Tepat sehari setelah dua minggu yang lalu aku menanggisi laki-laki brengsek yang nyatanya adalah kekasih temanku sendiri, aku memulai kehidupanku seperti biasa. Pergi ke kampus, mengerjakan tugas akhir, ke perpustakan dan sesekali bermain-main ke rumah Jimin. Seperti saat ini aku tengah membantu ibunya membuat kue, entah sudah berapa lama aku tak main ke rumah keluarga Park selama aku menjadi mahasiswa.
"Cah! Akhirnya selesai juga!" ucapku saat mengeluarkan kue dari microwave.
"Kalau begitu sisanya biar tante saja yang mengurus. Kau panggil Jimin saja sana!"
"Siap tante!" balasku memberi hornat sebelum aku menghilang di lantai dua menuju kamar Jimin.
"Jimin-ah!" ku buka pintu kamarnya, kosong dan sepi. Namun terdengar senandung dari kamar mandi, mungkin ia sedang di dalam sana.
Aku pun masuk dan melihat-lihat kamar yang mungkin sudah lama tak pernah ku masuki, mungkin terakhir kali saat hari kelulusan SMA. Ku lihat-lihat tak ada yang berbeda dari kamar Jimin, hanya ada beberapa barang tambahan seperti seperangkat komputer game nya, dan beberapa action figur yang bertambah lebih banyak.
Tapi ada satu benda yang dari dulu membuatku perasaan, benda kotak yang selalu saja Jimin larang untukku menyentuhnya. Karena penasaran dan tak ada pemiliknya ku beranikan diri membuka benda kotak itu, dan nyatanya terisi buku harian seorang Park Jimin. Awalnya aku tertawa melihatnya masih saja laki-laki seusianya menyimpan buku harian semacam itu, bahkan setelah lulus sekolah dasar saja aku tak pernah menulis buku harian lagi, bahkan dimana buku-buku ku itu berada aku sudah tak tahu.
Ku lihat lembar demi lembar buku yang kini ada di tanganku, dalam buku itu sesekali ku dapati gambaran tangan Jimin, ada sekolah kami saat SMA, guru Oh yang sangat tegas, dan ada juga gambar wajahku yang tengah tertawa bahagia. Aku jadi ingat betul saat pertama kalinya aku jatuh cinta, dan Jimin menulis akan itu di buku hariannya dengan judul 'Seulgi's First Love'. Sungguh memang sahabat terbaik!
Tanpa ku baca akubmasih terus membuka lembaran buku hariannya, siapa tahu dia menulis tentang diriku lagi, atau mungkin ia menulis tentang kisah cintanya. Aku jadi penasaran, dan kini aku berada di lembar kesekian yang terdapat selembar amplop yang ku yakini seperti surat cinta.
Astaga dia jahat sekali tak memberi tahuku tentang ini!
Amplop warba biru dengan kertas kuning di dalamnya.
Perlahan ku baca isi surat itu, aku mengerutkan keningku saat aku sadar apa yang ada di kertas kuning bertulisan tangan Park Jimin itu. Surat yang nyatanya ia tulis untukku, bukan hanya sekedar surat biasa tapi surat cinta yang berisi segala hal tentangku, serta pernyataan cintannya untukku. Entah mengapa setelah ku baca suarat itu aku merasa marah padanya, aku tak tahu, tapi rasanya aku benar-benar ingin marah pada Jimin saat ini.
"Wae?!" suara Jimin membuat buku dan surat yang sedang ku baca jatuh begitu saja.
Melihat itu Jimin berdiri kaku diambang pintu kamar mandi dengan handuk yang tersempir di kepalanya.
Sepertinya mataku sudah memancarkan kemarahan, dan aku hanya bisa mengeleng dan menyuruhnya untuk segera turun dengan nada yang sangat ketus syarat akan kemarahan.
Bahkan saat makan bersama kedua orang tua Jimin aku hanya diam, dan hanya menjawab jika di tanya. Niat awalku untuk merayakan ke lulusan Jimin setelah ujian akhir gagal sudah karena kejadian tak terduga beberapa saat yang lalu. Aku pun memutuskan untuk pulang dengan alasan sedikit tak enak badan pada ibu dan ayah Jimin.
Satu bulan sudah setelah kejadian itu, aku sama sekali tak berniat dan tak pernah menghubungi Jimin, bahkan setelah kejadian itu pesan dan panggilan Jimin ku abaikan. Aku marah dengannya karena ternyata selama ini aku salah, ku kira dia memang sahabat terbaikku, nyatanya ia memiliki perasaan lebih terhadapku. Entah mengapa aku kesal saja terhadapnya!