Ketika Luka Runtuh, Sakit Menggebu #1

14 0 0
                                    

Siang ini, aku meminta Deeva membantuku melakukan sesuatu hal terakhir untuk kak Fattah. Hari ulang tahunnya menjadi salah satu alasan kuat untukku memberi lukisan wajahnya yang malam itu aku buat. Meski begitu, aku tak berkeinginan menuliskan nama pengirim dalam bingkisan cokelat yang aku kemas mirip seperti sebuah paket. Sebab yakin bahwa kak Fattah tahu bingkisan itu dariku. Di dalamnya aku tulis rapi pula tulisan tentang apa yang aku rasain setelah mengenal dekat kak Fattah, tapi bukan ungkapan cinta.

“Coba lo baca.” Pintaku pada Deeva.

Kemudian Deeva meraih sepucuk lembar putih yang aku beri padanya dan tangan kirinya menarik rem tangan di sampingnya. Kami sedang memersiapkan bingkisan itu di dalam mobil Deeva.

Tuan, senang sekali akhirnya aku menjumpaimu walau dari kejauhan.
Rasanya lama sudah mata ini tak kau beri asupan sorot matamu yang hitam legam lagi menyejukkan itu.
Bukankah kau sudah berjanji akan menemuiku? Mengapa pula kau biarkan daku menunggu hingga lancang menemuimu di sini?
Ah, mungkin sibukmu yang terlalu membuat lupa akan aku. Tak apa.
Tuan, harimu kini semakin baik. Usiamu bertambah hari ini.
Daku senang, sungguh. Semoga makin pula kau bahagia dunia dan akhirat.
Tapi, mohon jangan terlalu sibukkan fikiran dan tubuhmu dengan kerjaan yang tak seberapa itu. Fikirkan pula ia, istirahatkan jika sudah lelah.
Ingat pula, kau punya Tuhan yang sangat cemburu akan sibukmu itu.
Tuan, sepucuk putih ini tak seberapa dari yang ingin aku bicarakan.
Banyak sudah yang ingin aku bagi padamu, pemilik nyaman.
Aneh rasanya, daku bisa menghilangkan ketakutan padamu dan membiarkan nyaman itu mengembang. Sadar atau tidak pula, kau sudah berada di ambang pintu yang aku buka begitu mudah.
Setelah daku siap memulai dan menghapus luka lama,
kau menghilang begitu saja.
Tuan, kali terakhir aku ingin memohonkan maaf.
Dakupun sadar, ini begitu terlalu.
Daku sudah siap pula menjauh, usah khawatir akan itu.
Ketika kau mundur perlahan, daku menjauh dengan kencang.
Terima kasih singgah sebentar, nyaman.

“Keren!” Mata Deeva berbinar.

“Nggak perlu di puji!” Pintaku merebut lembar itu dan membungkusnya bersamaan dengan lukisan wajah kak Fattah. “Yuk, buruan!”

Selesai membungkus bingkisan itu, Deeva melajukan mobilnya. Satu-satunya cara agar bingkisanku sampai adalah dengan datang ke tempat kerja kak Fattah. Aku dan Deeva memang sudah merencanakan untuk menitipkan bingkisan pada satpam perusahaan itu. Aku menahan takut dengan menggerutu pada Deeva.

Bagaimana jika bingkisan ini tidak sampai pada kak Fattah? Bagaimana jika kak Fattah marah karna bingkisan ini? Bagaimana jika ternyata dia makin ngejauh dan ilfeel? Tapi, Deeva tak menghiraukan gerutuku.

“Satu-satunya yang lo tau cuma kantornya aja?” Tanya Deeva nampak kesal. “Itupun lo nggak tau alamat pastinya dimana.”

Aku masih sibuk memerhatikan ‘GPS’ handphoneku sambil mengetik-ngetik alamat kantor kak Fattah. Memang semenjak dekat dengan kak Fattah, aku tidak tahu banyak tentang kak Fattah begitupun rumahnya. Yang aku tahu, dia bekerja di salah satu perusahaan di Bandung.

Slow, Va. Lo fokus nyetir aja!” Pintaku. “Okay, pertigaan depan, belok kanan.”
Tunjukku menjentik ke kanan.

Aku melanjutkan pencaharianku seusai Deeva membelokkan lajuannya. Tak butuh waktu lama, akhirnya kami menemukan tempatnya. Gedung tinggi berdinding kaca tengah tegak berdiri di depan kami. Deeva langsung masuk ke dalam dan menuju parkir.

Jantungku berloncatan seusai mobil masuk parkir dengan pelan. Aku memerhatikan sekeliling, takut sekali kak Fattah tengah lulu lalang di depan. Tapi tak ada. Dengan langkah sigap keluar mobil, Deeva semangat ingin langsung memberikan bingkisan ini pada satpam di depan pintu sana yang tengah tegak.

“Yuk!” Ajaknya.

Aku menggeleng sambil memeluk bingkisan itu. “Kita pulang aja, yuk.”

“Lofa, kita sudah jauh-jauh kesini. Come on!” Paksanya.

Manakala Pemilik Cinta RidhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang