BIRU Part 3

314 21 0
                                    



Aku menyandarkan tubuhku di tiang masjid sambil menikmati malam yang semakin beranjak. Bulan purnama masih malu-malu menampakkan dirinya, sesekali mengintip di balik siluet dedaunan kelapa. Di langit utara, kilatan cahaya silih berganti disambut sayup-sayup petir. Malam ini sepertinya hujan akan turun, prediksiku.

Di halaman masjid, anak-anak kecil berlari riang, tenggelam dalam dunia mereka. Aku senang melihat mereka. Senyum dan tawa itu ikhlas dari hati, tanpa beban tanpa masalah yang harus dikhawatirkan. Ketika aku seusia mereka, aku biasa bermain dengan teman-temanku di halaman masjid ini, mengejar kunang-kunang dan berburu jangkrik. Masa-masa yang sangat indah.

Bunyi jangkrik menjadi musik latar di malam ini. Beberapa meter dari masjid, terdapat rawa-rawa kecil. Di situ suara kodok saling bersahutan. Mereka seperti berpesta ria. Beberapa ekor cicak diam di dinding seperti bertafakur. Sesekali mengeluarkan suaranya yang khas. Cek! Cek! Cek!

Aku menikmati nyanyian hewan-hewan itu sambil bersedekap. Pakaian shalatku masih belum cukup tebal untuk menahan dingin malam yang menusuk ke tulang.

Beberapa jemaah masjid mulai berpamitan pulang. Sebagian yang lain masih hanyut dalam pembicaraan masing-masing. Ada yang duduk-duduk santai di serambi masjid sambil merokok dan sebagian masih berada di dalam, menikmati makanan yang telah disiapkan oleh para ibu. Makanan itu khusus disiapkan untuk pengajian malam ini. Kebetulan Pak Imam mengundang seorang kiai dari kota untuk memberikan ceramah agama.

"Ehmm... Itu dia sang pujangga yang sedang merindukan bulan purnama. Memikirkan seseorang yang sangat istimewa dalam hidupnya. Asiikkk" Aku sedikit tersentak dari lamunanku. Agus terkekeh di sampingku sambil merapikan pecinya. Dia melihat kiri dan kanan. Aman, bisiknya. Dia merogoh kantongnya dan mengeluarkan sesuatu.

"Kamu gila Gus?.. Kamu mau merokok di sini? Lihat, ayahmu masih ada di dalam" Aku mencegahnya. Dia tertawa santai.

"Tenang... Semuanya aman. Lagi pula di sini tidak ada yang melihat kecuali kau dan Tuhan" Ucapnya kemudian menyalakan rokoknya. Asapnya berkepul. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Agus merupakan anak bungsu dalam keluarga dan diharapkan bisa lebih berhasil dibandingkan saudara-saudaranya yang lain. Pendidikannya sangat diperhatikan oleh kedua orang tuanya terutama ayahnya. Dua saudara tertuanya hanya tamatan SD. Setelah itu mereka bekerja membanting tulang di sawah dan di kebun untuk membantu perekonomian keluarga. Hanya Agus yang diberikan kesempatan untuk menikmati pendidikan di jenjang lebih tinggi. Rokok? Aku pernah melihat Agus dipukul dengan pelepah kelapa gara-gara ketahuan merokok oleh ayahnya yang sangat terkenal keras dalam penegakan disiplin anak-anaknya. Ayahnya adalah mantan tentara dan terakhir bertugas di daerah konflik Timor Timur sebelum memutuskan untuk pensiun.

Bagus Purnama dilahirkan akhir tahun 1976. Matanya coklat gelap. Rambutnya sedikit keriting dan dahinya lebar. Dia adalah makhluk yang tidak bisa tinggal diam di rumah. Orangnya usil dan santai. Meskipun demikian, otaknya lumayan encer dalam pelajaran Matematika dan pelajaran yang membutuhkan hitung-hitungan.

"Ah, nikmat sekali. Kamu pasti menyesal kalau tidak mencoba ini" Rayunya. Matanya merem melek. Dia menyodorkan rokoknya.

"Saudaraku Agus, bukan maksudku untuk menolak pemberianmu tetapi aku sangat menjaga kesehatanku. Aku tidak mau hidupku berakhir di rumah sakit karena divonis sakit paru-paru dan akhirnya hanya menyusahkan keluargaku" Aku menceramahinya. Dia cengengesan.

"Sakit? Kamu lihat coba Pak Kiai tadi. Orangnya sepuh tetapi masih sehat, kuat dan gagah. Dia itu perokok berat, kau tau?. Ayolah, kamu itu laki-laki. Kamu harus coba ini" Bujuknya seperti setan. Dia menyodorkan rokoknya lagi.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang