Mia.
Entah sudah berapa ratus pesan maaf aku kirimpan padanya. Aku telpon dan tak bosan-bosan operator mengatakan nomornya tidak aktiv. Aku tidak ingin anak-anak ChoCoffee tahu tentang masalah kami, aku berusaha tak berlebihan pada Adit di café.
Hasilnya nol besar!
Adit masih tidak menerima maafku. Jangankan untuk berbicara, berpapasan denganku pun ia akan langsung menghindar.
ChoCoffee kehilangan nyawa. Café terasa asing, bahkan untukku sang pemilik. Tanpa kami bercerita pun seisi café tahu keadaan hubungan kami memburuk. Tak ada yang berani bertanya padaku memang, tapi tatapan setiap pegawai seperti mempertanyakan hal ini.
Aku sudah bilang aku tidak bisa hidup tanpa Adit bukan? Dan kini semua terlihat seperti tak hidup untukku. Apapun yang aku lakukan terasa tak akan sama tanpa dia atau mungkin sekedar kabar darinya. Dia adalah diriku yang berbeda, kami satu dan kini terbelah.
Aku melihat jam di layar, pukul 11 malam dan aku masih berada di ruanganku. Seluruh pegawai ChoCoffee pasti sudah pulang. Rasanya badanku ini seperti mudah runtuh, untuk melangka pulang saja sepertinya aku tidak sanggup.
Aku memejamkan mataku, 'Adit' batinku memanggil-manggil namanya.
--
Adit.
'kenapa aku tidak suka pada pria itu? Apa salahnya?' pagi ini aku sudah berada di café seperti biasa, adonan di tanganku menjadi sasaran kemarahanku. 'tapi melupakan janji dan pergi dengan orang lain itu sebuah kesalahan bukan?' batinku lagi, adonan di tanganku kini sudah tidak lagi menjadi bulan-bulanan tanganku.
Ini semua jelas kesalahannya, tapi rasanya hatiku menolak untuk kesalannya yang kedua kali ini.
"Pagi Mas Adit" sapa Jani sudah berdiri di pintu dapur, entah sejak kapan gadis ini berdiri di sana.
Aku membalasnnya dengan senyuman. Kedatangan jani disusul dengan wujud Zaf yang tiba-tiba masuk sambil memakai celemeknya.
"Dit, kayanya ini hari sabtu deh, hari sabtu dan kamu bikin roti?" kata Zaf.
Sabtu? Aku menatap adonan di dalam wadah yang sudah tinggal dibentuk.
Yap, ini hari sabtu dan harusnya aku membuat berbagai Cupcake atau pie dengan rasa-rasa yang aku sebut eksperimen. Biasanya hari ini adalah hari yang paling aku tunggu selain hari libur. Tapi kali ini masalahku dengan Mia, atau mungkin masalahku dengan perasaanku sendiri mengacaukan segalanya.
"kamu engga lupa hari kan dit?" Zaf kini mengambil beberapa bahan dari lemari penyimpan.
"em,,, ya, aku tidak lupa ini hari Sabtu" Aku menggaruk kepalaku. Ada apa dengan Adit?
"Adit? Masalahmu dengan si ibu bos sepertinya harus segera diselesaikan, semakin hari kau semakin kacau" Zaf terkekeh geli menggoda ku. Dia selalu seperti itu. Orang seperti Zaf ini pasti selalu ingin tahu masalah orang lain bagaimanapun caranya, tidak mungkin ia diam melihat aku dan Mia bertingkah aneh.
Ck. Rasanya aku malas mendengarkan celoteh Zaf. Aku kembali pada adonan roti yang salah hari ini. Setidaknya Roti bisa dijadikan sesuatu yang berbeda walaupun aku masih tidak tahu apa yang akan terjadi dengan benda lembek di depanku.
"Pagi mas Miko" kata Zaf dengan senyum manis makasainnya.
Miko hanya tersenyum lalu menuju counternya.
'Jam delapan dan Mia belum datang' batin ku, aku sangat hapal. Miko selalu datang tepat wakttu. Maksudku 'sangat tepat'. Dan Mia, dia selalu datang pagi menikmati café yang sepi.
Pintu ruangan Mia, entah rasanya pintu itu terlihat hangat dan terasa memaksaku untuk menembus dan menemui hal apapun yang ada di dalamnya. Oh tidak, sepertinya aku merindukan anak itu.
"Dit, aku sama Zaf mau ambil stock dulu, kamu tunggu disini dulu ya" kata Miko lalu keluar disusul Zaf.
Aku hanya mengangguk.
Dapur ini sepi. Biasanya ada Mia menemaniku disini. Dia selalu memaksa untuk membantuku dengan tangannya yang sama sekali tidak berbakat menyentuh kompor atau adonan. Aku akan membiarkannya membuat apapun dengan satu syarat, setelah makanan yang ia buat itu selesai, ia harus menikmatinya sendiri agar dia tahu seperti apa rasa kue buatannya.
Mia. Ya tuhan aku benar-benar merindukannya. Kakiku berjalan dengan sendirinya mengarah ke pintu menuju ruangan Mia. Aku menghentikan langkahku.
Pintu berwarna coklaat bertulisan 'Manager' dengan font curly-curly warna ungu, ada kucing-kucing kecil disana. Mia sangat menyukai kucing sampai penyakit asmanya itu memaksanya untuk tidak berhubungan banyak dengan spesies berbulu itu.
Aku menggenggam gagang pintu. Ini bukan pertama kali aku membuka pintu ruangan Mia tanpa ketukan atau izin, namun kali ini terasa janggal.
Aku membuka pintu itu.
"Mia!" pintu terbuka dan memperlihatkan aku seorang wanita tergeletak dimeja tak sadarkan diri.
Aku berlari menghampirinya.
"Mia.. Mia" aku menggoyang-goyang tubuhnya dan tidak ada hasil apapun.
Mia tidak sadarkan diri, aku memegang tangannya, nadinya masih berdenyut.
"Jani!" teriakku. Otakku rasanya tak bisa berfungsi dengan baik sekarang.
"Ya tuhan mba Mia" Jani muncul dan tidak kalah panik, Ia berlari menghampiri aku yang sudah memangku Mia.
"Ambil Air Jani" kataku, Aku tidak tahu harus berbuat apa. "Miaa.. Bangun Mia" seruku lagi menepuk-nepuk pelan pipinya. Ya tuhan, apa yang terjadi dengannya?
"ini mas" jani muncul dengan segelas air putih.
Aku meminumkannya dan... tidak ada hasil apapun.
"Mia... bangun Mi" Mia tak juga membuka matanya. Kepalaku tak bisa berpikir apapun lagi.
"bawa ke rumah sakit aja mas. Sepertinya mba Mia sudah semalaman disini" kata Jani memmbuat otakku kembali lurus.
Aku mengangkat tubuh Mia "Jan, tolong bukakan pintu"
--
Jani.
Aku tidak tahu masalah mereka apa. Tapi keadaan mba Mia yang tiba-tiba pingsan didalam ruangannya sendiri sudah menunjukkan bahwa masalahnya dengan Adit membuatnya begitu tak berdaya.
Beberapa hari ini aku tidak pernah melihat mereka bersama lagi. Raut wajah mereka berdua pun sangat terlihat pedih. Entah aku hanya mencoba mengartikannya.
Aku pernah sekali memergoki mereka berdua memilih menghindar ketimbang berpapasan di dapur. Dari situ aku sadar, keadaan hubungan mereka sedang tidak baik.
Aku mencoba untuk tidak ikut campur, masalahku dan hidupku sudah terlalu penat. Tapi sebesar apapun usahaku untuk tidak tahu, otakku selalu menerka-nerka dan menghubungkan semuanya dengan kejadian tempo hari di parkiran café.
Tapi. Wajah mas Adit tadi menegaskan sesuatu. Seberapapun berat, seberapapun besar masalah mereka. Rasa mas Adit masih sama. Masih Mas Adit yang menyayangi Mba Mia apapun keadaan dan masalahnya.
Aku tersenyum getir setelah kepergian mas Adit ke rumah sakit yang sampai detik ini belum kemali. Ada rasa sakit melihat kehawatiran mas Adit pada mba Mia. Aku tidak punya hak untuk merasakan sakit atas itu. Tugasku masih banyak disini.
Aku menghapus sedikit-demi sedikit pikiran itu.
--

YOU ARE READING
MisdirectLove
Romancekamu tahu apa yang lebih nikmat dari secangkir kopi? ada yang bilang cinta ada yang bilang juga persahabatan tapi aku mau keduanya - Adit bukan, aku bukan menunggu hal yang tidak pasti aku hanya bisa melakukan ini bagaimana aku bisa berpindah hati j...