Cinta Sipil 8

259 24 0
                                    

"Mbak Yu, kita berpetualang, Yuk!" ajak Tono ketika mereka sampai terminal Bungurasih, setelah 3 jam perjalanan dari desa kelahiran Kamini.

"Ke mana, Pak Lik?"

Senyumnya terkembang, "Ke Semarang!"

"Ngapain? Besok aku harus masuk kerja."

"Bolos aja, Mbak Yu ... Aku mau kenalkan kamu pada Ibu. Ayo!"

Tanpa menunggu persetujuan, Tono menggandeng tangan wanita itu menuju tempat bus antar provinsi. Mereka naik bus Sumber Kencono yang terkenal cepat sampai ke tempat tujuan. Supirnya modal nekad nyalip-nyalip kendaraan di depannya.

Untung saja Kamini bukan pengidap mabuk darat. Dia memandang jajaran pohon yang terlihat berlari mengejar. Di sampingnya, Tono tertidur dengan mulut terbuka. Sesekali kepalanya lunglai dan bersandar di bahu Kamini.

Sembilan jam perjalanan menghantarkan mereka ke sebuah desa di dekat termimal Bawen, Semarang.

Hari sudah gelap ketika sepasang kekasih itu berjalan beberapa ratus meter menuju rumah Tono.

"Itu rumahku!" tunjuk Tono pada bangunan bergaya joglo, seluruh dindingnya terbuat dari kayu. Pintu rumah jati berukir tertutup rapat.

Tono mengetuk pintu,  memanggil-manggil Ibunya.

"Tono ..." wanita tua berkain jarik keluar,  ia memeluk anaknya, "lama sekali kamu baru pulang, Le ...."

Ibu Tono melihat seorang gadis bergaun coklat berdiri mematung, beliau tersenyum, memperlihatkan barisan gigi kemerahan karena terlalu banyak nginang.

"Siapa itu, Le?"

"Dia Kamini, Bu."

Wanita itu menjabat tangan calon mertuanya, kemudian mereka masuk ke dalam rumah.

"Gadis yang cantik. Apa dia calon istrimu, Tono?" Ibu memandang Kamini yang menunduk.

"Iya, Ibu."

"Kalian pasti lelah sekali,  setelah makan langsung istirahat, ya."

"Inggih, Ibu."

***

Ibu Tono tinggal bersama anak bungsu dan menantunya, seorang lelaki lulusan sebuah pesantren di Demak. Karena ilmu agama dan sifatnya yang santun, ia didapuk menjadi imam masjid Desa. Setiap malam Jum'at lelaki itu mengisi kajian tafsir hadist Riyadus Sholihin. Dia juga sering dimintai nasihat para penduduk terkait masalah yang menimpa.

"Hm ... hm ...." Wawi berdehem, di samping kanan kiri ada Ibu dan istrinya, "Kalau memang sudah cocok sebaiknya kalian cepat menikah saja. Tidak baik mengajak anak gadis orang lama-lama."

Suara Wawi lembut, ia meremas tangan istrinya. Beberapa cangkir kopi yang masih mengepul serta singkong goreng terhidang di meja.

"Aku sudah bilang ke orangtua Kamini, mereka sudah merestui. Tinggal minta ijin Ibu." sahut Tono sambil menatap Ibunya.

"Ibu merestui,  Le, kalau itu memang pilihanmu. Tapi ... Nanti kamu menikah secara apa?"

Tono menyadari bahwa agama Ibu dan ia berbeda. Namun dari awal, Tono menganggap semua agama sama-sama mengajarkan kebaikan. Ia tidak bermasalah dengan agama apapun.

"Entahlah, Ibu. Aku bingung. Sebenarnya aku menikah dengan cara apapun nggak masalah,  yang penting Kamini syah menjadi istriku."

Tono memandang Kamini,  "Bagaimana menurutmu,  Mbak Yu?"

"Aku juga terserah Pak Lik. Orangtuaku tidak memaksakan kepercayaan kepada anak-anaknya."

Wawi menyahut, "Tono dulu islam, karena ikut kakak ipar dia jadi iku agamanya."

"Keluargaku non muslim, Pak Wawi ..." lirih Kamini.

"Bagaimana kalau kalian menikah secara Islam saja? Aku yang akan menikahkan kalian saat ini juga. Tapi sebelumnya, kalian harus berayahadat dahulu."

Kedua pasangan itu terdiam. Mereka saling berpandangan.

"Mbak Yu, bagaimana? Kita menikah sekarang?" bisik Tono. Kamini menggigit bibir bawahnya. Matanya menerawang, lalu ia mengangguk perlahan.

Wawi tersenyum lebar, ia menjelaskan secara singkat tentang hukum islam terkait pernikahan.  Bahwa wali nikah wanita muslim haruslah sesama muslim. Karena keluarga besar Kamini non muslim,  maka perwalian jauh kepada pemimpin. Dalam hal ini Wawilah yang mempunyai hak menjadi wali nikah Kamini.

Ia adalah pemimpin, orang yang disegani di desa itu. Biarlah sementara ini, pasangan itu menikah secara syariat. Surat nikah yang dikeluarkan negara bisa diurus lain waktu.

Wawi memerintahkan istrinya menyiapkan busana muslimah untuk di pakai Kamini dan baju koko untuk Tono.

***

Bila Allah sudah berkehendak, maka tidak ada satu kekuatan pun di dunia ini yang bisa menghalanginya. Meskipun dalam pemikiran manusia,  hal itu tidak mungkin terjadi.

Hari itu merupakan hari bersejarah bagi pasangan Kamini dan Tono. Mereka menggemparkan desa dengan dengan kembali bersyahadat di Masjid, dilanjutkan dengan pernikahan yang di saksikan oleh sesepuh dan warga desa.

Masjid Al Ikhlas ramai, banyak penduduk ingin menyaksikan pernikahan unik itu. Hanya dalam hitungan menit, mereka berkumpul penuh rasa ingin tahu. Berita sekecil apapun akan cepat tersebar,  apalagi berita pernikahan.

Tanpa di komando, beberapa warga berisiatif membuatkan opor ayam untuk menjamu para warga yang hadir. Mereka yang pernah beberapa kali ditolong oleh keluarga Tono, merelakan beberapa ekor ayamnya disembelih dan dijadikan suguhan. Mereka tahu bahwa pernikahan ini tidak direncanakan dan tentu saja keluarga Tono belum menyiapkan apa-apa.

'Aku akan menikah!' jerit batin Tono. Tangannya gemetar, berkeringat.

Nyalinya ciut melihat beberapa sesepuh di hadapan. Para warga yang berbisik memenuhi Masjid. Dia melirik Kamini yang bersimpuh di sampingnya. Mengenakkan kebaya putih berjarik motif parang. Kerudung panjang menutupi rambut legamnya. Polos, tanpa riasan.

Baru saja mereka bersyahadat diiringi isak tangis Ibunya di barisan perempuan,  sekarang ia akan mengucapkan sebuah perjanjian berat yang bisa mengguncang langit.

Bersambung

Cinta Sipil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang