6. Minggu di Rumah Moli

5.5K 738 118
                                    

[PAST]

Gue melirik jam digital di samping monitor komputer gue. Pukul tiga pagi. Ini adalah rekor terlama gue duduk anteng nggak bedigasan dan bukan karena tidur. Gue kembali mengalihkan pandangan ke barisan kata yang membuat kepala gue seketika senyap sejak tengah malam tadi.

Apa yang bisa gue lakukan?

Pintu kamar gue terbuka perlahan. Kalau dalam kondisi normal, gue nggak bakal kebangun nih meski pintu gue tiba-tiba dibuka gini. Tapi Nyonya Bayutama melongokkan kepalanya dan mengembuskan napas panjang begitu melihat gue masih nggak bergeming dari posisi gue tadi.

"Nggak tidur?" Dari suaranya yang sarat kekhawatiran, gue takut kalo gue jawab yang keluar bakal suara nangis. Nggak lucu aja kalo jam tiga dini hari gini seorang Jeanandra Ganteng Mersa Tampan Bayu nangis kayak bayi kunti. Jadi gue hanya menggeleng. "Mama barusan sholat malam, tau gitu mama ajak Jean."

Dia lalu merengkuh kepala gue dari belakang dan memeluknya. Menepuk jidat gue pelan-pelan seperti yang dulu Nyonya Bayutama sering lakukan kalau gue ribet dan fussy nggak mau bobo siang.

"Nak, semua usaha itu pasti ada hasilnya. Semua. Tapi nggak semuanya sesuai sama yang Jean harapin, sama yang Mama harapin. Itu nggak ada pengecualian, berlaku buat semua manusia." Ucap Mama pelan.

"Tapi ini artinya Jean bego nggak sih, Ma?"

"Hus." Nyonya Bayutama menepuk dahi gue rada kenceng. Seakan setelah dia nepuk begitu gue jadi tiba-tiba cerdas. "Bego itu kalau kamu putus asa. Nggak mau usaha lagi karena gagal sekali dua kali. Jean masih mau usaha lagi kan?"

Gue menghembuskan napas kencang. Menyandarkan kepala gue sepenuhnya ke dada Mama. Menatap notifikasi di monitor bahwa gue, lagi-lagi nggak lolos ujian masuk ke salah satu PTN yang gue pilih.

Ya, dari SNMPTN jalur tulis, dan sekarang seleksi kampus-kampus negeri jalur mandiri pun, gue nggak nyantol sama sekali. Apa namanya kalo bukan bego?

"Udah nggak ada lagi yang bisa diusahain, Ma." Jawab gue lemes. Mama menepuk jidat gue lagi. Please deh Nyonya Bayutamaaa, lama-lama jidat gue bisa cekung kalo begini terus.

"Jean, jangan merem dong!" Nyonya Bayutama lalu mengarahkan kursor ke tab lain, mengetikkan berbagai macam laman form pendaftaran di jurusan yang gue mau tapi di universitas-universitas lain. Swasta tentunya. Gue semakin manyun. "Tuh, kamu masih bisa masuk mana aja."

Tangannya lalu dengan cekatan membuka tab lain. Form pendaftaran suatu universitas internasional di Singapura. "Tuh, apalagi kalo kamu mau belajar lagi, terus nunggu dua bulan buat daftar di sini. Mama sanggupin, Jean. Yang Mama sama Papa nggak sanggup itu kalo kamu mutung."

Gue menutup tab terakhir itu. Nggak ada nafsu sama sekali gue kuliah di Singapore setelah denger cerita-cerita Arlette tentang gimana persaingan mahasiswa, atau bahkan siswa yang masih sekolah di sana bisa bikin bunuh diri.

"Ma, tapi semua ini nggak ada yang negeri."

"Emangnya dosa kalau kamu nggak kuliah di kampus negeri?"

Gue terdiam. Ya, enggak sih. Tapi kan ... tengsin...

"Yang nentuin kualitas orang itu bukan kampusnya negeri apa enggak, Jean. Tapi manusianya yang belajar di sana. Apa gunanya kamu masuk universitas negeri tapi kamu malah sombong, congkak karena kamu mikir kamu lebih baik daripada mahasiswa universitas swasta yang lain. Padahal, kan, nggak gitu cara manusia hidup."

Yak, inilah pemirsa, Anda saksikan Nyonya Bayutama sesaat lagi berubah menjadi Mamah Dedeh.

"Nggak ada yang bisa nentuin kamu lebih baik dari orang lain atau enggak di dalam sini." Nyonya Bayutama memeluk leher gue lagi. Lalu menepukkan telapak tangannya di dada gue. "Kalau kamu ikhlas, tuh, kamu masih bisa kuliah di mana-mana. Pilihan Jean nggak terbatas di PTN aja."

Act of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang