Cinta Sipil 6

272 26 6
                                    

Sebagian orang menganggap pernikahan seolah penjara yang mengekang kebebasan.Tanggung jawab amatlah berat, banyak yang tidak sanggup memikulnya. Mereka menyerah di tengah jalan, meninggalkan serpihan luka menganga.

Tidak bagi Tono, pernikahan adalah kebebasan dari kejaran Ibu dan saudaranya yang selalu bertanya 'kapan kawin'. Untuk perjaka tua seperti dirinya, menikah juga berarti membebaskan syahwat yang selama ini ditahan.

Tono memutuskan untuk segera meminang Kamini setelah melihat tatapan seram Rini tempo hari. Ia khawatir gadis itu akan berbuat nekat dan menyakiti hati wanita yang dicintainya. Membayangkan Kamini tersedu saja bisa membuat makan tak lahap.

"Mbak Yu, maukah engkau jadi kekasihku?" ucap Tono lembut.

Angin seakan berhenti bertiup, ruang kos Kamini sore itu mendadak terasa sempit.

"Tidak mau, Pak Lik."

"Kalau begitu kita menikah saja."

"Aku tidak cinta Pak Lik."

"Apa Mbak Yu takut disakiti lagi?" Kamini mengangguk, "Aku janji tidak akan pernah berbuat kasar, aku akan jadi suami terbaik buat Mbak Yu."

"Tahukah Pak Lik? Mantan suamiku dulu juga berkata seperti itu. Buktinya, ketika dia dikuasai amarah, hampir mati aku dibuatnya."

"Aku bukan orang brengsek itu, Mbak Yu. Percayalah ... aku akan menjagamu."

"Entahlah, Pak Lik. Aku belum bisa menjawabnya sekarang. Tolong beri waktu."

Lelaki ikal itu menatap Kamini yang tertunduk. Sopan sekali janda satu ini, bersamanya selalu memunculkan rasa ingin melindungi. Tak pernah ia bersikap genit, manja. Kamini terlalu menjaga sikap hingga keinginan Tono  memeluk tubuh ramping itu dibuang jauh-jauh.

"Minggu depan aku mau menjenguk orang tua di desa. Kalau Pak Lik berkenan, monggo kukenalkan pada mereka."

Kata-kata wanita itu memunculkan harapan. Orang bilang ambil hati ayah ibunya dulu,  maka hati anaknya pun akan luluh.

Tono bertekad akan melakukan usaha maksimal untuk mendapatkan wanita idamannya.

***

Ia menjemput Kamini Minggu pagi. Manis sekali wanita itu memakai gaun putih selutut. Tak lupa tiga sisir pisang, sekilo kelengkeng, dan dua kresek apel hasil razia pedagang liar yang tidak ditebus dibawa untuk oleh-oleh.

Sepanjang perjalanan, Tono menjaga buah tangannya dengan hati-hati. Tak diijinkan Kamini membantu membawa. Mbak Yu itu tersenyum geli melihat tingkah Tono yang memangku buah-buahan seperti harta karun.

Bus meluncur pelan meninggalkan terminal Bungurasih, membelah jalan aspal yang banyak berlubang, mengantarkan para penumpang ke tempat tujuan

Mereka tiba di Lumajang tengah hari, desa kaki bukit yang dikelilingi hutan jati meranggas. Tinggal batang kokoh, tegak menjulang tinggi. Dari kejauhan, sawah menguning siap panen membentan luas.

Tangis haru menghiasi pertemuan Kamini dengan orang tuanya. Mereka memeluk putrinya erat-erat,  membelai legam rambut tebal yang basah terkena keringat.

"Mari masuk, Mas. " ujar ibu Kamini lembut, perempuan tua itu mempersilakan duduk di kursi kayu sederhana.

Kamini membantu Ibu di dapur, meninggalkan Tono dengan bapaknya yang menatap penuh selidik.

"Jadi kamu ke sini mau melamar Kamini?!" Lelaki tua berbaju hitam longgar menegaskan ucapan Tono setelah dia bercerita tujuannya datang.

"I-iya bapak, saya butuh restu panjenengan untuk menikah dengan Mbak Yu ... Eh Kamini."

Lelaki keriput itu menyulut rokok, mengembuskan asapnya keluar dari hidung. "Aku dulu melakukan kesalahan fatal, karena egois kuputuskan sendiri menerima lamaran mantri sunat tanpa persetujuan Kamini. Pernikahannya hancur!"

"Sekarang, Keputusan sepenuhnya ada pada Kamini. Kalau dia setuju menikah denganmu, maka kami akan merestui kalian."

"Tapi ingat, jangan sekali-kali menyakitinya!  karena aku tidak akan tinggal diam!" Tono kikuk, matanya tak bisa beralih dari tatapan tajam bapak Kamini.

"Iya,  saya janji tidak akan menggoresnya seujung jaripun."

"Kupegang kata-katamu, anak muda! Ngomong-ngomong siapa namamu? Kita belum berkenalan."

"Saya ... Tono, Pak."

"Ini ada sedikit oleh-oleh ...," Tono meletakkan bawaannya di atas meja. Tidak sadar dari tadi buah-buahan itu berada di pangkuan. Sangking groginya, Tono meremas pisang hingga nyunyut, lembek.

Ketika mereka semua berkumpul menikmati oleh-oleh, terlihat beberapa buah pisang setengah hancur dengan bentuk memilukan yang berakhir di tempat sampah.

"Hhm ... Memang buah dari kota super enak, manis dan segar. Ha ... ha ... ha ...." Bapak Kamini menikmati hasil razia itu dengan suka cita. Seumpama beliau tahu asal usulnya, pastilah saat itu Tono sudah ditendang dari rumahnya.

Bersambung

Cinta Sipil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang