Beberapa hari terakhir Anza dan Papi harus puas menjaga jarak dari Mami. Karena Mami selalu mengeluh mencium bau nggak enak setiap berdekatan dengan keduanya. Termasuk hari ini. Anza yang udah siap dengan seragamnya, ragu-ragu mendekati Mami yang udah duduk manis di meja makan. Mengamati Papi yang lagi menyiapkan sarapan buat Anza.
"Anzanya Mami," dalam dilema besar mau mendekati Mami atau Papi, Mami ternyata memanggil Anza. "Sini sayang," kata Mami meminta Anza mendekat padanya.
Bukannya maju, Anza justru diam di tempat. "Nggak. Kata Mami Anja bau," tolak Anza. "Nanti Mami muntah-muntah lagi. Anja nggak mau Mami muntah."
Mami tersenyum mendengarkan perkataan anaknya. Sedikit merasa bersalah, karena menjaga jarak dengan Anza beberapa hari yang lalu. Mami tahu Anza sedih karena sikapnya. Tapi, mau bagaimana lagi? Ini juga bukan mau Mami punya indra penciuman yang bermasalah belakangan ini.
"Nggak, kok. Anza udah nggak bau."
"Masa?"
"Iya," balas Mami. "Tuh, Papi juga udah nggak bau, jadi Anza juga nggak bau," jelas Mami.
Anza mulanya nggak percaya. Dia nggak mau berharap. Takutnya, nanti diusir Mami lagi. Tapi, begitu Mami dengan santainya mengapit lengan Papi dan bersandar di pundak Papi, Anza percaya kalau hidung Mami udah sehat kembali.
"Maminya Anja!" Setengah berlari Anza menghampiri Mami.
"Eh, nggak usah gendong-gendong Anza. Kasihan itu adeknya Anza," Papi menghalangi Mami yang hendak mengangangkat tubuh Anza. Sehingga, Mami hanya bisa berpuas diri memeluk Anza.
"Iya. Mami nggak usah gendong Anja. Anja kan udah besar. Udah mau jadi kakak, dong," sahut Anza sambil menegakkan kerah seragamnya.
Papi tertawa kecil melihat tingkah anak lelakinya itu. Sambil mengusap kepala Anza, Papi mengajak anaknya itu sarapan. "Sarapan, yuk Za. Hari ini Papi dong yang bikin sarapannya."
"Sarapan apa, Papi?" tanya Anza yang udah duduk di depan meja makan.
"Nasi goreng bakso, plus telur mata sapi setengah matang," Papi dengan bangga meletakkan karyanya di hadapan Anza.
"Wuaaah! Bagus banget telurnya bisa senyum!" puji Anza melihat telur mata sapi di atas nasi gorengnya dilukis seperti wajah orang yang tersenyum menggunakan saus tomat. "Makasih, Papi. Selamat makan!"
"Selamat makan, Anza. Jangan lupa berdoa dulu," pesan Papi.
Pandangan Papi beralih pada Mami yang nggak juga menyentuh sarapannya. "Kok Mami nggak makan? Katanya tadi pengen dibikinin Papi nasi goreng?"
Mami malah mencebikkan bibirnya sambil memundurkan piringnya. "Udah nggak pengen lagi."
"Hah?"
"Tadi kan Mami cuma pengen lihat Papi masak nasi goreng," jelas Mami sambil nyengir.
"Yah, tapi kan Mami tetep harus sarapan," Papi tetap membujuk agar Mami mau sarapan. "Papi suapin, ya?"
"Nggak." Anza menyela dengan cepat. "Mami disuapi Anja aja."
Mami menggeleng. "Nggak mau."
"Duh, kalau nggak mau nasi goreng, Mami makan roti aja gimana?" tawar Papi, tapi Mami menggeleng lagi.
"Harus tetep sarapan dong, Mi," Papi memaksa. "Mami mau apa deh, nanti Papi carikan."
"Mami mau ... bubur ayam," pinta Mami malu-malu.
Papi menarik napas pelan, sebelum bangkit dari duduknya. "Ya, udah. Papi beliin diujung gang dulu."
"Nggak mau, Papi!" Mami menahan lengan Papi, sebelum suaminya itu pergi.