Adit.
'sudah berapa lama anak itu pingsan didalam ruangannya sendiri?' aku tidak bisa diam, kakiku rasanya ingin sekali berdiri disamping Mia, kini aku hanya mondar-mandir di depan ruangan tempat Mia di periksa 'kalau saja aku tidak marah, pasti anak itu sudah menghubungiku' gumamku untuk kesekian kalinya.
"ahh" aku baru ingat. Setelah kejadian itu, aku menolak berhubungan dengan Mia, aku mematikan ponselku. Aku merogoh kantong dan mencari ponselku '78 pesan dan 86 missed call' yap, sekarang ini menjadi kesalahanku.
'Adit, kamu di mana? Tubuhku rasanya tidak bisa beranjak dari kursi kantor' pesan terakhir dari Mia yang dikirim semalam, pukul 00.30WIB.
Aku membaca satu persatu pesan dari Mia yang berisi berbagai kata Maaf.
Kalau saja aku tidak mematikan ponselku, kalau saja aku tidak marah sebesar itu padanya.
"Mia tidak apa-apa, ia hanya kelelahan dan sepertinya ia tidak memakan makanan apapun dalam waktu yang cukup lama, sekitar 35 jam perutnya kosong" suara Dokter yang baru saja selesai memeriksa Mia. "dia hanya butuh istirahat dan mengatur pola makannya saja" katanya lagi dengan senyum dan menepuk pundakku lalu pergi.
--
Mia.
"Adit" rasanya gelap, lalu kemudian samar. Hanya nama Adit yang bisa aku sebutkan.
"iya Mi, aku udah maafin kamu, stop ya minta maafnya" suara Adit diirindi dengan dekapan tangan. Aku masih tidak bisa melihatnya dengan jelas.
"jangan diemin aku lagi ya, aku engga bisa apa-apa tanpa kamu Dit" kataku terbata-bata, aku tidak tahu harus berkata apa padanya, kesalahanku sudah telalu banyak padanya dan kini dia yang ada di sampingku.
Adit diam. Ia tidak mengiyakan kata-kataku.
"Mia" seorang laki-laki masuk dari pintu memecahkan diam kami. Suara yang aku kenal. Alvin.
"Alvin" dari mana orang ini tahu aku disini?. "kok kamu-"
"aku tadi ke café, kata orang café kamu masuk rumah sakit tadi pagi" kata Alvin sambil meletakan sekotak coklat di meja sebelah ranjangku.
"Vin, kenalin ini Adit. Adit, ini Alvin" kataku, sekarang aku sudah bisa melihat dengan jernih dan aku sudah bisa tersenyum.
Mereka berdua bersalaman, wajah Adit memburam. Senyum di wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa itu, aku mengenalnya dan aku kini tahu. Adit tidak menyukai Alvin.
Kaku. Rasanya kepalaku malah semkin pening dengan keadaan diruangn ini. Perbincangan mereka terdengar di buat-buat dan wajah Adit begitu kelabu.
"Dit café?" kataku tiba-tiba memecah kaku kami. Aidit chef kue dan apa jadinya cafe itu tanpa dia? "ini kan hari sabtu" tambahku.
Adit tersenyum getir. Aku tidak suka melihat senyumnya ini.
"ke café aja, aku di sini kok" Alvin menyodorkan bantuannya, entah akan baik atau tidak untuk didengar Adit.
"iya Dit, tolong ya. Cuma kamu yang ngerti café itu" pintaku lagi. Tidak ada aku dan Adit. Pegawaiku akan terpuruk. Pikiranku kacau balau. Aku harap ia mengerti yang aku maksud dan tidak salah mengartikan. Aku bukan ingin bersama Alvin, mereka berdua berada di sini dengan suasana yang dingin membuatku sakit kepala. Dan café, ChoCoffee butuh dia bukan?
Adit pergi setelah berpamitan. Dengan senyum getirnya yang menandakan sesuatu yang sepertinya tidak aku sukai.
--
Adit.
Dia yang memaksaku. Mia yang membuatku punya alasan untuk meninggalkannya lagi. Dengan pria itu? Aku tidak bisa berbuat apapun. Dia yang meminta aku meninggalkannya setela aku berjanji tak akan meninggalkannya.
Bukannya harusnya aku senang ada yang menemani Mia? Dan aku bisa kembali pada tugasku di café? Tidak! Aku tidak akan tenang!
Sepanjang perjalanan kepalaku terasa berat, kkenapa pria itu muncul dengan berbagai pesona lalu merebut Mia dariku? Oh ya, aku tidak pernah mengikat apa lai mengikrarkan Mia adalah milikku, dia bukan milik siapapun. Seharusnya aku tidak melupakan itu.
"Mas gimana keadaannya mba Mia?" Jani menyambutku di pintu dapur.
Aku berjalan menuju counterku. Rasanya aku malas sekali menjawab pertanyaan Jani ini. Ia terus mengikuti dibelakangku.
"kamu gila ninggalin Mia sendirian Dit?" kini Zaf sambil memasak sesuatu melemparkan pertanyaan yang rasanya ttidak ingin aku jawab lagi, apa mereka pikir aku sebodoh itu?
"Ada Alvin" jawabku. Semoga mewakilkan pertanyaan yang mungkin masih aka mereka lemparkan padaku.
Seisi dapur diam, Jani masih disana. Sepertinya ia masih menyimpan pertanyaan.
"Kalo kamu engga bisa masak hari ini, engga usah dulu ya Dit, etalase udah aku penuhin sama zuppa soup berbagai rasa kok. Kue yang dimasak dalam keadaan hati dan otak tidak baik hasilnya engga akan maksimal bukan?" Zaf menepuk pundakku. Untuk kali ini Zaf benar.
Aku memikirkan kata-kata Zaf. 'keadaan hati dan otak' aku mengulang kata-kata Zaf "entah lah, sepertinya aku butuh istirahat" aku berjalan menuju kamar mandi. Aku butuh air untuk menyegarkan otakku.
--
-

YOU ARE READING
MisdirectLove
Romancekamu tahu apa yang lebih nikmat dari secangkir kopi? ada yang bilang cinta ada yang bilang juga persahabatan tapi aku mau keduanya - Adit bukan, aku bukan menunggu hal yang tidak pasti aku hanya bisa melakukan ini bagaimana aku bisa berpindah hati j...