Bagian 11

5.8K 759 218
                                    

Ujung sepatu diketuk berkali- kali pada permukaan lantai keramik, mengikuti irama musik dari headset yang menggantung di satu sisi telinganya. Kedua bibirnya bergerak samar menirukan lagu dengan suara yang lebih terdengar bagai dengungan kecil.

" Hei, ini pesananmu," seruan dari balik etalase membuatnya menoleh. Mendongak untuk kemudian segera beranjak menghampiri si pemilik toko dan menerima dua kantong kresek pesanannya.

" Nenek yang akan membayarnya, Nee- san," bocah itu berkata.

Menderaikan tawa geli dari si pemilik toko kue langganan keluarganya. " Iya, iya, tidak bayar juga tidak masalah. Kita ini kan tetangga dekat," kedua mata Shizune menyipit lucu teriring senyum kecil yang terulas di bibirnya.

" Tapi tetap saja Nee- san menulisnya sebagai hutang," si bocah menggerutu.

" Tentu saja. Kau pikir dari mana aku dapat laba."

" Chk, Nee- san menyebalkan."

Shizune tergelak pelan.

" Apa nenekmu akan pulang hari ini, Taa- chan?"

" Hm, nenek menelfonku tadi pagi. Dan dia membawa cucunya serta untuk tinggal di sini," bocah laki- laki itu menjawab lugu sebelum tiba- tiba kedua alisnya menukik tajam. " Jangan panggil aku, Taa- chan!" serunya tidak terima sembari mengerutkan bibirnya lucu.

Shizune tertawa ribut. Menangkup kedua pipinya gemas demi menahan diri untuk tidak mencubiti kedua pipi pemuda SMP berperilaku bocah di hadapannya.

" Kalau begitu kau akan punya saudara baru?"

" Baru?" pemuda bersurai cokelat itu  mengerjap. Berpikir sejenak lalu melanjutkan, " Ya. Kakek bilang juga begitu. Tapi-"

" Tapi?" Shizune menaikkan satu alis sebagai tanda tanya.

" Yang baru kan aku. Aku yang tiba- tiba masuk keluarga kakek," menghela nafas panjang, " Aku cemas dia tidak mau menerimaku. Nee- san, bagaimana kalau dia mengusirku pergi dari rumah kakek?"

Shizune tertegun. " Tentu saja tidak. Cucu nenek Tsunade dan kakek Jiraya tidak akan melakukan itu padamu, Utakata. Jangan cemaskan itu," Shizune tersenyum hangat.

" Bagaimana kabar kakekmu?"

" Kakek? Kakek sudah sembuh. Tapi dia masih sedih karena tidak bisa ikut nenek ke Konoha gara- gara sakit. Bagaimanapun yang meninggal kan putra bungsunya. Satu- satunya putra yang tersisa yang kakek miliki. Aku melihat kakek sempat menangis malam lalu sambil memandangi foto kedua putranya," si bocah menunduk dengan wajah masam. Shizune lantas mengusap lembut bahunya.

" Aku turut berduka, Utakata. Hibur kakekmu, jangan sampai dia sedih terlalu lama."

" Tentu saja, Nee- san."

..
..

Naruto menatap lama kediaman sang nenek. Rumah tua yang terlihat begitu nyaman dengan pohon- pohon rimbun dan taman kecil yang terlihat subur. Tempat di mana ayahnya dan sang paman dibesarkan bersama dengan penuh kasih. Ia hanya beberapa kali berkunjung ke tempat ini bersama Kakashi, dan itu sudah cukup lama.

Ada perasaan sesak ketika ia kembali mengingat sang paman. Laki- laki itu telah menghabiskan masa mudanya dengan merawat dirinya tanpa mengeluh. Bahkan menolak mentah- mentah ketika nenek dan kakeknya menawarkan agar dirinya tinggal dengan mereka saja di Suna.

" Naruto, kenapa berhenti? Ayo masuk? Kau tidak mau masuk rumah nenek?" Tsunade berseru dari teras rumahnya.

Naruto terkesiap pelan. Menatap sang nenek dan mengangguk cepat.

Firefly For SasukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang