Chapter 4

4 0 0
                                        


Mia.

'Mia, besok sore ada acara? Aku mau mengajak kamu ke café yang tempo hari aku ceritakan' pesan masuk bertuliskan nama Alvin di ponselku yang otomatis membuatku tersenyum.

Entah mengapa setiap apapun tentang Alvin membuatku ingin tersenyum. Namanya seperti Esspresso. Menyemangati jiwa rapuh. Sudah lama aku tidak merasa seperti ini. Ya, sudah sangat-sangat lama.

Kini kepalaku terisi satu orang yang pernah membuatku seperti ini sebelumnya. Aldo.

Aku memejamkan matau mengingat setiap bagian dari dirinya. Setiap inci dari satu-satunya orang yang membuat hatiku membeku untuk waktu yang amat lama, membuatku menunggu sesuatu yang tak jelas.

Waktu itu hari kelulusan sekolah. Seluruh penjuru sekolah terasa begitu ceria dengan kabar seratus persen siswa dan siswi lulus. Seluruh siswa kelas tiga meloncat dan saling berpelukan.

Tidak lama lapangan upacara berubah menjadi tempat yang terlihat begitu menyenangkan. Baju dengan coretan pilox dan spidol ada dimana-mana. Teriakan gaduh dan jeritan para siswi begitu menggema. Entah apa alasan kepala sekolah mengizinkan muridanya melakukan hal seperti ini di dalam sekolah yang sepertinya dilarang oleh sekolah lain.

Bajuku masih putih bersih belum tercoret apapun. Perayaan kelulusanku cukup dengan memandangi teman-temanku bercoret-coret ria dari sudut lapangan. Di bawah pohon rindang. Mataku menangkap Adit yang sedang tertawa sambil mencoret seragam Anita, wanita yang belakangan ini dekat dengannya. Aku tersenyum, rasanya dia satu-satunya wanita yang berani mendekati Adit, selain aku pastinya.

Bibirku tersenyum getir, Tanganku meremas sebuah kertas yang bertuliskan 'LULUS'. Kepalaku dipenuhi penat.

Rasanya ingin sekali aku menangis. Aku lulus dan nilaiku tidak mengecewakan. Ini bukan soal sekolah, ini soal perasaanku.

"Mia" suara seorang laki-laki mengagetkanku.

Aku menengok kearah suara itu. Aldo.

Aku tersenyum padanya lalu kembali menatap lapangan yang semakin gila. Kini rasa canggung sudah hilang dan digantikan dengan rasa takut kehilangan. Rasa ini ternyata lebih menyebalkan. Aku lebih memilih masih memiliki rasa canggu ketibang rasa seperti ini, mungkin sekarang aku sudah lari ke lapangan dengan kaki gemetar dan senyum yang tak akan lenyap sampai malam tiba.

Aldo duduk di sampingku. "kamu ngapain di sini sendirian? Engga ikut sama yang lain ke lapangan?" kata Aldo.

Bajunya sudah terkena sedikit warna hijau di pundak kanan dan warna merah melintang dari pundak kiri ke pinggang kanannya. Dia terlihat 'hampir' menikmati momen menyenangkan itu.

Aku tersenyum sebisaku, entah seperti apa jadinya senyum ini. Kertas di tanganku masih aku remas-remas.

"Mia, ini awal baru, jangan menyambutnya dengan wajah seperti itu" Alvin menyentuh pipiku. Entah sentuhan seperti ini bisa membuat pedihku sedikit terobati. Walaupun sentuhan dari tanganmu di pipiku ini tidak akan membuatnya tetap tinggal disini.

Aku masih diam memandang kertas ditanganku. Aku sadar betul Aldo masih menatapku tak henti.

"aku akan kembali ke Jakarta Mia, itu pasti" lanjut Aldo.

Kata-katanya sangat tabu. Otakku tidak mungkin seratus persen percaya pada kata-katanya. Ia akan pergi jauh setelah beberapa hari yang lalu mengungkapkan perasaannya padaku. tapi, Setidaknya kalimat yang ia lontarkan mampu membuat aku mampu tersenyum dengan lebih ikhlas dari sebelumnya.

"yuk ke lapangan" Alvin menggandeng tangan ku. Mengantarkan aku pada berpuluh pasang mata yang sedang berbahagia di lapangan.

Kedatanganku dilapangan disambut dengan coretan pertama dari Adam, ketua kelas yang amat jahil. "selamat hari kelulusan nona cerewet" katanya dengan gaya bodoh dan ya tuhan, alisnya sudah berubah menjadi warna emas.

MisdirectLoveWhere stories live. Discover now