chap 1

137 13 13
                                    

Pesotomia, Negeri penyihir 1999.

Namaku Alice aku tinggal di Negeri yang bernama Pesotomia. Negeri di mana kau akan menemukan sejuta ke ajaiban. Binatang-binatang yang bisa berbicara, pohon-pohon yang bisa menari dan sebuah Istana yang sangat indah dan megah. Dan satu lagi kau akan menemukan sihir di Negeri ini karena Pesotomia ini adalah Negeri para penyihir.

Aku tinggal bersama Ayah yang sangat menyayangiku dia memang sudah terlihat tua bahkan jalannya pun sudah hampir bongkok sehingga dia memerlukan tongkat untuk membantunya berjalan. Rambut dan jenggotnya pun sudah memutih dan dia juga sering mengeluh sakit punggung.

"Ayah, bukannya sudah ku bilang jangan sering pergi ke hutan lagi. Biar nanti Alice yang akan mencari kayu bakar setelah pulang sekolah. Lebih baik Ayah di rumah dan istirahat."

Walau sudah tua namun Ayahku masih sering menjalani aktifitasnya seperti Mencari kayu bakar di hutan, Menghadiri perkumpulan tetua-tetua di Istana dan juga membuat tongkat sihir. Ayahku terkenal sebagai pembuat tongkat sihir terhebat dan kepercayaan Raja di Negeri ini.
Bahkan dia sudah berencana jauh-jauh hari menjadikanku sebagai penerusnya membuat tongkat sihir.

Bagaimana bisa seorang Alice membuat tongkat sihir, bahakan mengucapkan mantra saja aku sering salah.

"Ayah tidak apa-apa Alice, pergilah kesekolah! ini sudah sangat siang." ucap Ayahku yang kini sudah mengusirku keluar pintu.

Aku sudah biasa jika harus sering telat masuk sekolah. Tak akan ada yang memarahiku selain Pak guru Fandor. Si Tua berkumis tebal itu memang sangat menyebalkan. Bahkan keinginanku setelah lulus sekolah dan menjadi hebat adalah ingin menyihirnya menjadi kodok berkumis. Menyebalkan sekali jika aku harus mengingat si Tua berkumis itu.

Aku mulai melangkahkan kakiku melewati hutan. Untuk sampai di sekolah aku hanya harus melewati hutan, tapi untuk apa aku berjalan jika aku bisa terbang.

"Ah, iya aku baru ingat, kemarin lusa aku baru saja merusakan sapu terbangku." Aku menghentikan langkahku dan menoleh kearah pohon besar disampingku yang tidak begitu jauh dari tempatku berdiri.

"Hay pohon, daripada kau hanya diam menguping pembicaraan orang lebih baik kau antar aku pergi ke sekolah," Pohon besar itu menoleh kearahku.

"Aku tidak mau, kau sudah hampir telat pergi ke sekolah dan kau meminta bantuanku dengan kasar." gerutunya yang seperti anak kecil.

"Kau benar-benar menyebalkan, sepertinya kau mau aku sihir menjadi pohon cabai seperti minggu lalu. rupanya." Aku mengeluarkan tongkat sihirku dan memain-mainkanya ke kanan dan ke kiri sambil melirik kearah Tulip nama yang kuberikan pada pohon besar itu.

"Baiklah-baiklah, aku akan mengantarmu pergi kesekolah. Tapi janji jangan pernah menyihirku menjadi pohon cabai lagi. Itu menjatuhkan harga diriku," Dengan tubuh yang besar dia menurunkan dahan kecilnya agar aku bisa naik ke atas tubuhnya dan duduk di bahunya.

Tulip adalah salah satu pohon liar di hutan ini yang bisa berbicara dan berjalan. Dia adalah sahabatku dari kecil walau kami sering bertengkar namun kami adalah sahabat yang sejati.

Samar-samar tertutup kabut sebuah bangunan besar bercuat tinggi mencakar langit terlihat semakin jelas. Sekolah tinggi penyihir Pesotomia dimana penyihir-penyihir muda belajar.

"Sampai sini, aku hanya bisa mengantar sampai sini. Aku tidak akan mengambil resiko jika bertemu Kepala Sekolah Doc." serunya yang membuatku menghela napas kesal.

"Baiklah, aku tau kau alergi dengan si tua bertompel itu."

Aku memilih berjalan kaki karena jarak gerbang sekolah yang memang sudah dekat. Aku melihat keatas saat aku mendengar seperti suara angin berhembus kencang. Beberapa siswa yang terbang mengunakan sapu terbang tengah melaju kencang menuju gerbang sekolah yang sebentar lagi tertutup.

Dan aku kini hanya bisa melaju kakiku dengan cepat agar dapat masuk sebelum gerbang tertutup.
Walau kutahu lariku tak secepat sapu terbang beginilah nasip penyihir miskin mantra sepertiku.

Namun, jangan panggil aku Alice si penyihir pintar jika aku tidak dapat melewati gerbang besar ini.
Dan itu terbukti hanya dengan berlari kini ku sampai sebelum gerbang di tutup rapat.
Aku mengelap keringat di keningku dengan jubah hitam yang ku pakai.

"Telat lagi? "

Aku mengerutkan dahiku, ini seperti suara si tua berkumis. Aku menoleh kebelakan, dan benar saja sesosok tubuh besar berperut buncit, berjubah hitam dan berkumis tebal tengah berkecak pinggang sambil melotot kearahku.

"Anu pak Fandor, sapu terbangku rusak dan aku harus berlari dari rumah sampai ke sekolah. Lihatlah aku kelelahan." Menampilkan gaya selelah mungkin berharap si tua berkumis itu tidak menghukumku.

"Kau ini benar-benar, ayo ikut aku. Kau akan mendapatkan hukuman lagi." Sepertinya sia-sia saja jika harus membodohi si tua berkumis itu. Dengan rasa kesal aku mengikuti langkah pak Fandor yang sepertinya akan memberikan hukuman yang lebih berat padaku.

***

Aku mengibas-ngibaskan tanganku, sembari melihat murid lainya tengah menjalani aktifitasnya saat istirahat.
Duduk di sebuah kursi panjang sembari merasakan kelelahan yang hakiki setelah mendapatkan hukuman membersihkan kotoran Naga dari si tua berkumis itu.

Dua orang siswa laki-laki mendekatiku mereka mengenakan seragam yang sama denganku jubah hitam dan tulisan di dada kiri bertulisakan Pesotomia.

"Telat lagi? Dihukum lagi? Apa cuma itu kebiasaanmu." Aku hanya melirik kearahnya tanpa mempedulikanya .

Dee, siswa laki-laki dengan segudang bakat yang kesombong menjadi sifat buruknya. Walau ku tahu kesombonganya hanya kedok tapi sebenarnya di dalam dirinya tersimpan sejuta kebaikan.

"Apa kau tidak bisa diam," aku mengalihkan pandanganku kearah Alan siswa laki-laki tanpa ekspresi, tegas, pendiam dan misterius satu hal rahasia aneh yang dia miliki yaitu dia akan selalu bersin-bersin saat melihat wanita dengan baju seksi apa lagi sampai terlihat belahan dadanya dia tidak akan berhenti bersin dan semakin kencang.

Mereka adalah teman satu kelompokku sejak aku masuk sekolah ini. Karena itu kami terlihat selalu bersama. Tak ada yang lebih mengenalku di sini selain mereka dan tak ada yang lebih mengenal mereka di sini selain aku.

"Kau di sini ternyata, aku dengar si bodoh Alice terkena hukuman lagi," Suara sinis terdengar nyaring di telingaku. Fena, gadis ini tidak henti-hentinya mencari masalah denganku.
Aku segera berdiri dan melipat kedua tanganku lalu mendekatinya.

"Setidaknya aku tidak seperti si pintar Fena yang bermuka dua."

Fena menatap tajam kearahku, dia terlihat sangat kesal dengan ucapanku barusan yang sukses membuatku senang.

"Aku dengar ayahmu, akan dipensiunkan sebagai salah satu tetua di istana oleh sang raja. Apa dia sudah tidak berguna lagi sehingga sang raja membuangnya?" tanyanya yang membuat beberapa siswa berkumpul seakan ada tontonan yang sayang untuk mereka lewati.

"Ya, Ayahku sudah tua dan mungkin sudah tidak berguna lagi, tapi kau tau kenapa ayahku menyetujuinya..."
Aku mendekat dan menatap tajam kearahnya,"karena ayahku sudah muak melihat si tua bertompel terus menjilat sang raja. Dia selalu mengonggong sehingga membuat Ayahku ingin muntah." bisiku yang sukses mumbuatnya terdiam seribu bahasa.

Aku tersenyum sinis dan melangkah meninggalkanya. Tak ada yang bisa menjatuhkan seorang Alice. Jangan pernah mencari masalah dengaku jika tak ingin mendapatkan balasan yang mengerika dariku. Tak lama kedua temanku Dee dan Alan menyusulku berjalan meninggalkan Fena yang masih terdiam mematung.

Kelemahan yang sebenarnya itu berasal dari diri kita sendiri. Jika kau tak ingin diinjak, maka jangan biarkan siapapun menginjakmu apapun yang terjadi. Dan aku, tak akan membiarakan siapapun meletakan kakinya di kepalaku seperti seorang pecundang.

Magic AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang