Prolog

20 0 0
                                    


Mia.

Rasanya seperti mendapat sengatan listrik secara mendadak yang membuat jantungku seperti berdetak tak karuan.

'Adit ke mana sih?' batinku berusaha menemukan sosok putih dan kurus di sekitarku. Aku sudah berjalan mengelilingi sekolah dari kantin, taman belakang sampai lorong-lorong kelas.

"Mia" langkahku terhenti secara otomatis. Rasanya jantungku ikut terhenti juga. Suara Aldo.

Aku berbalik dan mendapati Aldo sudah berdiri tegak di hadapanku, aroma tubuhnya sangat jelas. Aku menyukai aroma rum kental, ada aroma apple, floral dan aroma manis, Hangat.

"Ini Mia, tadi tertinggal" suaranya menggema di telingaku, tak membangunkan aku dari aromanya yang sedap itu. Tapi tunggu, tidak ada aroma matahari seperti biasanya di sana. Sepertinya ia belum menyentuh bola basketnya hari ini.

"Mia?" kini suaranya penuh Tanya dan memnyadarkanku.

"ah.. iya Do, terima kasih ya" kataku menerima buku dari tangan Aldo, berbalik lalu pergi. Aku gerogi, dan aku tidak mau ia mengetahuinya walaupun dengan sikapku ia pasti tahu aku menyukainya.

Selama ini dan dari dulu.

--

Adit.

"Adiiiiiit!" aku menengok kearah suara yang memanggilku. Mia. aku sudah menduganya sebelum melihat wajah itu di muka pintu. Hanya dia perempuan pendiam yang memiliki suara secempreng itu. Aku kembali pada layar ponselku.

Anak itu memang selalu lupa sekolah ini bukan miliknya dan dia selalu membuat keributan dengan hal-hal yang tidak penting.

Wajahnya berbinara dan matanya penuh cahaya, Aldo. Batinku. Mia selalu menunjukan wajah seperti itu setiap otaknya di penuhi oleh pria yang bernama Aldo itu. Pria itu dapat membuat Mia tidak bisa berfikir jernih sampai kemungkinan terburuknya adalah Mia tidak bisa tidur, dan tugasku adalah menenangkan Mia kembali. Peran pembantu. Aku hanya pusing dengan pesan atau telponnya setiap malam. Tidak bisa tidurnya itu membuat aku juga tidak bisa tidur.

"Adit, Aldoooo!" Seru Mia lagi.

Rasanya malas sekali aku mendengar nama itu untuk kesekian ribu kalinya. Aku bosan dan rasanya mau muntah. Bayangkan hampir setiap hari dan setiap malam aku mendengar nama itu dari Mia. rasanya tahun-tahun sekolahku disini ingin segera aku akhiri.

"Adit dengerin" Rengek Mia lagi mengguncang-guncang tanganku.

Tangaku hampir hilang kendali dan ponselku hampiter terjatuh "Mia, ponselku hampir jatuh! Harganya lebih mahal dari Aldomu itu tahu!" aku menatap Mia, apa-apaan perempuan ini. Dia selalu membuatku gemas sekaligus kesal dalam waktu yang bersamaan.

"Adit" Mia menutup mulutku dengan tangannya. Aroma vanilla. Aku tidak bisa bernafas.

"apa? Kenapa lagi?" kataku mencoba mendengarkan, demi tuhan, aku lelah mendengar nama Aldo.

"tadi aku ngobrol sama Aldo di pinggir lapangan, terus aku pergi. Aku gugup" Mia memeluk buku catatan yang kemana-mana ia bawa itu, buku yang tak pernah lepas dari tangannya.

Aku menatapnya sekali lagi, apa-apaan wanita ini "kamu pergi? Momen seperti itu kamu tinggalkan begitu saja? Bodoh" aku kembali menatap ponselku. Dia terlalu bodoh untuk soal ini. Ia menyukai Aldo, tapi setiap ia mendapat momen indah atau sebuah kesempatan emas yang jarang sekali didapatkan, ia selalu pergi dengan alasan gugup.

"Adit, it's complicated, rasanya aku gemetar disamping dia dan rasanya aku ingin selalu tersenyum setiap saat, aku malu memperlihatkan semua itu pada Aldo, dia bisa mengetahui aku menyukainya" di akhir kalimatnya, Mia menghela nafas, matanya menatap kosong kedepan. Hanya Aldo yang mampu membuatnya seperti ini.

"bukannya harusnya seperti itu? Jangan bersembunyi dibalik perasaanmu" aku tertegun dengan kata-kataku sendiri jangan berrsembunyi dibalik perasaan ulangku didalam hati.

Mia terdiam, ia berfikir? Tidak mungkin. Otaknya hanya dipenuhi lirik lagu. Mana mungkin dia bisa berpikir?


Cerita oleh Nedis Adinda

MisdirectLoveWhere stories live. Discover now