23. Tulus

12.9K 2.1K 93
                                    

Keluar dari kelas, Anza udah senyum-senyum gitu. Apalagi Anza lihat Mami di depan kelas buat jemput dia. Senyum Anza melebar, memperhatikan perut Mami. Ho ... ho ... pasti udah ada adik di sana. Kan Anza udah baikan sama Kakak Elbi, sama Zidan juga.

"Maminya Anja!" Dengan riang gembira Anza berlari, memeluk Mami yang udah merentangkan tangannya.

"Halo, jagoannya Mami," Mami mengecup kedua pipi Anza. "Gimana sekolahnya? Anza belajar apa?"

Dan meluncurlah cerita mengenai serentetan kegiatan Anza hari ini. Dari ibu guru yang mengajarkan melipat kertas origami, sampai mengajari menyanyi. "Wah, pinter anak Mami. Nanti Mami diajarin, yah?" Mami menanggapi sambil memainkan hidung Anza dengan hidungnya.

"Iya, nanti Anja ajarin Mami bikin pesawat. Lebih keren dari yang pernah Papi bikin buat Anja, lho!" Anza membalas dengan percaya diri, membuat Mami gemas hingga menciumi kedua pipi gembilnya kembali.

"Anjaaa!"

Anza menoleh. Secara otomatis dia mendengus lihat Kakak Elbi lari-lari gitu. Di belakangnya Tante Elis mengikuti dengan perut yang makin membuncit. "Mami turunin Anja!" Anza meminta turun dari gendongan Mami.

Dikira Mami, Anza mau menyambut Kakak Elbi yang berlari ke arahnya, ternyata salah. Anza malah buru-buru lari ke arah Tante Elis dengan muka khawatir. "Tante Elis, jangan lari-lari,"  larang Anza memegang pergelangan Tante Elis.

"Kasihan adek di perutnya. Goyang-goyang. Entar dia pusing," lanjut Anza mengelus perut Tante Elis. Kebetulan banget tiba-tiba ada yang menonjol dan itu membuat Anza histeris. "Tanteee ... ih ... ini adeknya minta keluar!"

Tante Elis cuma ketawa. "Belum mau keluar, Anza. Masih ... eum ... 3 bulan lagi lah."

Anza menggeleng nggak percaya. "Nggak, ahh. Adeknya udah mau keluar. Tuh, tadi nonjol-nonjol perut Tante Elis, mau dirobek sama adeknya," kata Anza masih ngotot kalau bayi di dalam perut mama dari Kakak Elbi itu bakal keluar.

"Biasa itu adeknya nendang-nendang. Soalnya dia tahu, kalau ada Kakak Anza yang khawatir sama dia," ujar Tante Elis menenangkan Anza.

Mata Anza mengerjap, kembali memperhatikan perut buncit Tante Elis. Perasaannya membaik mendengar perkataan Tante Elis. Untung deh nggak seperti yang Anza pikirkan. Soalnya, Anza tuh mikir kalau si adik di dalam perut pusing habis dibawa lari sama Tante Elis. Jadi, dia mau minta keluar sampai perut Tante Elis nonjol-nonjol gitu.

"Anja sayang adek." Tante Elis terkejut saat Anza memeluk perutnya. Senyumnya terbit merasakan betapa hangatnya hati Anza. "Makasih, Kakak Anza."

Puas memeluk perut Tante Elis, Anza tersenyum. Matanya berbinar menatap Tante Elis. "Anja juga mau punya adek lho, Tante di perut Mami."

"Oh, ya?" Tante Elis menanggapi dengan antusias.

"Iya," lagi Anza membalas dengan penuh percaya diri. "Tapi perut Mami belum buncit. Kata Om Dimas, itu adeknya masih keciiiil banget," Anza melanjutkan sambil menunjukkan betapa kecilnya si adik—yang dianggap Anza ada—dengan jarinya.

"Wah, Mbak Andin kok nggak cerita? Selamat, ya Mbak!"

"Selamat apa?" tanya Mami yang baru mendekat. Mami nggak ngerti maksud Tante Elis mengucapkan selamat.

"Mbak Andin hamil, kan?" Tante Elis memastikan.

"Nggak. Kata siapa?" Tante Elis nggak menjawab. Dia melirik Anza yang udah senyum-senyum aja. "Ah, belum kok. Emang Anza lagi suka nagih adek. Tapi, belum isi kok," Mami menjelaskan.

"Oh, kirain udah," Tante Elis terkikik. "Lumayan kan ada yang sama-sama hamil."

Mami cuma menanggapi dengan senyuman. Dia kemudian melirik Anza yang kelihatan cemberut. "Pulang yuk, Anza! Pamit sama Kakak Elbi, sama Tante Elis!"

All about AnzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang