[PRESENT]
Kami nggak jadi USG, huahaha. Nggak tahu, ya, gue antara lega dan makin penasaran ketika Nia memutuskan, kalau malam ini kita keliling kota aja. Bukan, bukan Ciputat. Ciputat mah bukan kota, tapi dusun. Kami lagi di Jakarta sekarang.
Senin malam adalah saat yang tepat buat keliling-keliling bengong begini di jalanan. Setelah salat Isya tadi gue padahal udah ganteng, dandan ala calon-calon ayah meyakinkan dan siap ngeluarin mobil buat ajak Nia ke klinik dokter kandungannya. Yang sebenarnya nggak nyampe Jakarta juga. Nia sengaja memilih dokter yang dekat rumah aja biar enggak terlalu jauh ketika nanti Nia melahirkan.
Eh, tapi apa daya kalau Nia sebelum masuk mobil tau-tau menarik lengan gue dan memohon dengan wajah memelas, "Nggak jadi aja, yuk?"
Kalau Nia adalah anak magang di kantor gue, dan semena-mena membatalkan janji yang udah bikin gue mengantisipasi dari siang, kayaknya tu anak udah gue ludahin. Tapi tentu saja, karena ini yang ngomong adalah Baginda Ratu, maka gue berikanlah pelukan gemes karena Nia sedang memakai kembali pregnancy dress-nya yang warna kuning kayak Lala Teletubies itu.
Nia pasti mengantisipasi gue yang bertanya panik, kenapa kok tau-tau membatalkan rencana USG, tapi nggak, gue akan menjadi suami calm and composed di saat-saat seperti ini. Gue akan membuat Nia tenang. Nggak boleh heboh dan bikin Nia cemas. Nggak boleh mencak-mencak atau petakilan hanya karena Nia mood-swing. Apalagi heboh karena hal-hal sepele seperti—
"Holy shit!! Nya, Nya, Nya! KETEMU PENJUAL ANGSLENYA!!!"
Nia terkikik geli ketika gue menepikan mobil bersiap berbalik arah ke penjual angsle yang tadi kami lewati. "Kayak kamu beneran ngidam tau, nggak?"
"Iya kali ya, Nya? Padahal tadi aku iseng aja bilang pengin makan angsle."
Gue tadinya mau yaudah-in aja kalau Nia jadi mager keluar rumah karena seharian dia udah kencan sama Nyonya Bayutama, mungkin Nia capek. Tapi gue udah telanjur pakai kostum suami-suami siaga, Nia juga lagi cakep banget, mubazir deh kalau kami ngetem lagi di rumah. Jadi gue iseng gantian nanya, bini mau nggak, kalau nemenin gue cari angsle malam ini? Dan Nia mengangguk setuju tanpa banyak interogasi kenapa gue tiba-tiba pengin angsle. She pays the favor kali ya? Karena gue juga jarang sih nanya-nanya kalau Nia impulsif mau ini itu. Selama gue bisa nurutin Nia dan dia nggak minta yang mustahil atau dosa, kenapa enggak.
Taunya gue malah jadi beneran ngidam sampai kita menghabiskan satu jam berkendara di dalam mobil buat keliling cari angsle yang gue pengin. Apa gue beneran ngidam, ya? Kan ada tuh, kisah-kisah kalau istri hamil, tapi yang ngidam suaminya?
Nia memberikan selembar uang lima puluh ribu rupiah pada penjual angsle dan menolak uang kembalian yang diserahkan istri si bapak penjualnya. Yang kemudian tersenyum lebar mendoakan Nia lancar lahiran.
Bini gue tuh, ya, bisa banget cosplay jadi malaikat tiba-tiba begini.
Dia lalu membawa dua mangkuk angsle itu ke dalam mobil dan kami menyantapnya dengan kaca jendela terbuka di parkiran. Gue melirik Nia yang mengaduk angslenya pelan-pelan, senyum masih tersisa di bibirnya setelah membayar dan mendengar doa si ibu tadi.
Biasanya gue akan heboh nyosor bini kalau dia lagi gemes dan ayu gini. Tapi, kan, resolusi gue tadi mau jadi suami kalem. Meski udah gue patahkan pas jerit centil ketika menemukan penjual angsle tadi.
"Kenapa nggak jadi, Nya?"
"Hm?"
"Nengokin si Sayangnya." Nanya juga gue akhirnya. Melihat Nia yang mood-nya baik-baik saja seharian ini, gue malah makin penasaran, kenapa dia tiba-tiba membatalkan USG. "Katanya tadi mau lebih siap-siap kalau tau si Sayang cewek apa cowok?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Act of Destiny
ChickLit"Kata Eyang Putri, kalo udah gede nanti kamu jadi suami Nia." Gue mengangguk lagi. Nyonya Bayutama juga gue denger membicarakan hal yang serupa dengan Eyang gue. Seharusnya, ketika kita umur sepuluh tahun, dan ada orang yang memastikan dengan siapa...