4. If This Is Love, I Don't Want It.

6.8K 808 71
                                    


[PRESENT]

Eits. Pada minta ditowel banget nih rakyat jelita yang pada penasaran Jean jadi enggak kelonan sama bini. Jadi kok, jadi.

Baginda ratu udah bangun semenjak setengah jam lalu abis bobo cantik di pelukan suami selama dua jam. Efektif banget kan, efek pelukan gue pada bumil bumil manja tapi jaim? Heheh.

Sorry. Hanya bisa berlaku kalau gue yang ngehamilin bumilnya.

Nia udah mandi by the way. Malam nanti kami mau mengundang Pangeran Arlet ke kerajaan Ciputat. Dalam rangka apa? Kami mau menggodok rencana merging kerajaan Ciputat dengan kerajaan Cipete. Ya... sepupu gue itu sekarang jadi warga cici cici juga alias Cipete.

Nggak ding. Arlet memang kami undang karena selama gue balik ke Indonesia, belum sungkem juga tuh anak ke gue sama Nia. Lupa dia siapa memoles perilaku pangeran setengah bulenya supaya bisa berbaur dengan rakyat jelata.

Eyang, sih. Bukan gue.

Eyang juga yang 'nitip salam' ke gue sama Nia supaya membujuk Arlet segera menikah. Udah tiga puluh tahun lho. Dua puluh taun lagi bisa menopause!

"Mandi, gih." Tukas Nia ketika gue masih asyik mengetik chat-chat annoying ke Arlet. "Lama nggak ketemu Arlet masa kamu kucel gitu."

Nia melempar pandangan heran pada gue. Gue sih enggak tersinggung kalau diliatin Nia begini. Karena gue tahu arti tatapan Nia yang terkesan jijik itu sebenarnya adalah: kok bisa laki gue masih charming padahal terakhir mandi pas dollar seharga dua ribu lima ratus rupiah.

"Arlet kita kasih makan apa?"

Nia mengedikkan bahu. "Aku masakin gudeg kerecek sama sambal goreng kentang. Ada fillet daging ayam juga kalo ntar dia nggak mau menu itu."

"Arlet makannya tuh kembang melati, Nya."

"Hush!" Nia lalu terkikik mendengar celetukan gue. "Kamu kapan mulai ngantor sih? Meja kerja kamu masih nggak jelas gitu." Nia mulai mencari kesibukan-kesibukan lagi. Doooh. Bisa nggak sih dia males sehari aja? Masa dari sekian banyak opsi malas-malasan yang bisa dilakukan ibu hamil, Nia cuma memilih males mandi. Gue yang malas dalam segala hal jadi curiga jangan-jangan gue hamil juga nih? Hamil kacang disko dan cakwe.

"Kan nanti aku kerjanya di kantor, Nyaaa. Di rumah aku cuma mau ngerjain kamu." balas gue sembari beruguling memunggungi Nia.

"Sayang." Panggil Nia setelah dia duduk di kasur lagi, lalu mengusap-usap punggung gue. Adeuhhh, jendraaal. Gini nih enaknya punya bini. Gue udah setengah mesem-mesem mesum ketika Nia menaikkan usapannya ke tengkuk gue.

"Yaaa?"

Tapi senyuman gue berubah jadi meringis ngeri ketika Nia mencengkeram sejumput rambut di atas tengkuk gue dan menariknya, sambil masih berkata lembut. "Ayok, disiapin mejanya. Aku nggak mau cara kerja kamu masih sama kayak sebelum kamu ke Melbourne. Nggak teratur."

"Adadadah. Nya!" Nia melepas cengkeramannya ketika gue membalikkan badan lagi menghadap dia. "Apa sih, Nyaaa, yang mau disiapin? Berkas-berkas kerjaan semua masih ada di kantor. Aku juga belom tahu kerjaan apa yang bakal aku pegang ntar."

"Kamu kan udah lama nggak kebiasa sama ritme kerja kamu di sini. Aku mau kamu prepared. Nanti juga..." Nia menghentikan kalimatnya. Lalu mulutnya mengatup dan membentuk garis lurus. Seperti yang selalu dia lakukan kalau gue mulai ngeles. Dan dia udah nggak betah ngomelin gue. "Mandi gih."

Koplo-koplo gini, gue paham, kok. Mana permintaan Nia yang masih bisa gue bercandain, mana yang beneran kudu gue ngertiin saat itu juga. Dan ini tipe yang kedua.

Act of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang