Happy reading.....
Hembusan angin yang menyejukkan menyapa wajah gadis yang kini duduk sembari menyenderkan tubuh di dada sang mama. Matanya terpejam menambah kesan nyaman di wajah pucatnya. Cardigan rajut yang membungkus tubuhnya ia eratkan seiring dengan senyum yang entah kenapa terukir dengan manis di bibirnya.
"Ma, Hanna pengen deh beli topi, boleh nggak?" Tanyanya pada sang mama yang kini mengusap lengan putrinya dengan sayang.
"Boleh dong, apasih yang enggak buat anak Mama ini."
"Tapi Hanna mau ikut pergi belinya, boleh ya," ujar Hanna lagi. Kini gadis itu sudah menegangkan tubuhnya dan menatap sang mama dengan tatapan memohon.
"Kamu kan harus istirahat sayang, nanti biar Mama sama Papa aja yang beliin okay?" Mama Hanna tersenyum mencoba memberi pengertian.
"Tapi Hanna pengen jalan-jalan, bosen kalau di rumah sama di rumah sakit terus." Hanna menundukkan kepalanya saat tak mendapat jawaban dari sang Mama,"Mama malu ya ngajak Hanna karena udah botak."
"Wushh, kamu ini ngomong apa. Mama cuma nggak mau kamu kecapean. Nanti kalo nggak ada jadwal radioterapi mama ajak beli okay?" Sang Mama mengibaskan tangannya, menolak persepsi Hanna yang tidak berdasar. Bagaimana orang tua bisa malu hanya karena anaknya yang tengah sakit dan berupaya bertahan hidup.
Setelah itu sunyi terjadi beberapa saat sampai Hanna menyadari bahwa apa yang ia katakan menyakiti sang mama. Harusnya Hanna tak mempertanyakan hal itu, bahkan mau bagaimana pun keadaannya wanita tangguh ini akan selalu ada untuknya begitu juga sang Papa yang kini tengah menyelesaikan urusannya di kantor.
"Ma, maafin Hanna ya, udah nyinggung perasaan mama," cicit Hanna menundukkan kepalanya sendu.
Mama menarik nafas dalam lalu memeluk putri semata wayangnya dengan erat. Kini sudah hampir 2 tahun, tapi entah kenapa kebahagian belum juga menghampiri mereka. Setiap harinya hanya dipenuhi ketakutan dan rasa cemas yang mengganggu. Memang keadaan sudah membaik, tapi siapa yang bisa menjamin itu. Buktinya, secara fisik belum ada perubahan yang signifikan pada putrinya itu.
"Enggak apa apa sayang, mama ngerti kok, tapi lain kali jangan ngomong kayak gitu lagi okay? Kamu tau kan seberapa sayangnya mama sama kamu?" Ujar Mama mengecup kepala Hanna yang terbungkus topi rajut.
"Ini nunggunya masih lama nggak sih ma?" Tanya Hanna yang memang sudah bosan menunggu. Ya, saat ini mereka tengah berada di rooftop rumah sakit menunggu dokter Kevin yang mendadak ada sedikit urusan.
"Bentar lagi kayaknya sayang, Mama telepon dulu deh," jawab Mama meraih ponsel di tasnya. Sedangkan Hanna hanya mengangguk patuh lalu kembali menatap pemandangan kota Landon yang menenangkan dari atas sana.
Sebuah buku catatan kecil dan juga pulpen berwarna pink menjadi fokus gadis itu sekarang. Lembar foto berukuran sedang terselip di bagian paling depan. Hanna meraihnya dengan senyum yang perlahan terpatri di bibir ranumnya. Raja terlihat sangat tampan di foto ini dengan bandana merah yang mengikat kepalanya. Ya, itu adalah foto yang Hanna ambil saat yearbook dulu. Kalian masih ingat kan?
Entah sudah berapa besar rindunya pada sosok itu. Sosok yang kadang-kadang ia lupakan. Untuknya, di buku yang tak terlalu besar ini Hanna menulis semua hal tentang Raja. Kenangan mereka dulu, bahkan sampai detail-detail kecil pun ia tulis di sana. Tentang bagaimana bahagianya gadis itu bisa menjadi orang yang dicintai Raja. Dan tentang Hanna yang rela berjuang mati-matian untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Boy 2
Teen FictionSequel of My Cold Boy. Apa kalian masih ingat dengan rasa sakit dan tawa mereka? Pertemuan kembali membawa cerita baru bagi mereka. Akankah rasa sakit itu tetap sama? Bisakah mereka melewati semuanya kali ini? Bagaimana jika memang mereka tidak di...