***6,7k words. Super long chapter, awas aja kalau enggak ada feedback aku akan sad***
[PAST]
Lo pasti mengira gue orang yang festive ketika bulan Ramadan datang. Kayak, selalu punya jadwal buka bersama dari hari pertama Ramadan sampai hari terakhir. Nggak salah. Apa lah daya gue kalau ketampanan gue memang laris manis untuk diajakin buber sebagai menu utama takjil? Tapi sejujurnya, kalau lagi di rumah, dan kebetulan Nyonya Bayutama masak buat buka, gue lebih mending buka di rumah. Karena kalau di rumah, gue bisa makan dengan beringas pakai celana kolor. Nggak harus pakai pakaian 'jalan' yang umumnya terdiri dari celana jeans dan sebagainya. Perut gue gampang melendung setelah sesi berbuka. Jadi, mengenakan sarung atau celana kolor adalah senikmat-nikmatnya pakaian berbuka.
Gue pernah nekat mau berangkat buka puasa bersama pakai jubah macem syeikh jemaah haji gitu, karena bentukannya yang mirip daster dan gue pikir bakal nyaman banget gue kenakan setelah sesi santapan buka yang beringas nanti. Tapi Nyonya Bayutama membatalkan niat gue karena nanti dikira ada karnaval bulan haji padahal lagi Ramadan.
Emang, ya, muka gue tuh mau pakai busana apa pun pasti jatuhnya disangka fashion show.
Jadi, ketika tiga hari menjelang lebaran gue beserta Tuan dan Nyonya Bayutama dapat undangan buka bersama di kediaman keluarga Nia, gue rada males. Karena gue harus berpakaian sopan pakai baju taqwa dan celana berkancing yang bikin perut gue nggak leluasa. Iya, kami udah di Yogya sedari pagi tadi karena kebetulan cuti bersama lebaran tahun ini lumayan panjang. Dan agenda buka bersama pertama di Yogya, sudah disepakati akan dilakukan di kediaman keluarga Nia.
Gue males banget, karena gue nggak bisa beringas makan takjil dua porsi dan melahap gunungan nasi serta lauk pauknya. Seperti yang biasa gue lakukan kalau udah berada di tengah-tengah acara keluaga gini, apalagi keluarga Nia, gue harus behave.
Lagian gue sama Nia udah nggak akrab-akrab banget. Selama puasa ini gue nggak mengirimkan pesan-pesan gombal dengan jokes ala Ramadan seperti menawarkan takjil menjelang buka puasa dengan semangkuk kerinduan gue yang manis pada Nia. Atau menyapanya saat sahur dengan muka segar gue yang abis wudhu biar dia nggak ngantuk lagi or something cheesy like that.
Alah, gue tau kalian semua pada bergidik ngeri tapi aslinya karena nggak pernah ada manusia tampan yang gombalin kalian macem gini, kan? Ngaku aja.
Hampir setahun gue nggak ketemu Nia semenjak terakhir libur semester. Hubungan kita nggak ada peningkatan selain sekarang si Arlette jadi jongos gue buat menyampaikan kabar-kabar terkini tentang gue ke Nia kalau kami lagi sama-sama berlibur di Yogya.
Tentu saja Arlette udah gue wanti-wanti supaya memberikan kabar yang oke-oke aja tentang gue. Dia sih mesam-mesem tampan doang, nggak tahu deh kabar apa yang nyampe ke Nia. Tapi seenggaknya Nia masih sudi lah tersenyum lebar ketika terakhir kali kami ketemu, dan menyinggung perihal gue yang sekarang sibuk kuliah dan kegiatan organisasi gue.
Gue rasa Arlette sudah menjalankan tugasnya sebagai jongos dengan sempurna.
Sumpah deh, gue nggak mengharapkan apa-apa lagi sama Nia sekarang. Kalau memang dia nggak mau berusaha supaya kami baikan dan menjalin hubungan dengan semestinya, ya gue bisa apa?
Gue celingukan mencari Nia ketika keluarga kami masuk ke pendopo dan keluarganya menyambut dengan wajah semringah. Tapi seonggok daging bernyawa yang baru bisa lari-lari dan memanjat langsung memekik berlari ke arah gue dan menubruk kaki gue dengan full force. Baby Bagsy!!!
Bagus udah pinter berceloteh sekarang. Umurnya hampir dua tahun dan dia makin ganteng seperti gue. Dikit lagi setelah dia mahir nyanyi dengan cengkok dangdut, gue akan mendidik dia untuk nyepik cewek-cewek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Act of Destiny
Chick-Lit"Kata Eyang Putri, kalo udah gede nanti kamu jadi suami Nia." Gue mengangguk lagi. Nyonya Bayutama juga gue denger membicarakan hal yang serupa dengan Eyang gue. Seharusnya, ketika kita umur sepuluh tahun, dan ada orang yang memastikan dengan siapa...