Rosè / Rosé

17 0 0
                                    

              By : fangirllabilfandom

                                 -*-


Tubuh Gem kejang. Ia tak dapat berpikir jernih lagi. Kepalanya terasa berputar-putar. Pandangannya menjadi mengabur. Keringat membanjiri sekujur tubuhnya dengan cepat mengalahkan kecepatan aliran darahnya sendiri.

"Kembalilah ke tubuh asalmu... Alona."

"WAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA"

.
.
.

Perlahan-lahan cahaya putih pekat menyelimuti atmosfer di ruangan yang gelap ini. Diiringi dengan gelak tawa yang menyiratkan kejahatan. Perlahan, tubuh Gem berubah menjadi tubuh Alona yang semula. Semua ingatan-ingatan Alona dipaksa kembali membuat kepala Alona serasa mau meledak. Tubuhnya yang berlumur darah telah bercampur keringat kini. Kakinya bergetar. Ia sangat lemas. Bahkan untuk menopang tubuhnya saja, kakinya sudah tidak sanggup lagi. Untung saja tubuhnya diikat, jadi ia tidak perlu jatuh terduduk di lantai yang dinginnya menusuk sampai ke tulang.

"Bagaimana Alona? Apa kau sudah ingat siapa aku?"

"Kau penyihir jahat."

Suara tawa menggelegar mengisi ke penjuru ruangan.

"Kupikir aku sudah tidak perlu berbasa-basi lagi denganmu."

"Rosé, apa yang kau pikirkan? Kenapa bisa-bisanya kau berbuat seperti ini..?"

"Rosé? Hahaha. Kau pikir aku Rosé?"

Alona mengernyitkan dahi dengan dalam. Dilihat bagaimana pun, wanita di hadapannya adalah Rosé.

"Kau salah sangka, Alona. Aku bukanlah Rosé."

"Jangan berusaha menipuku! Aku ingat semuanya. Wanita dengan wajah seperti itu jelas-jelas adalah milik Rosé! Kau pikir bisa menipuku hah?!"

"Fufufu.. jadi selama ini kau tidak menyadarinya?"

"Hah..? Apa sih yang kau bicarakan?"

"Aku bukanlah Rosé. Aku adalah Rosè."

"Haaaaah?! Becandaanmu sungguh tidak lucu."

"Aku adalah alter ego dari Rosé."

"Haaah..?"

Rosè membuka ikatan tali yang membelenggu tubuh Alona dan menyeretnya (dengan sihir) menelusuri lorong panjang. Sampai tibalah mereka di pintu paling ujung dari lorong ini. Rosè membuka pintu megah berwarna marun di depannya. Sedangkan Alona hanya menatap takjub mahakarya di depannya. Bisa-bisanya di kastil yang menyeramkan ini ada juga hal yang bisa diapresiasi.

Dengan satu jentikan jari Rosè, ruangan yang tadinya gelap gulita menjadi terang benderang. Alona yang menyaksikan penampakan ruangan di hadapannya hanya bisa diam tanpa berkedip. Ia terlalu takjub kini.

Kaki Alona berjalan sendiri mengikuti setiap langkah Rosè. Akhirnya mereka tiba di ujung ruangan. Di depannya terdapat tirai emas dengan kesan yang mewah dan elegan. Ini benar-benar seperti rumah bangsawan.

Dengan satu jentikan jari, tirai itu terbuka dan memperlihatkan sesosok gadis (atau wanita?) Yang sedang tertidur di atas ranjang berbalut sprei putih dengan benang emas yang menjahitnya.
Alona berusaha menyipitkan matanya agar objek blur di hadapannya bisa fokus.

Setelah fokus, ia membelalakkan matanya.

"Apa ini..? Kau.."

"Itu Rosé. Anak baik yang kau kenal selama ini. Dia adalah diriku yang lain. Saat aku terbangun, dia akan tertidur. Dan saat aku tertidur, dia akan terbangun."

"Apa ini bercanda..?"

Rosè berjalan mendekati dirinya yang lain.

"Dia terbangun terlalu lama. Aku akhirnya memaksanya tidur." Rosè duduk sembari mengelus-elus rambut Rosé yang notabene adalah rambutnya sendiri.

"Bagaimana kau.."

"Tentu saja aku memaksanya tidur dengan sihir." Rosè tersenyum.

"Selama aku terbangun, aku selalu mempelajari sihir agar bisa mengambil alih tubuh ini."

Rosè bangkit berdiri lalu berjalan ke hadapan Alona.

"Saat insiden terpanahnya jantung Rosé, dia pingsan, dan aku terbangun. Karena kami punya kemampuan teleportasi, aku bisa dengan mudah mencapai lokasi Rosé,"

"Saat itu aku bersembunyi di balik pepohonan. Aku tidak bisa menampakkan diri karena Raja sedang berbincang denganmu."
Rosè berjalan ke ujung ruangan. Menatap refleksi dirinya di kaca besar.

"Aku memerhatikan kalian. Dan aku mendengar apa yang kalian bicarakan,"

"Saat Raja mengubahmu menjadi anak kecil, kau pingsan. Setelah Raja pergi, kupikir itu adalah kesempatan bagus untuk membawa Rosé pergi."

Rosè membalikkan tubuhnya menghadap Alona kembali.

"Asal kau tahu, kalian tidak bisa membunuh salah satu dari kami. Jika salah satu dari kami terluka, yang satunya lagi akan memberi energi agar lukanya cepat sembuh,"

"Rosé sudah sembuh. Seharusnya dia sudah bisa bangun. Tapi, dia sudah membuat kekacauan. Dan aku memaksanya untuk seperti itu saja."

"Jadi.. kalau aku ingin membunuhmu.."

"Kau harus membunuh kami berdua. Saat Rosé yang bangun, hal itu akan sangat mudah, karna dia lemah. Tapi keadaan tidak berpihak kepadamu sekarang, Alona."

"Jadi itulah alasanmu membiarkan Rosé tetap tertidur?!"

"Seperti yang diharapkan, Putri Raja memang cerdas."

"Karna kehidupan kami sekarang aku yang mengambil alih, semua akan mudah."

"Kau sangat jahat Rosè.. bahkan pada dirimu sendiri."

"Kau tidak berhak mengurusi kehidupanku, Alona."

"Lalu sekarang, apa yang akan kau lakukan?"

"Kalau kuberi tahu, tidak akan menjadi kejutan lagi, 'kan?"
Rosè menyeringai.

"Yang jelas, hidupmu akan berakhir malam ini, Putri Raja."
Pandangan Alona pun menjadi gelap gulita.

.
.
.
.

Suara-suara gaduh mengembalikan kesadaran Alona. Ia perlahan membuka matanya. Cahaya bulan menerobos masuk dari lubang ventilasi di atas tembok. Alona sudah kembali lagi ke tempat ini. Tempat yang gelap dan terisolasi.

Ia diam sejenak. Sepertinya di luar sana sedang ada keramaian. Suara gaduh antara langkah kaki dan percakapan orang-orang membuat Alona penasaran. Sebenarnya apa yang sedang terjadi di luar sana? Alona bangkit dan berjalan menuju pintu. Ia menempelkan terlinganya di permukaan pintu, berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Saat Alona menutup matanya untuk berkonsentrasi, pintu tersebut tiba-tiba terbuka. Tubuh Alona terhuyung dan jatuh ke lantai. Jantungnya berdebar dengan keras. Ia kaget setengah mati!

"Berdiri."

Alona mendongakkan kepalanya. Menatap lawan bicaranya yang memakai topeng.

"Kubilang berdiri. Sebelum aku berlaku kasar padamu."

Alona berusaha berdiri dengan kaki gemetaran hebat. Setelah itu, lengannya diseret dan dia dipaksa memasuki sebuah ruangan.

"Diamlah dulu di situ."

Pintu pun ditutup dengan kasar.
Alona mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
Ini seperti ruangan rias?
Saat Alona larut dalam pikirannya, beberapa orang wanita memasuki ruangan dan mengelilingi Alona.

"Kau gadis yang malang, wahai Putri Raja."

"Tenang saja, kami akan membuatmu menjadi cantik malam ini."

"Haaah..?"

"Kami tidak berminat menggunakan kekerasan atau pun sihir padamu, nona. Jadi, mohon kerja samanya."

Alona hanya mengangguk pasrah. Lagipula mungkin saja ini terakhir kalinya ia dirias, jadi Alona hanya mengikuti kata-kata wanita tadi tanpa mendebat.

Alona kini sedang berdiri di hadapan cermin besar. Ia menatap refleksi dirinya yang memakai gaun putih polos selutut dengan riasan wajah dan rambutnya yang tergerai cantik. Bukannya mau membanggakan diri, tapi Alona berkali-kali memuji bayangan itu yang terlihat seperti bukan dirinya.

Setelah semua selesai, Alona dibawa ke sebuah ruangan dengan meja makan super panjang. Di atasnya sudah terhidang bermacam-macam makanan yang mampu mengaktifasi air liur.
Alona dipersilakan untuk memakan apa saja yang ia mau. Ini bagaikan menemukan oase di padang gurun.

Setelah acara makan-makan, Alona dibawa ke sebuah aula besar. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada Rosè yang sedang duduk di singgasananya.
Mereka saling tatap untuk beberapa detik sampai Alona membuka suara.

"Sebenarnya apa yang mau kau lakukan padaku?"

"Apa kau pernah mendengar kisah tentang seorang tahanan yang dijamu sebelum dia dihukum mati?"

"..jadi, kau mau menjadikanku sebagai persembahan untuk ritual aliran sesatmu?"

"Kadang aku sangat benci pada otak cemerlangmu, Alona."

"Jadi benar.."

"Ada yang kau inginkan? Aku bisa mengabulkannya sekarang."

"Aku punya satu permintaan."

"Katakan."

"Setelah aku mati, jangan pernah menyentuh manusia bernama Oliver sejengkal pun. Jangan mengusik dia dan jangan menampakkan wajah busukmu dihadapannya."

"Baik."

"Pegang kata-katamu. Berjanjilah."

"Selama dia tidak mengusikku, aku tidak akan mengganggunya."

"Berjanjilah."

"Ya,ya. Aku janji. Fufufu, jadi dia benar-benar orang yang spesial untukmu? Sampai akhir hayat pun kau masih mengkhawatirkannya."

"... dia adalah rekanku yang paling bodoh."

"Sepertinya kita akhiri saja perbincangannya sampai di sini. Bersiaplah untuk ritualnya."

.
.
.
.

Suara riuh menyelimuti ruangan. Orang-orang dengan jubah hitam merah berlalu-lalang. Mereka semua menggunakan topeng. Di tengah ruangan sudah terlukis hexagram dengan darah segar. Entah darah siapa, Alona tidak mengetahuinya. Alona hanya pasrah tubuhnya ditarik ke sana- ke mari oleh seseorang bertopeng. Alona di tempatkan tepat di tengah hexagram yang menyeruakkan bau amis yang sangat kuat. Alona berasa ia akan muntah sebentar lagi, namun ia menahannya. Matanya kemudian ditutupi kain hitam. Tubuhnya di dorong sampai ia jatuh terduduk.

Setelah itu, semua orang seperti menyerukan kalimat yang sama. Yang entahlah itu bahasa apa. Alona tidak lagi peduli.
Setelah kalimat-kalimat aneh tadi berakhir, tubuh Alona ditarik dan diseret. Punggung Alona didorong sampai tubuhnya tercebur ke dalam air dengan sempurna. Kini Alona basah kuyup. Ia menggigil kedinginan. Orang-orang tadi kembali mengucap kalimat-kalimat aneh.

Setelah itu, terdengar suara yang tak asing lagi. Itu adalah suara Rosè. Lagi-lagi, ia berbicara dengan bahasa yang tidak Alona mengerti sama sekali. Nada bicaranya seperti dia adalah pemimpinnya.

Tiba-tiba Alona bisa merasakan hembusan napas seseorang tepat di telinga kirinya.

"Kami membutuhkan darah sucimu, Putri Raja."

Tidak salah lagi, ini adalah suara Rosè

"Ma..maksudmu..?"

Alona bisa merasakan seseorang berusaha membuka bajunya dengan paksa.

"Aa..apa yang kau lakukan?!"

"Tolong aku!!!"

"OLIVER TOLONG AKUUUUUUU!!!!!!"
.
.
.
.

-TBC

Update every weekend is our plan !!


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 13, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

30 Days Before DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang