Prolog

86 6 0
                                    

“Congratulation, Neelofa Noor Varisha.” Ucap pak Syam seusai membalas jabat tanganku.

Kemudian, aku menghela nafas panjang. Kubiarkan lengkung bibirku merekah bahagia di depan kelima pengujiku. Alhamdulillah.

Detik selanjutnya aku bergegas menata buku-buku juga draft skripsi di atas mejaku. Seolah-olah semua diputar lambat dalam ingatan. Antara deadline skripsi atau masalah hati. Aku tertatih menata hati yang rapuh untuk tetap tegar dengan sisa-sisa kekuatan untuk bangkit menyelesaikan skripsi ini. Bersama dia yang dulu menjanjikan kebersamaan, kini hanyalah bayangan yang mati dan siap menghantuku kapan saja dia mau. Aku pun sadar, bahwa tak ada lagi kita. Jauh setelah 3 tahun berlalu. Hanya aku. Setelah satu kedipan mata menatap layar laptopku, yang terlihat hanyalah aku. Sendirian.

“Next.” Suara berat di depanku membuyarkan lamunan sekejabku. Suara yang begitu lekat dalam ingatanku.

Bagaimana aku bisa lupa dengan suara itu, celotehannya, semua tekanan, juga deadline yang ia buat sering kali mengumbar gelabakku dalam menyelesaikan skripsi. Aku ingat betul saat itu aku menghadapnya untuk bimbingan, nampak wajahnya tak bersahabat sama sekali. Tanpa menoleh ke arahku, beliau hanya memanggil mahasiswa yang menghubunginya hari itu. Mahasiswa itu bukan aku. Beliau memang super sibuk, belum lagi sebab jabatannya sebagai ketua jurusan, hadir dalam rapat, ataupun urusan lainnya yang sering kali berimbas pada kami. Kami sering kali dapat sisa wajahnya yang terlihat lelah. Untung saja, beliau professional sebagai dosen. Ya, beliau tetap membimbing kami di atas kesibukannya yang lain. Walaupun hari itu aku sempat ditolak untuk tidak bisa bimbingan. Hatinya yang ditutup raut wajah lelah itu kemudian luluh dan mengizinkanku duduk di depannya untuk diberi celotehan seputar skripsiku.

Aku tersenyum sekenanya sambil seperempat menundukkan kepala dengan kaku, sebelum akhirnya melangkahkan kaki untuk meninggalkan ruangan ini.

Langkah kaki yang mantap, namun rapuh. Bukan, bukan karna dia saja. Ini tentang masa depanku. Setelah hari ini, setelah pintu itu terbuka, setelah tidak berada disini lagi, apa yang akan terjadi pada hidupku?

“Lofa!” Jerit lengking suara perempuan yang kemudian memelukku seusai satu langkah aku berada di luar ruangan. Dia Deeva. Sahabatku, hobi memberi masukan dan menjadi pendengar yang baik. Deeva kuliah di jurusan psikolog dan masih bertaut dengan draft skripsi yang dipenuhi coretan dosen pembimbingnya.

“Congratulation, ibu guru.”
Aku hanya tersenyum. Kedua tanganku penuh, tak mampu membalas peluknya.

Hal ini sama seperti hatiku. Sudah ada yang mengisinya meski rapuh yang tersisa, ia tak pernah mampu merengkuh yang baru. “Thanks to you, Va. Mending bantuin bawa draft deh daripada meluk gini.”

“Baiklah, tuan putri.” Ucapnya semangat dan melepaskan peluk eratnya yang sempat membuatku semakin sesak.

Kami pun melangkah menuju ruang isolasi, ruang tunggu mahasiswa yang akan ujian atau selesai ujian. Kulewati lorong penuh dengan mahasiswa lainnya yang juga menunggu temannya yang sedang ujian. Kuperhatikan wajahku terpantul samar pada kaca bening di kiri-kanan lorong. Nampak lega tapi masih saja rapuh. Kadang aku bosan dengan kerapuhan yang masih saja menggerogotiku dengan pasti. Sampai pada saat dimana mataku mantap menatap kursi tempatku meletakkan tas dan buku-buku ujianku di dalam ruang isolasi tersebut. Aku terperanga melihat sesuatu bingkisan di tempat aku duduk. Langkahku masuk dengan cepat, berharap bahwa aku membaca satu nama yang sudah lama tak ku-eja.

“Anggap saja pangeran.” Aku mendelik seusai membacanya. Sedetik kemudian, bibirku melengkung sempurna. Aku begitu yakin, bahwa ini dari,
“Dari siapa sih?” Suara Deeva mengeras tanya tepat sejengkal dari telingaku, kemudian merebut bunga yang baru saja aku pegang.

Aku tersenyum lebar sekali. Jika saja aku bisa melihat wajahku dari cermin, aku yakin ada binar bahagia juga harap yang begitu besar terpancar di sana. “Va, aku yakin banget kalo ini dari,”

“Faris.” Potong Deeva begitu yakin. Sangat yakin. “Iya. Sok-sok an bilang pangeran, lagi. Tadi aku papassan sama dia.”

Kemudian Deeva mengernyitkan alisnya lama sambil merekahkan senyum yang datar.

Aku diam menatapnya penuh penjelasan.

“Kamu kayaknya udah satu hati banget sama Faris. Bisa yakin gitu.” Ucap Deeva sambil mengembalikan bunga itu ke tanganku.

Kuraih bunga itu dan segera meletakkan di kursi kosong sebelahku. Kulanjutkan dengan menata draft skripsidan buku-buku. Aku susun ia rapi dan pelan sekali di dalam tas. Rapi, seperti kususun perasaan ini untuk dia, masih untuk dia. Kemudian aku menggeleng kencang, memberi aba-aba.

“Who?” Lanjutnya menatapku tajam seperti hendak mencengkram.
Pertanyaan yang sangat ingin aku jawab, namun aku memilih diam saja. Aku sangat yakin bahwa memberitahu namanya akan membuat Deeva kesal. Dia sering kali geram ketika sering aku ceritakan lelaki satu ini dengannya. Ia beranggapan bahwa aku ini rapuh, dan perlu cinta baru. Sekali lagi, kutatap wajah Deeva dengan sayu. Aku menggeleng lagi.

“Lofa, move on!” Tekan Deeva sambil memegang lenganku berusaha menghentikkan kesibukanku yang kubuat-buat untuk kemudian mendengarkannya.

"Nggak cuma dia dunia kamu! Setelah hari ini, ada banyak cerita yang harus kamu mulai. Kalau kamu belum selesai, gimana bisa memulai?” Lanjutnya mulai kesal. Nada suaranya tak terdengar keras. Kata-katanya dalam dan berhasil menusuk fikiranku.

Aku tidak tau apakah rona di wajahku begitu mudah ditebak oleh Deeva. Seperti sepenuh wajahku bertuliskan tentang masa lalu yang masih saja aku rengkuh kuat. Aku tersentak diam dan menatap Deeva masih dengan sayu. Detik kelima, kuputuskan untuk tidak berdebat soal perasaan, move on, dunia baru atau apapun. Aku lelah, dan harus pulang untuk mengistirahatkan tubuhku dari kerapuhan hari ini.

“Pulang, yuk.” Ajakku sambil berusaha tersenyum setelah mataku selesai memastikan bahwa tak ada lagi buku yang berserakan di mejaku.

Langkahku mantap meninggalkan Deeva yang masih mematung sambil menoleh sedikit ke arahku. Aku hanya perlu ruang, untuk menata hati kembali, membukanya lebar untuk orang baru. Aku butuh waktu, dan tak cukup 3 tahun bagiku untuk memulai kembali.

MEMULAI KEMBALI.

Manakala Pemilik Cinta RidhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang