***long chapter ahead***
[PRESENT]
Yang Mulia Arlette sekarang adalah head manager divisi pemasaran di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan ... ganja. Bukan, bukan. Ekspor-impor bahan bangunan maksud gue. Iya, kayak kokoh kokoh yang kalo siangan dikit pake kaos singlet dan megang kalkulator segede nampan itu.
Canda lagi. Bukan. Skala kantor Arlette adalah penyuplai bahan bangunan di proyek yang segede GBK atau airport sekelas Changi.
Jadi, wajar kan kalau Eyang Kakung dan Eyang Putri udah geregetan. Curiga Arlette udah nikah sama laki-laki di Belanda.
"Tapi serius, Let. Kan dulu ada tuh, pacar lo yang kuliah di Singapur juga." Desak gue ketika kami selesai makan malam.
Nia menyiapkan dua cangkir kopi dan satu kopi decaf untuknya sendiri. "Clingy ya, sama lo?" tanya Nia.
Arlette tersenyum singkat. Wah gila, bisa-bisa gue juga percaya kalau Arlette punya suami di Belanda.
"Pas udah mulai kerja, gue kepikiran Mbak. Kok kayaknya gue udah cukup ya, sendirian aja. Kepikiran gitu, kayaknya kalau gue sendirian, gue nggak apa-apa deh. Gue bisa."
Nia melirik gue dengan tatapan canggung.
Ha ha ha. Kenapa, Nya? Kena warflashback, ya?
"Ya tapi kan Bapak Ibu elo yang nggak bisa, Let. Lo mau tua sama siapa kalo lo sendirian terus." Gue berusaha membujuk. "Justru karena alesan lo udah cukup itu, harusnya lo bisa membagi kelebihan lo sama that-so-called-significant-other."
"Harus, ya?" tanya Arlette lagi. "Emangnya lo nggak kepikiran buat ngebagi kelebihan lo itu ke sesuatu yang lain?"
"Sesuatu kayak?" Nia terlihat tertarik dengan gagasan Arlet.
Kalau Nia yang ditanya, nih, ya, empat atau lima tahun lalu, dia pasti menjawab:
Orang utan
Anak telantar
MCK di negara rawan konflik
Sekolah terpencil
Gaji tenaga kesehatan
dan hal-hal kemanusiaan (atau keoranghutanan) lainnya yang membuat value seorang Jeanandra Tampan Setia Hati Mersa Bayu jadi terlihat sangat kecil.
"Banyak, Mbak. Yang jelas nikah dan membuat diri sendiri gue semakin cukup karena menuruti sifat manusiawi tuh ... bagi gue masih egois." Jawab Arlette.
"I know, right." celetuk Nia.
Gue berdecak kesal karena kini gue seorang diri menjadi manusia egois menurut definisi Nia dan Arlette. Pengin banget gue counter attack dengan argumen-argumen egois lainnya bahwa ego manusia yang kayak gitu tuh adalah bentuk survival of the fittest. Emangnya nggak boleh kalau kita sebagai manusia punya kecenderungan untuk hidup bersama orang yang dimau dan berkembang biak?
"Tapi ya, Let."
Eh, anjir nyetrum.
Sorry, maksudnya tau-tau Nia menggenggam tangan gue heheheheh. Ngomong apa tadi gue, guys? Survival of apa—
"Memilih buat barengan megang tanggung jawab yang sama tuh emang egois. Tapi egoisnya kan juga jadinya dibagi dua. On the bright side, gue bisa sekalian ajak dia buat melakukan hal-hal yang lo jadiin alasan buat nggak egois itu." jelas Nia. Dia lalu mengerling gue dan memberikan senyuman, yang ... ya gusti, apakah sebenarnya gue menikah sama aphrodite, ya? "Egoisnya bisa jadi double, tapi lo selalu bisa ngejadiin value diri lo double juga kok. No worries."
![](https://img.wattpad.com/cover/127123823-288-k248380.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Act of Destiny
ChickLit"Kata Eyang Putri, kalo udah gede nanti kamu jadi suami Nia." Gue mengangguk lagi. Nyonya Bayutama juga gue denger membicarakan hal yang serupa dengan Eyang gue. Seharusnya, ketika kita umur sepuluh tahun, dan ada orang yang memastikan dengan siapa...