbaik baginya. Tapi,, bukankah ini sudah lewat jam makan malam? Apa tak apa-apa seorang gadis masih di luar sana berkeliaran? Aku mulai khawatir.

~~~~~
Umji' POV

     Hha.. pukul berapa ini? Setelah berkata seperti itu, aku melihat jam di tanganku. Sudah pukul 10 malam lewat. Ah, tumben sekali aku pulang selarut ini.

     Akupun segera membuka pintu dan naik menuju kamarku. Tak lupa, aku juga segera membersihkan tubuhku. Sedikit melepas penat memang. Ahh

     Sekilas saat aku tak sengaja melihat balkon di ruang atas tak jauh dari kamarku, diriku seakan-akan terpanggil. Membuatku secara otomatis mendekati balkon tersebut. Dan terduduk di sana.

     Tanganku tercengkram kuat pada besi pagar balkon. Hidungku menghirup udara bersih di malam hari. Meluruhkan rasa peningku seharian ini. Ahh aku rasa, aku rindu rumahku.

     Tanganku makin mencengkram kuat pada pagar balkon. Ya, aku menangis. Ah! Ada apa ini? Kenapa aku malah menangis? Untuk apa aku menangis? Tapi, ketika aku ingat rumahku, rasanya rinduuuu sekali.

     Ah untuk apa. Untuk apa aku merindukan mereka? Bahkan, aku tak tau kabar mereka sekarang. Dan mungkin saja, mereka tak tau kalau anaknya sedang bersusah payah di kota yang besar ini. Sedangkan mereka? Mereka pasti sedang menikmati hasil jerih payah milik mereka saja. Apa yang aku dapat dari itu? Toh, hanya sebuah materi.

     Kembali, aku menangis. Seperti rasa sakit yang terpendam selama ini. Aku berusaha mengeluarkan itu semua dengan menangis. Tangisan yang sengaja aku pendam. Aku tak mau siapapun tau.

     "Siapa di sana?"tanya seseorang. Entah pertanyaan itu ia tunjukkan pada siapa. Tapi dengan segera, aku menghapus airmataku. Setelah itu, aku merasakan sebuah sentuhan tangan mungil di pundakku.

     "Noona. kenapa kau di sini malam-malam?"katanya lagi yang membuatku menoleh padanya. Lee Chan. Maksud dari panggilannya adalah aku.

     "Ah, Chan-ah. Kau terbangun ya?"kataku mengalihkannya pada mataku yang masih sembab. Ia makin mendekatiku. Melihatku dengan intens.

     "Noona. Kau menangis?"tanyanya lagi. Bingo! Dia mengetahuinya. Aku bingung untuk menjawab apa. Menjawab bahwa aku kelilipan? Oh tentu tidak. Udara malam ini bersih. Sangat bersih. Lalu, apalagi yang harus aku sampaikan sebagai alasan.

     "Noona.. kalau kau ingin menangis lagi, menangis saja.. jangan hiraukan aku. Jangan ditahan seperti itu. Bukankah kalau seperti malah akan terasa sakit?"kata Lee Chan lalu ia terduduk di sebelahku. Hah? Anak ini bisa berbicara seperti itu? Belajar dari mana dia?

     "Sama seperti poop yang kalau ditahan pasti sakit. Begitulah kata ibuku, hehe."lanjutnya lagi. Disertai senyum lebarnya. Aku pun otomatis ikut tersenyum juga. Ah rupanya dari ibunya ia belajar berkata seperti itu.

     Lee Chan pun secara refleks bergerak mendekatiku. Lalu, ia memelukku. "Aku sayang noona."ungkapnya. Entah mengapa, aku malah kembali menangis. Dihadapan anak kecil lagi. Duhh..

     Aku melepas pelukannya. Melihatnya sebentar. Tetapi, aku kembali memeluknya. Meluapkan segala rasa sakitku melalui tangisan ini. Lee Chan juga secara refleks mengelus punggungku.

     "Terima kasih, Chan-ah."bisikku. "Ahh noona... sudah dong menangisnya.. aku nanti ikut menangis jugaa.."kata Lee Chan. Aku memang sudah lumayan lama menangis dipelukan seorang anak kecil.

     Aku melepas pelukannya. Kemudian tertawa. "Hahha.. iya. Tapi terima kasih ya.."kataku pada Lee Chan. "Asal kau tau, jarang sekali aku memeluk seseorang seperti itu. Bahkan keluargaku pun, jarang."kataku lagi.

     Aku kembali terlihat murung. Hha.. sudahlah. "Kau tau? Aku ini anak orang kaya. Hanya saja, aku kurang perhatian. Mereka hanya selalu sibuk memikirkan materi. Sedangkan anaknya di sini sedang berjuang untuk menemukan tempat pendidikan untuknya. Mereka hanya membantu materi. Bukan dukungan. Itu yang membuatku makin sedih, Chan-ah."kataku lemah. Aku sepertinya ingin sekali terus bercerita padanya.

     "Noona.. kau tak usah pikirkan mereka. Kan mereka lagipula sudah mengirim uang kan, untukmu? Berarti mereka memperhatikanmu juga."jawab Lee Chan. "Aku juga pernah begitu. Dan ibuku menjawab seperti apa yang kujawab barusan."katanya lagi.

     "Tapi bukankah kami sudah menjadi seperti keluargamu, Umji-ya?"kata seseorang. Siapa dia? Ah dia berjalan mendekat. Dari jauh hanya siluetnya saja yang terlihat. "Sowon noona.!"kata Lee Chan. Ya, itu Sowon eonni.

     "Kau dan aku kan satu marga. Bukankah itu berarti kita satu darah? Bukankah kami semua satu keluarga?"tanyanya lagi. Setelah itu, ia memelukku. Menyalurkan kehangatan.

     "Sudah. Tak usah sedih. Ada kami di sini. Suka duka mu, suka duka kami juga. Jangan suka dipendam sendirian."kata Sowon eonni dengan lembut. Yang membuatku tenang. Lee Chan pun ikut memeluk.

     Aku melepas pelukan. "Ayo kita tidur. Sepertinya mataku ini akan sulit disembuhkan."kataku. "Iya. Mata sembabmu pasti susah untuk tak terlihat."kata Sowon eonni dengan terkekeh.

     Kami semua pun, kembali ke kamar masing-masing dan terlelap.

One Month Baby SitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang