“Nama saya Neelofa Noor Varisha. Panggil aja Lofa, Buk, Pak.” Suaraku sedikit gemetar. Memandang buram berpasang-pasang mata yang menatapku. Aku seperti mahasiswa baru yang sedang memperkenalkan diri di depan seniornya.
Mereka membalas ucapanku dengan senyum. Beberapa yang lain mengulang-ulang namaku.
“Maaf, Lofa sudah bersuami?” Tanya seorang Bapak dari tempat ia duduk. Meski wajahnya dipenuhi kumis dan jenggot, ia nampak enak dipandang.
“Ah, saya masih single, pak. Hehe.” Jawabku sedikit menggerutu kecil dalam hati. Apakah wajahku ini nampak sudah bersuami?
“Hehe. Tapi calon sudah ada, kan?” Lanjutnya.
Aku setengah terkekeh. Hatiku membara. Aku saja tak tahu apakah kak Fattah pantas disebut calon atau bekas calon. “Belum, pak.” Jawabku pahit.
“Nggak apa-apalah, Miss Lofa fokus dulu aja sama karirnya.”
Aku jengkel. Memangnya siapa yang mau menikah muda? Akhirnya aku hanya tersenyum saja.
“Saya tinggal dulu ya, Miss.” Ucap kepala sekolah yang merupakan om-nya Faris. Senyumnya mengembang sambil meninggalkan aku di ruang yang penuh dengan guru-guru lain.
Aku memulai lagi sekarang. Di tempat yang jauh. Daerah yang damai dan tenang sekali. Masih lekat kebudayaannya, wisata dan pantai yang begitu banyak. Manalagi kalau bukan Yogyakarta. Aku tidak menyangka memutuskan pergi secepat itu. Setelah menghubungi Faris beberapa hari yang lalu, akhirnya ia menghantarkanku ke tempat ini. Sekolah yang aku jadikan sebagai awal yang baru untuk karirku. Jauh dari keluarga dan kota. Iya, aku tidak menyangka bahwa sekolah ini jauh dari hiruk pikuk kota. Di sebuah desa terpencil dan aku terperangkap dalam permintaanku sendiri pada Faris.
Ketika baru sampai di desa ini kemarin, sempat ingin mundur dari perangku pada Papa di rumah. Sebab tahu bahwa aku tak akan bisa bertahan lama di sini. Tanpa internet, tanpa keramaian kota, tanpa Mama dan Papa. Namun gemetar hatiku ketika ingat kelakukan kak Fattah di belakangku. Tak jemu ia membuat aku begitu patah. Kadang, aku berfikir bahwa aku adalah pengecut yang takut akan luka. Lari dari semua dan enggan berdamai dengan hatiku sendiri. Akhirnya aku hanya bisa pasrah pada pilihan yang aku buat begitu cepat.
“Miss Lofa belum masuk?” Tanya seorang guru padaku. Dari wajahnya aku bisa menebak bahwa ia seumuran denganku. Syukurlah bahwa aku bisa bertemu dengan guru yang masih single sepertiku. Paling tidak, mudah bagiku untuk berbagi keluh kesahku selama mengajar di sini.
“Belum, nanti jam ke-3 baru masuk.” Jawabku.
“Sudah tahu kelasnya? Sudah keliling-keliling sekolah?”
“Sudah, Miss…”
“Nasya, panggil kak Nasya aja. Guru biologi.” Potongnya sambil menjabat tanganku dan menariknya untuk sebuah rangkulan dan cium pipi kanan dan kiri. “Lofa guru apa, ya?”
Aku tak heran dengan kebiasaan salamannya. Ia mengenakan hijab syar’i dan banyak orang bilang hal itu sudah menjadi kebiasaan dikalangannya. “Fisika. Ibu Dila kebetulan cuti melahirkan, jadi Lofa gantiin sementara sampai akhir semester ini, kak.”
“Oh, saya masuk dulu, ya.”
Aku mengangguk. Ia berlalu.
Hal lain yang bisa aku lakukan selain diam di tempat dudukku adalah tersenyum pada berpasang-pasang mata yang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing. Dengan canggung, mereka membalas senyumku. Ada yang tengah menulis, mengobrol, lulu lalang, dan makan. Aku hanya diam. Berlaga seperti seseorang yang tengah menarik perhatian mereka untuk diajak berbincang pula. Tapi gagal, aku menjadi seseorang yang amat pendiam. Awal yang begitu menyedihkan. Sendirian, tak punya teman untuk mengobrol. Hal ini membuat aku muak dan ingin cepat-cepat masuk ke kelas. Bahkan aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Rumah? Ah, baru satu minggu saja aku sudah rindu rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manakala Pemilik Cinta Ridha
RomansaPernahkah terfikir siapakah jodoh yang tercatat sebelum kita lahir? Adakah resah ketika suatu masa membuat kita terpaku pada satu titik dan enggan melaju? Pernahkah takut tungguan kita tak pernah datang, yang tak diundang malah menjemput? Apa yang...