Cinta Sipil 7

234 25 3
                                    

Apabila bahagia bisa ditimbang, pastilah bukit berselimut kabut putih di sana tersipu malu, kalah telak dengan sebuah rasa yang hanya diciptakan untuk makhluk-Nya yang paling sempurna.

Mentari baru saja mengeluarkan sedikit cahaya ketika sepasang manusia berjalan menyusuri pematang sawah. Embun menghiasi buliran padi dan daun menguning laksana mutiara bening. Angin nyaris tidak bertiup, namun dinginnya udara membuat Tono memeluk lengan.

Hampir semalaman dia tidak bisa tidur, bukan karena beralaskan selembar tikar pandan di ruang tamu, juga bukan karena sarung tipis kumal dan beraroma rokok yang dipinjamkan Bapak Kamini tak mampu mengusir dingin. Kantuk tak kunjung datang akibat hati terlalu senang. Kamini menerima cintanya.

Tono menguap lebar, mengikuti langkah calon istrinya.

Kamini berjalan sambil membawa ember hitam berisi pakaian kotor. Mereka akan bersih badan sekalian mencuci baju kotor di sungai.

Terdengar aliran air menghempas batu, menyeret kerikil kecil terombang-ambing mengikuti arus. Jernih air membuat pasir dan bebatuan di dasarnya terlihat jelas. Konon, pasir di sungai itu bisa menghilangkan daki dan luka koreng.

Tono mencari tempat yang pas untuk melepaskan hajat. Ia melihat ada dua batu besar yang bisa jadi penghalang hal yang tak pantas dipertontonkan.

Segera digulung celana jeansnya dan bersembunyi di sana.

Kamini memilih aliran sungai yang tidak terlalu deras. Ia duduk bersimpuh menikmati dinginnya air membasahi tubuh. Perlahan baju kotor dikeluarkan. Jemari lentiknya segera menari di atas pakaian itu. Busa sabun colek  menghilang bersama buih.

"Mbak Yu ...!" teriak Tono berlomba melawan suara arus setelah selesai membuang sesuatu yang menyakitkan perut "sekalian bajuku ya dicuci.... "

"Nggak mau, Pak Lik! Cuci saja sendiri."

Lelaki itu melompat ke atas batu besar dekat Kamini. Ia memperhatikan aliran sungai yang membelai setengah badan bawah wanita itu, membuat lekuk kaki langsatnya terlihat jelas.

Tono menelan ludah.

"Sudah selesai nyuci,  ayo kita kembali." tukas Kamini, berdiri sambil mebawa ember berisi baju bersih.

Ketika hampir berdiri, tiba-tiba Kamini kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhuyung, ember pakaian harus dipertahankan supaya tidak jatuh ke sungai.

Tono kaget melihat Kamini hampir jatuh. Reflek dia menjulurkan tangan meraih apa saja bagian tubuh wanita itu agar tidak tercebur.

Berhasil. Tono menahannya, Kamini tidak jadi jatuh. Tangan berotot itu mencengkeram rambut panjang Kamini.

"Aaah ...!" teriak Kamini histeris,  panas menusuk kulit kepalanya. Bisa-bisanya Tono menjambaknya seperti ini.

Tono segera melepaskan tangan, segumpal rambut tercerabut, menempel di sela jari-jarinya.

"Ma-maaf,  Mbak Yu ...!" Tono melompat memeluk wanita yang meringis kesakitan memegang kepalanya. Merasa amat bersalah. Rambut Kamini meriap tak karuan.

Terkejut karena tiba-tiba dipeluk, Kamini tidak siap menahan berat lelaki itu. Mereka berdua jatuh. Tubuh Tono menindihnya. Basah.

Jantung Tono berdebar kencang, dengan gemetar ia meraih pinggang, membantu Kamini duduk.

"Kamu tidak apa-apa, Mbak Yu?"

"Sakit ...."

"Maafkan aku ...."

Tono merapikan rambut basah wanita itu. Memijit pelan di tempat yang tak sengaja kena jambak.

Mata mereka bertemu, ada percikan api di dalamnya. Tono membingkai wajah berbentuk hati. Menunduk hendak mencium bibir tipis kemerahan.

Semakin dekat ... Tono bisa merasakan nafas hangat menggelitiknya.

Bibir merah muda itu pelahan terbuka. Semakin lebar dan lebar seakan siap menyambutnya.

"Ha-ha-haching!" Kamini bersin tepat di wajah Tono. Badannya mengigil kedinginan.

Mereka berdua mematung, lalu terbahak bersama. Tidak menyadari bahwa ember berisi baju telah mengapung.

"Pak Lik ..., bajuku hanyut ...!"

Bersambung

Cinta Sipil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang