***karena udah 4,4k words, jadi enggak ada part [PRESENT] yaaa***
[PAST]
Setelah berkali-kali naik kereta sendirian ke Yogya sejak SMA, gue jadi lebih mengerti kenapa gue nggak keberatan sama sekali meski transportasi umum ini memakan banyak waktu. Opsi gue banyak sebenarnya. Gue bisa naik pesawat, atau diantar sama supir keluarga kami kalau memang gue mau. Malam ini gue ingat kalimat Tuan Bayutama ketika gue rewel dulu pas antre sebelum boarding pass saat mudik. Saat itu beliau mengalihkan kerewelan gue pada segerombol lansia yang lagi absen sebelum antre masuk ke boarding pass. Mereka mengalungkan semacam nomor dan memeriksa tiket masing-masing dengan tekun meski dengan mata menyipit karena rabun senja.
"Lihat, Jean. Eyang-eyang itu masih pada mandiri, ya? Mudah-mudahan nanti kalau Papa sama Mama tua, kamu masih mau, nemenin kami pergi-pergi." Kata bokap seraya merangkul pundak gue yang masih cemberut. Kehendak gue yang mau rewel menjijikkan jadi teralihkan dengan pikiran takjub. Takjub, karena ketika itu gue baru menyadari bahwa suatu saat orang tua gue juga bisa jadi eyang-eyang. Tua dan memiliki keterbatasan, bahkan untuk sekadar bepergian dengan leluasa. "Kan sekarang Papa sama Mama nemenin Jean terus kalo liburan. Kamu rewel pun Papa nggak bakal ninggal kamu di bandara. Nanti Jean juga gitu, ya? Gantian."
Gue lupa gue membalas apa atas kalimat Tuan Bayutama itu. Kayaknya sih gue kembali ceriwis menanyakan ini itu khas bocah kecil. Atau gue meminta supaya bokap jangan ikutan rewel, ya, meski udah tua nanti? Yang jelas setelah itu beliau bilang sama gue hal-hal yang sampai sekarang gue hapal ini:
Naik kendaraan pribadi memang lebih nyaman, lebih leluasa. Tapi ketika kita memilih naik kendaraan umum, akan lebih banyak hal yang bisa kita pelajari. Bakal lebih banyak hal yang bisa kita temui yang gue rasa akan berpengaruh sama sudut pandang kita terhadap sesuatu.
Tentu saja gue nggak mengerti esensinya saat itu. Tapi sekarang gue perlahan bisa memahami.
Teman perjalanan gue kali ini adalah seorang ibu paruh baya. Anaknya kuliah di universitas yang sama dengan Nia, dan beliau mau menjenguk ke indekosnya.
Ketika beliau tahu gue ke Yogya karena mau ketemu keluarga dan pacar gue beliau berdecak kagum. Tentu saja setelah memuji gue tampan dan sopan. Sesuatu yang nggak mungkin luput dari first impression seorang Jeanandra. Beliau kagum karena gue terdengar begitu manut sama keluarga. Karena pacaran dengan perempuan yang dijodohkan sama gue sedari bayi.
"Beneran lho, Mas. Orang tua itu nggak mungkin memilihkan yang terburuk untuk anak-anaknya. Kami pasti sebisa mungkin membimbing ke sesuatu yang paling baik, berdasarkan pengalaman hidup. Iya kan, Mas?" ucap ibu itu tadi. Gue mengangguk ganteng aja. Sambil berkomat-kamit dalam hati mudah-mudahan orang tua gue dan Nia memang cuma pernah punya pengalaman indah-indah aja. Meski mustahil.
Hmmm, tiga jam lagi udah subuh dan gue akan sampai di Yogya. Nia udah gue kabarin pas gue berangkat tadi. Hampir seluruh isi gerbong sedang terlelap tidur di bawah lampu redup. Tapi justru pikiran gue semakin ramai.
Gue malah kepikiran apa jadinya kalau gue nyetir sendirian ke Yogya malam ini. Palingan gue melintasi tol sambil mewek-mewek dengerin playlist top balada dangdut yang sudah gue rancang untuk menemani kesedihan gue. Atau gue bakal menyusun jenis-jenis kecurigaan yang akan gue munculkan satu persatu ketika Nia udah di Jerman nanti.
Tuh kan. Bener apa kata Tuan Bayutama. Sudut pandang gue jadi berubah perihal jauhnya gue dan Nia nanti. Sekarang gue jadi merasa ... dia beneran jauh dari gue demi kebaikan, demi mimpi dia dan nggak ada yang salah dengan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Act of Destiny
ChickLit"Kata Eyang Putri, kalo udah gede nanti kamu jadi suami Nia." Gue mengangguk lagi. Nyonya Bayutama juga gue denger membicarakan hal yang serupa dengan Eyang gue. Seharusnya, ketika kita umur sepuluh tahun, dan ada orang yang memastikan dengan siapa...