2. The Beginning

10.2K 1K 248
                                        

[PAST]

Virgi jadi beneran menjauhi gue karena dia menganggap celetukan gue bahwa gue naksir Keanu itu nyata adanya. Mana ternyata si Keanu masih betah jadi temen sebangku gue selama satu tahun kita SMA, dan masih sekelas sama gue lagi di kelas sebelas. Udah nggak keitung berapa kali Keanu misuh-misuh tiap Virgi menatap kami dengan pandangan aneh. Gue sih bodo amat.

Itu kan Keanu aja yang sentimen karena level jaimnya ketinggian. Atau mungkin juga karena dia diem–diem suka sama Virgi.

Tapi gue yakin sih si Virgi sebenernya masih suka sama gue terlepas sama pernyataan gue saat kenalan yang sengaja gue lontarkan supaya dia ilfeel.

Gue sering melakukan hal ini ke cewek–cewek yang udah ada gelagat mau mendekati gue atau ketika mereka udah mulai keliatan menaruh perasaan suka sama gue.

Hapal gue kelakuan cewek yang begitu.

Biasanya mereka cari perhatian dengan hal–hal absurd kayak tiba–tiba ngomongin musik yang lagi hits di depan gue. Atau nggak ada angin nggak ada petir, tau–tau minta nebeng gue pulang sekolah dengan alasan yang jelas sengaja dibuat–buat. Atau menawarkan membantu gue mengerjakan tugas yang sebenernya nggak susah–susah banget. Virgi adalah salah satu yang sering melakukan itu, menawarkan bantuannya padahal gue nggak butuh-butuh banget.

Meski ada beberapa cewek yang lumayan berhasil menarik hati gue, sepertinya semesta tau gue nggak bisa membalas sikap mereka lebih lanjut. Terlalu riskan buat gue menaruh hati sama cewe–cewek lain selain satu cewek di Yogya itu.

Karena takdir gue tentang jodoh, entah bagaimana asal muasalnya, sudah ditentukan oleh keluarga gue bahkan sebelum gue lahir.

Dan Moli ini, kayaknya jadi semacam penyelamat gue karena sebelum cewek–cewek itu mendekati gue, dia selalu lebih dulu merebut kesempatan itu untuk murni, memanfaatkan gue. Membuat mereka mundur perlahan karena semua energi dan tenaga gue pasti keburu habis dan ketampanan gue luntur karena Moli yang memanfaatkan gue dengan semena-mena.

Garis bawahi ya, memanfaatkan.

Dia beneran nggak ada niat PDKT sama gue, biar gue ada hati sama dia. Nggak sama sekali. Karena kalo iya, nggak mungkin di sela–sela menunggu pesanan makanan kita di kantin, dia memberitahu gue fakta dirinya yang sedikit memanjangkan kuku kelingking kirinya untuk kepentingan ngupil.

Sangat elegan. Attitude yang sangat anggun, kan?

Selain itu, Moli juga tau gue paling males kena omel guru gara–gara tugas gue nggak kelar. Jadi terlepas bener atau salah kerjaan gue, gue lebih mending menyelesaikan tugas–tugas itu tepat waktu.

Dalam hal ini, kita berdua beneran total opposite. Moli nggak akan nyelesein tugasnya kalo dia nggak yakin tugasnya udah bener dengan sempurna sekalipun deadline udah kayak dua detik lagi.

Yang berujung—

"Jejejeje!!!" Moli dengan rusuhnya berlari menuju meja gue, dengan kuciran rambutnya yang udah berantakan dan berbagai macam gulungan kertas di lengannya. "Lo rapihin pembukuan gue yang enam lembar terakhir, kasih garis tiap akhir summary pake spidol 03 oke? Jangan ketuker sama spidol 01!" perintahnya dengan kecepatan tukang ojek nganter ibu–ibu yang nyaris melahirkan, lalu dia melemparkan buku akuntansinya di meja gue.

Kemudian melesat pergi lagi.

"GUE MAU RAPAT MADIING! NTAR TUNGGUIN GUE PULAAANG!" teriaknya sebelum benar–benar meninggalkan pintu kelas.

Sialan.

Di mata Moli, gue nggak lebih dari sekedar kacung dengan ketampanan di atas standar rerata.

Act of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang