Pelangi Malam Hari #2

31 2 0
                                    

“Makan malam?” Tanyaku kemudian di ujung telfon. “Lofa izin sama Papa Mama dulu ya, kak.”

Setelah malam itu, kak Fattah tak pernah berhenti menghubungiku. Kak Fattah pun sering datang ke rumah, sore ataupun malam. Aku sangat menerima kedatangan kak Fattah dengan tangan terbuka. Terlebih lagi, ada salah satu sifat yang membuat aku begitu nyaman yaitu ia sangat menghargai dan mendengarkan aku. Berbeda dari Arsen.

Seperti malam-malam biasanya, ia datang dan membawa ceriaku. Seolah tak pernah ada luka yang aku pendam semenjak tanganku lebar terbuka hangat dengan sendirinya. Begitula rupanya yang aku rasa semenjak aku menerima kehadiran kak Fattah dengan penuh suka.

Tak butuh waktu lama setelah mengetahui kak Fattah mendapat izin dari Papa, ia melesat ke rumah dengan cepat. Belumlah kelar aku menata hijab, ia sudah duduk santai di bawah memaparkan cerita pada Papa dan Mama. Kadang, aku cemburu pada kedekatan mereka.

Aku bergegas memberi tanda pada kak Fattah untuk segera pergi. Kak Fattah paham dan mulai mengambil langkah untuk menyalami Papa dan Mama.

“Fattah?” Panggil Papa sambil menunjuk-nunjuk jam di tangan dengan senyumnya yang ramah.

“Siap om, jam 9 sudah sampe rumah dengan selamat.”

Aku menggeleng dengan tawaku yang singkat sambil menatap Papa dan kak Fattah bergantian. Kedua lelaki yang membuat aku begitu nyaman dan tak suka berjauhan darinya. Yang satu milik mama, dan yang satu milik orang lain. Iya, kak Fattah milik Nadira dan Shakila. Bukan kepunyaanku, walaupun lebih banyak menghabiskan waktu denganku akhir-akhir ini.

“Emang mau makan apa, kak?” Tanyaku ketika tengah berjalan membuntutinya keluar pagar.

“Hm, seafood? Tempat makan favorit kakak.”

Aku mengangguk tunduk.

Selang beberapa menit dalam perjalanan, kami habiskan untuk berbincang tak henti. Meski kak Fattah hanya mengendarai sepeda motor, tak pula nyaman itu menjauh. Malah makin melekat tak penat.

Kami naik ke lantai 2. Konsep ruang ala-ala Belanda yang dibuat seperti sedang dalam rumah sendiri. Dindingnya di cat hitam dan putih. Tak lupa dengan gerling cahaya dimana-mana dan hiasan dinding yang makin mempercantiknya. Kak Fattah memilih duduk diluar. Membiarkan matanya mengayun cantik pada hamburan lampu-lampu yang nampak dari atas sini. Aku makin terbuai pada suasana malam yang begitu syahdu ini.

“Kalau kakak makan, kakak selalu pilih duduk disini.”

“Oh, ya? Biasanya sama siapa kesini?”

Kak Fattah diam sebentar. Bola matanya nampak berfikir. “Sama teman, sama gebetan, dan sekarang sama Lofa. Hehe.”

“Haha, kalau begitu kakak yang pesen makanannya.” Pintaku.

Kami pun hanyut dalam obrolan lagi sembari menunggu pesanan kami datang. Kak Fattah yang selalu mencairkan suasana. Binar matanya sungguh membakar canggung yang masih kerap kali aku nampakkan di depannya. Tak jarang ia membuat aku benar-benar bisa tertawa lepas lewat lelucon konyol yang ia tunjukkan. Kami mulai berbicara tentang musik, novel, lukisan, dan masa depan.

Sampailah kemudian mata kami saling bertaut panjang. Aku mulai merasakan getar-getar yang aneh saat habis kulumat tajamnya mata kak Fattah menatapku. Sesekali aku tersenyum untuk membuat itu sampai pada titik akhir. Tapi, kak Fattah malah meneruskan lajuannya. Menatapku.

“Kak?” Panggilku bingung. “Why?”

Ia masih menatapku tak luput. “Kamu ngerasa nggak ada yang beda dari kita?”

Aku setengah berpikir. Mengingat memang sudah beberapa hari yang lalu aku merasakan ada yang beda dari kedekatan kami berdua. Saling menghubungi setiap hari, namun tanpa kejelasan.

Manakala Pemilik Cinta RidhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang