7. Angin Hujan

5.3K 780 196
                                    

[PRESENT]

"Biniii udah dong, merengutnya. Laki kamu cuma one call away." Bujuk gue ketika Nia masih manyun menatap gue dari teras ketika gue memasang sepatu.

"Kenapa Nia nggak boleh ikut sih?"

"Kamu nanti capek. Lupa ya, dokter bilang kamu kudu baringan tiap beberapa jam sekali?"

Nia semakin merengut. Malam lusa yang lalu gue dan Nia mengalami kepanikan luar biasa karena Nia bilang dia kontraksi parah, padahal usia kandungannya belum genap lima bulan. Terserah, lo mau labelin gue pakai sebutan suami nggak siaga juga bodo amat. Gue beneran nggak nyangka, man¸kalau dalam kehamilan Nia yang dari awal adem ayem gini akan terjadi hal-hal mengejutkan kayak yang terjadi kemarin lusa.

Menurut penjelasan dokter, yang sebenernya nggak bisa terlalu gue cerna karena kepala gue udah penuh sama kepanikan dan ketakutan luar biasa, penyebab Nia kontraksi sampai nyaris pingsan itu adalah tentu saja, kecapekan. Stress. Dan faktor dari uterus Nia sendiri yang memang punya sedikit problem kalau mengalami kontraksi.

Gue diem-diem nangis waktu nyetir pulang dari rumah sakit kemarin malam. Lo tahu nggak rasanya keringet dingin sampai lo nggak bisa merasakan keberadaan kepala lo yang menempel ke badan saking takut dan paniknya. Iya! Kayak gitu rasanya ketika gue membawa Nia yang pucat pasi meringis kesakitan memegangi perutnya ke rumah sakit dua malam lalu.

Anjir banget, deh. Gue langsung ngadu ke Nyonya Bayutama perihal ini dan beliau bersedia menemani Nia di rumah selama gue kerja. Mana gue udah mulai masuk kerja lagi hari ini.

"Nya, aku lebih mending tahu kamu di rumah dan nggak kenapa-napa daripada kamu di deket aku tapi kita ada di lokasi yang nggak kondusif kalau kamu kenapa-napa lagi." gue mendekat ke arahnya. Nia melirik karpet ruang tamu yang gue injek-injek pakai sepatu yang baru gue pasang. Hadeh... dasar clean freak. "Sepatu aku baru, Nya. Nggak bakal kotor."

Dia lalu mendongak dan matanya berkaca-kaca. "Nia masih ... nyesel. Nggak cepet bilang sama kamu kalau Nia ngerasa nggak enak kemarin malem."

Gue berjongkok di depan dia. Duh biniii, bini. Cakep banget sih pake daster kedodoran pagi-pagi gini. Lalu memaksakan senyum terbaik. "Nya ... yang penting kamu sama si Sayang nggak apa-apa. Kan, kita nggak terlambat bawa kamu ke rumah sakitnya. Kan, kamu sekarang mau lebih hati-hati sama less stressy."

"Kalau Nia nggak bisa sehat lagi buat si Sayang gimana?"

"Nya, dengerin aku. Nggak sehat tuh kalau kamu mikir sama khawatir terus kayak gini." Gue mengecup jari-jarinya yang terkepal. "Mandi coba, pakai air anget sekarang. Biar rileks, terus kamu bisa kepikiran mau ngapain hari ini sama Mama biar nggak khawatir terus."

Mata bulatnya yang berkaca-kaca masih menatap gue cemas.

"Aku tungguin sampai kamu selesai mandi baru aku berangkat ke kantor, ya?" tawar gue sambil mengecup jemarinya lagi berkali-kali

Nia lalu memeluk gue, meperin wangi-wangi kecut ala bangun tidurnya ke leher gue.

"Nia sayang kamu sama si Sayang." Bisiknya.

"Wah, tunggu kamu abis mandi dulu ya, baru aku kembaliin sayangnya."

Nia tergelak pelan, lalu gue tuntun dia ke kamar mandi.

Asu tenan. Hari pertama gue jadi bapak manajer yang terhormat gue harus telat sejam di kantor. Gue jadi watir tiap pagi gue harus mengalami momen begini dan gue harus telat TIAP PAGI. Bisa defisit cicilan rumah kita, Nya, kalau gaji aku kena potong dengan alasan rajin telat.

Persetan deh ... demi melestarikan little Jeanandra, nih. Gue gebah aja kalau ada yang protes ntar.

~

Act of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang