BIRU Part 16

113 5 0
                                    



Aku menyendiri di beranda, menikmati bintang-bintang yang bertebaran di langit, berkelip-kelip dalam keramaian, ada yang terang dan ada yang berpendar-pendar, tetapi jika kita mendekat padanya, ternyata sebagian besar bintang-bintang di langit sana tinggal dalam kesunyian, dalam maha luasnya ruang yang hampa, dirundung kesepian, karena jarak yang memisahkan antara satu bintang dengan bintang yang lainnya. Aku senang melihat bintang yang rupa-rupa bentuknya. Imaginasiku selalu mengantarku untuk menarik garis antara satu bintang dengan bintang yang lainnya sehingga menggambar bentuk-bentuk aneh, manusia bertanduk, anjing berkepala singa, manusia yang berkaki kuda dan imaginasi-imaginasi liarku yang lainnya. Terkadang aku berpikir, apakah bintang yang milyaran jumlahnya itu, bahkan jumlahnya lebih banyak dibandingkan butiran pasir yang ada di planet ini, diciptakan hanya untuk menjadi hiasan langit, penunjuk jalan bagi orang-orang yang bepergian, inspirasi untuk para pujangga yang kering kerontang imaginasinya, penanda perubahan waktu dalam setahun melalui zodiak-zodiaknya yang spektakuler atau mungkin di sana, ada sebuah planet yang juga berkelana mengelilingi bintang-bintang itu, memiliki kehidupan, seperti manusia, berpikir dan berimaginasi, mencari-cari jawaban dari langit malam, bertanya-tanya, ke mana semua makhluk semesta menghilang? Mengapa hanya kita yang tertinggal di sini?

Di langit timur, bulan purnama beranjak perlahan mendaki, sebentar-sebentar tertutupi awan hitam tipis, memperlihatkan tubuh telanjangnya, memantulkan cahaya matahari yang sedari tadi telah mengembara jauh ke barat. Cahayanya yang kekuning-kuningan tumpah ruah di atas dedaunan kelapa yang goyang-goyang hampa, menembusi celah-celah dedaunan pohon rambutan yang tumbuh merimbun di samping rumahku, membangunkan ayam-ayam yang sedang tidur dalam siaga di dahan-dahannya, sesekali bersuara kemudian hening. Sang ratu itu tanpa harus malu seperti hari-hari sebelumnya, memperlihatkan tubuh bundarnya, menggoda imanku untuk menuliskan sebuah puisi tentangnya:

Di langit sana mengembara sang ratu alam

Bersandarkan cinta sang biru yang tak tega melepaskan

Jutaan tahun bersama dalam diam

Hanya cahaya bukti cinta kasih tak tergugahkan

Gelap memang bisa menghitamkan setiap sudut malam

Tetapi cinta sang ratu selalu hadir mencerahkan

Ah, mungkin jauh di sana, tersembunyi di kaki gunung, setengah jam perjalanan dari desaku, di teater alam yang berseni tinggi, sedang bersimfoni hewan-hewan malam di darat dan di danau, menyambut sang ratu yang datang menyapa untuk sekian kalinya. Aku merasa tergugah untuk pergi ke sana, membawa buku catatanku dan pulpen bertinta emas itu, menjemput gadis si bando biru yang sekarang mungkin sedang tenggelam dalam mimpinya, bertamasya di danau, berlari-lari di tengah-tengah kembangnya bunga-bunga ixora, mengejar kunang-kunang, melempari permukaan air dengan batu gepeng, meloncat-loncat menghindari duri-duri tajam si putri malu, mengusik tidur berang-berang, mengintip ikan-ikan kecil yang sedang bermain di pinggir danau atau memeluk angin malam yang membisikkan sekelumit kisah yang dibawanya dari negeri-negeri jauh.

Baru tadi sore aku berada di danau bersamanya dan sekarang aku merindukannya lagi dan lagi. Aku menghela napasku kemudian menarik sarungku untuk membungkus seluruh tubuhku. Jiwaku seolah-olah berjalan, menuruni tangga rumahku, di bawah sinar bulan, menuju ke utara kurang lebih setengah kilometer, kemudian belok kiri, selanjutnya berjalan beberapa ratus meter ke depan, melihat pohon palem yang biasanya tumbuh di jauh di dalam hutan, berdiri gagah di depan sebuah rumah kecil, beratapkan daun rumbia, pekarangan rumah itu ditandai dengan bambu-bambu kuning sebagai pagar, dihiasi beberapa tumbuhan kecil-kecil yang akar dan dedaunannya sangat berkhasiat, pohon mangga yang rindang, di dahannya tergantung ayunan yang bergoyang-goyang perlahan ditiup angin, lalu jiwaku mengintip dari balik celah-celah papan, menatap sang gadis yang tertidur dalam damai. Aku kemudian tersenyum semringah lalu meresap masuk ke dalam mimpi-mimpinya.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang