Chapter 9

4 0 0
                                        


Mia.

Aku merindukan Adit. Sungguh. Jika keberadaan Alvin disini mengganggunya. Aku akan sangat memohon agar Alvin pergi. Aku membutuhkannya.

Awalnya aku pikir keberadaan Alvin akan membuatku lengkap. Ternyata tidak. Aku masih membutuh kan Adit. Mereka berbeda.

Pukul 02.00 , aku tidak bisa tidur. Aku memperhatikan wajah Alvin yang tertidur di sofa. Wajahnya mengiatkanku pada Aldo. Cinta pertamaku yang membuat hatiku tertutup untuk siapapun. Membuat aku menunggu kedatangan hal yang tidak mungkin kembali.

Pertemuan pertamaku dengannya. Rasanya aku taka akan pernah lupa.

Waktu itu aku baru saja mengenakan seragam putih abu-abu. Rasanya seperti menjadi dewasa. Aku dan Adit. Kami selalu tumbuh bersama namun dalam suasana hati yang berbeda. Hatiku selalu penuh cinta dan hatinya selalu kosong. Aku tidak pernah mendengarnya menyukai wanita, dia tidak pernah membiarkan siapapun memasuki hatinya itu.

"berani taruhan? Kamu engga akan bisa masuk tiga besar" kataku lantang. Adit tidak bisa apa-apa. Malah orang tuanya sendiri yang mengatakan otak Adit itu di bawah rata-rata.

"siapa bilang? Kalo aku bisa gimana?" sanggah Adit. Dia tidak pernah mau kalah padaku dari dulu. Sekalinya anak ini kalah, ia akan mencari-cari kesalahanku dan menuduhku yang tidak-tidak. Anak ini.

"aku akan masuk team cheers kaya yang kamu mau" kataku dengan penuh ragu. Aku memang mantan dacer, tapi aku punya kenangan buruk soal itu. Aku menguburnya rapat-rapat dan menganggap tidak pernah terjadi walaupun hasilnya nihil. Aku masih bisa mengingatnya dengan baik.

"tapi kalo kamu engga bisa. Kamu masuk team basket" lanjutku. Adit benci sekali olah raga. Ck. Dia tergolong metroseksual yang takut matahari dan keringat. Aku akan tertawa terbahak-bahak bila melihatnya bermain basket.

Adit menghentikan langkahnya. Ia tertunduk seperti mempertimbangkan tawaranku. Hah. Mana bisa ia terima tantanganku. Ketakutannya pada matahari itu akan mengubur rasa sok beraninya.

"oke" katanya mengagetkanku.

"aaaa" kepalaku terbentur sesuatu. Aku sudah terduduk dilantai. Mataku buram.

"Mia,, mia" suara Adit mencoba memegang tanganku.

Aku memegang kepalaku dan rasanya semua terlihat buram dan semakin redup.

"sorry sorry" kata seorang pria yang datang. Bayangannya terlihat besar dan tegap. Aku menengok dan semuanya buram. Wajahnya tak terlihat sama sekai. Lalu semuanya hitam.

Rasanya gelap. Aku tidak tahu ada di mana. Sedikit-demi sedikit aku bisa melihat cahaya. Aku bisa melihat dan mataku kini sudah terbuka.

Entah berapa jam aku terlelap. Kepalaku terasa sangat berat. Aku tersadar di UKS sekolah. Adit ada disisiku, tertidur.

"Adit" panggilku pelan. Tanganku memegang kepala yang rasanya mau pecah ini.

Adit mengangkat kepalanya dan menatapku "Mia? udah sadar" katanya memegang tanganku.

"aku pingsan?"tanyaku. aku tidak ingat kejadian sebelum ini.

"kurang lebih satu jam" kata Adit sedikit terkekeh. Apa-apaan dia malah tertawa melihat aku menderita seperti ini.

"Adit. Masuk kelas!" aku kenal sekali suara ini. Suara bu Metha, guru Matematika kami.

Adit mengangkat tagannya padaku. Tanda perpisahan kami sebelum Adit di makan oleh guru killer itu.

Kepalaku masih pusing. Tanganku masih sibuk meremas-remas kepalaku.

Aku menengok kearah pintu tempat Adit menghilang tadi. Ranjangku tertutup gorden memang, ada siluet seseorang disana. Berdiri dan tak bergerak. Kepalaku terlalu sakit untuk menerka-nerka.

MisdirectLoveWhere stories live. Discover now